ZA terlihat sedih saat menapaki angkernya ruang pengadilan tempat dia menjalani persidangan. Ekspresi kesedihan begitu kentara saat keluar ruangan setelah palu hakim memutus vonis hukuman setahun dalam binaan Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA).
Hakim Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen memvonis ZA, 18, pelajar pembunuh begal, itu bersalah. Siswa kelas III SMAN 1 Gondanglegi yang siap-siap menghadapi ujian nasional (UN) itu dijatuhi hukuman satu tahun pembinaan di Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak (LKSA) Darul Aitam, Wajak.
Vonis Ketua Majelis Hakim Nuny Defiary tersebut sesuai dengan tuntutan jaksa penuntut umum (JPU), tapi berlawanan dengan opini publik yang menginginkan ZA bebas. Sebab, rata-rata pakar hukum menilai idealnya ZA diputus bebas. Selain itu, pada 2018 lalu terjadi kasus serupa di Bekasi dan pelakunya dibebaskan. Bahkan, pelakunya diberi penghargaan sekaligus ditawari menjadi anggota polisi.
Ada apa di balik vonis ZA? Lantas apa pertimbangan hakim Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen tetap memvonis ZA bersalah?
”Mempertimbangkan… satu tahun dibina… kami beri waktu tujuh hari untuk terdakwa mempertimbangkan vonis ini,” ucap Ketua Majelis Hakim Nuny Defiary diiringi ketokan palu sidang, tanda vonis telah dijatuhkan, Kamis (23/1/2020).
Tak terlihat perubahan ekspresi di wajah ZA saat mendengar vonis hakim tersebut. Sebab, terdakwa yang datang masih berseragam sekolah itu mengenakan masker. Setelah sidang ditutup pukul 10.30, ZA lantas beranjak dari kursi terdakwa.
Usai hakim mengetok palu sidang, tim kuasa hukum yang dipimpin oleh Riza Bakti Hidayat berunding dengan keluarga. Selang sekitar 10 menit kemudian, Bakti keluar memberikan pernyataan kepada awak media.
”Kami menghormati keputusan hakim dan kami beserta ayahnya ZA sudah memikirkan akan hal pembinaan tersebut,” kata Bakti seperti dikutip Radar Malang, Jumat (24/1/2020).
Bakti keberatan lantaran ZA didakwa Pasal 351 Ayat 3 tentang Penganiayaan yang berujung hilangnya nyawa seseorang. Menurut dia, tidak tepat jika hakim menjadikan pasal penganiayaan berat sebagai pertimbangan utama dalam menjatuhkan vonis.
”Pasal 351 Ayat 3 lagi-lagi jadi pertimbangan utama. Alasan hakim ialah ZA memiliki kesempatan lari tanpa harus menikam,” jelas Bakti.
Dia kecewa karena hakim tidak melihat Pasal 49 Ayat 1 dan 2 tentang Pembelaan. ”Padahal, situasi ZA dan AV (pacar terdakwa) sedang terancam, menghadapi ancaman pemerkosaan dan perampasan. Inilah yang tidak dilihat hakim,” beber Bakti.
Apakah mengajukan banding? Bakti bersama keluarga ZA akan mempertimbangkan selama waktu yang diberikan oleh majelis hakim. ”Kami diberi waktu tujuh hari untuk memikirkan apakah akan inkrah atau banding. Kami akan diskusikan lagi selanjutnya bagaimana terkait hasil keputusan hakim, akan kami kaji lagi,” tambahnya.
Usai sidang, malam harinya Bakti menggelar konferensi pers di rumah ZA. ”Keluarga pasrah (tidak mengajukan banding),” kata Bakti.
Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri (PN) Kepanjen Yoedi Anugrah mewakili Ketua Majelis Hakim Nuny Defiary mengatakan, keputusan tersebut sudah tepat. ”Sudah paling pas. Sebab, dia menghilangkan nyawa orang. Ini masuk penganiayaan berat. Kalau penganiayaan ringan yang hanya mengakibatkan luka mungkin lain cerita,” jelasnya.
Pihaknya membantah jika disebut tidak mengindahkan Pasal 49 Ayat 1 dan 2 tentang Pembelaan. ”Kami gunakan (Pasal 49 Ayat 1 dan 2) sebagai peringan hukuman. Kalau kami tidak mempertimbangkan pasal itu, mungkin bisa lebih (berat),” tambahnya.
Sementara itu, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) Madya Badan Pemasyarakatan (Bapas) Malang Indung Budianto menambahkan, pembinaan akan dilakukan setelah inkrah (hasil diterima terdakwa). ”Tentunya setelah inkrah,” kata Indung.
Dia memastikan, pembinaan yang dilakukan di LKSA Darul Aitam, Wajak, itu tidak akan mengganggu sekolah ZA di SMAN 1 Gondanglegi. ”ZA tetap bisa sekolah. Hanya pulangnya ke Wajak (LKSA Darul Aitam) dengan tetap dikawal oleh pembimbing dari kami (Bapas). Apalagi ZA ini kelas XII SMA, kami tidak akan membiarkan segala macam terkait kasus ini mengganggu pendidikannya,” katanya.
Dengan demikian, ZA bakal menempuh perjalanan sekitar 12–15 kilometer per hari. Itu perjalanan dari LKSA Wajak ke Gondanglegi.
Indung mengatakan, pembinaan di sana lebih mengarah kepada pembinaan mental. ”Karena di sana memang basic-nya pondok pesantren,” jelasnya.
Selain itu, pembinaan tersebut tidak akan memberikan catatan kepolisian. ”Catatan kasus dari kepolisian jelas terhapus, kan dibina,” tambahnya.
Seperti diberitakan, ZA adalah pelajar asal Gondanglegi, Kabupaten Malang, yang didakwa telah membunuh Misnan, 35, terduga begal. Peristiwa itu terjadi pada 8 September 2019.
Saat itu ZA membonceng pacarnya, AV. Namun, di tempat kejadian perkara (TKP), ZA mengaku dihadang dua pria. Salah satu begal yang belakangan diketahui bernama Misnan itu meninggal dunia setelah ditusuk menggunakan pisau. Sementara temannya Misnan, M. Ali Wawa, kabur.
Berdasarkan data yang dihimpun wartawan koran ini, kasus yang dialami ZA hampir menyerupai peristiwa yang dialami Moh. Irfan Bahri, 19. Pada 2018 lalu, pemuda asal Madura itu membunuh begal di Summarecon, Bekasi. Alasannya juga membela diri. Sebab, Irfan dan teman-temannya dipaksa menyerahkan handphone. Bahkan, pelakunya sudah mengeluarkan celuritnya. Namun, Irfan melawan hingga satu dari tiga begal terbunuh.
Bedanya, penyidikan Irfan dihentikan polisi. Bahkan, dia diberi penghargaan karena dianggap berani menggagalkan upaya pembegalan. Selain itu, informasinya Irfan juga mendapat keistimewaan ditawari menjadi polisi. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post