Tidak banyak yang meneruskan tradisi batik tulis di Sangatta dan sekitarnya. Masniar, nenek berusia di atas 60 tahun, salah satu pembatik tradisional yang masih bertahan menekuni batik tulis hingga saat ini.
LELA RATU SIMI, Sangatta
Dirinya mengakui, berbagai batik tradisional khas Kutim telah dibuatnya. Menurutnya, membatik sudah menjadi hobi yang menghasilkan. Tidak dapat digambarkan, betapa ia sangat mencintai batik.
“Saya sudah terlanjur jatuh cinta sama batik, terutama batik Kutim. Sangat sulit untuk meninggalkan batik. Sudah hobi kemudian dapat bayaran lagi. Saya sangat mensyukurinya,” ujarnya ditemui di rumahnya, Sabtu (3/3).
Masniar merupakan salah satu pengrajin yang fokus pada batik telapak tangan. Menurutnya batik tersebut mengibaratkan jejak telapak tangan yang berada di Goa Karst Sangkulirang.
Sekira 10 tahun silam merupakan awal mula dirinya mengenal batik. Dirinya menceritakan, PT.KPC lah yang membinanya pertama kali. 2008 lalu ia diberikan pembelajaran di Jogjakarta. Menurutnya hal itu merupakan pengalaman berharga untuknya.
“Sejak 2008 sampai sekarang saya masih membatik. Awalnya KPC yang membina. Namun dengan berjalannya waktu beberapa dinas turut memerhatikan kebutuhan saya. Seperti Dinas Pemberdayaan Perempuan, Disperindag, dan Koperasi,” tuturnya.
Ia mengatakan telah berupaya membina masyarakat untuk melestarikan budaya. Namun minimnya minat warga menjadi salah satu kendala. Sehingga dirinya merambah untuk mengajar di sekolah-sekolah. Karena menurutnya generasi penerus dapat mempertahankan batik Kutim.
“Saya sangat kesulitan mencari orang yang mau belajar batik. Saya tidak mau jika budaya kita hilang begitu saja. Kemudian saya berinisiatif untuk mengajar di SMP 1 Sangatta Utara. Jika sekolah lain ingin belajar, boleh bergabung di sekolah tersebut,” katanya.
Di usia senjanya, Masniar tidak mampu lagi memenuhi pesanan yang banyak. Dia mulai membatasinya. Paling banyak ia hanya mampu menghasilkan 30 lembar kain perbulan. Hasil karya lukisan malam itu dihargai rata-rata Rp 300 ribu per dua meter.
“Saya tidak menyanggupi lagi jika pesanan membludak. Paling-paling hanya 30 lembar, itupun sudah terhitung paling banyak,” pungkasnya.
Masniar berharap diberi kesehatan agar tetap bisa membatik terus demi menambah penghasilan. Selain itu, ia mengharapkan karyanya dapat dihargai di daerahnya sendiri.
“Semoga saya sehat terus, supaya tetap bisa berkarya. Saya inginnya pegawai di Kutim menggunakan batik asli pengrajin daerah,” tutupnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: