bontangpost.id – Dua agama minoritas di Bontang, Kalimantan Timur, yakni Konghucu dan Budha hingga kini belum punya rumah ibadah. Keduanya sulit mendirikan rumah ibadah sebab terbentur aturan yang termaktub dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.
Kepala Bagian Tata Usaha (TU) Kemenag Bontang Mustofa menjelaskan, dalam SKB nomor 9 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Daerah dalam Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Komunikasi Umat Beragama, dan Pendirian Rumah Ibadat, diatur soal tata cara pendirian rumah ibadah. Dalam bab IV pasal 14 disebutkan, syarat pendirian rumah ibadah mesti melampirkan KTP 90 umat agama yang bersangkutan, dan ini harus disahkan pejabat setempat. Kemudian dukungan masyarakat setempat paling sedikit 60 orang, rekomendasi tertulis kepala kantor departemen agama kabupaten/kota, dan rekomendasi tertulis Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB).
“Iya terbentur aturan itu. Kami enggak berani beri rekomendasi kalau tidak sesuai dengan SKB (dua menteri). Karena aturan itu kan belum berubah,” kata Mustofa ketika disambangi bontangpost.id di kantornya, Jalan Kapten Pierre Tandean, Bontang Kuala, Bontang Utara, Selasa (15/6/2021) pagi.
Berdasar data yang dirilis Disdukcapil semester satu 2021, total penduduk Bontang 184.784 jiwa. Dari jumlah itu, penganut agama Islam mencapai 165.778 orang; Kristen 15.291; Katolik 3.254; dan Hindu 327 orang. Sementara dua agama yang hingga kini belum punya rumah ibadah, Budha penganutnya ada 132 orang, dan Konghucu nihil.
“Ini kan pendataan berdasar KTP yang terbit di Bontang. Kalaupun ada yang tinggal di Bontang atau punya bisnis, tapi tidak pegang KTP Bontang, ya tidak terdaftar,” ujarnya.
Mustofa bilang, masih ada jalan lain bagi minoritas untuk mendirikan rumah ibadah. Meski dalam angka, jumlah mereka belum memenuhi syarat yang termaktub dalam SKB dua menteri. Yakni melalui hak veto pejabat setempat, dalam hal Ini wali kota. Wali Kota bisa memberikan izin, semacam hak veto. Tentu dengan mempertimbangkan kondisi sosio-psikologis daerah yang rencana dijadikan lokasi rumah ibadah.
“Kepala daerah punya hak buat kasih izin,” ujarnya.
Lebih jauh, pendirian rumah ibadah memang tidak mudah, khususnya untuk minoritas. Kerap terjadi tindakan resisten dari masyarakat yang bakal berdampingan dengan lokasi sasaran rumah ibadah. Ini pernah terjadi kala Bontang di bawah kepemimpinan wali kota pertama, Sofyan Hasdam.
Untuk mengantisipasi gejolak yang terjadi di masyarakat, kata Mustofa, pihaknya pernah mengusulkan ke pemda setempat agar didirikan kantor sekretariat FKUB. Usulan ini disampaikan nyaris sedekade lalu. Di dalam sekretariat tersebut, Mustofa mengusulkan dibangun semacam rumah ibadah mini untuk 6 agama yang diakui negara; Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghucu. Ada semacam miniatur rumah ibadah yang memuat seluruh agama. Selain menjadi pusat keagamaan, juga bisa difungsikan sebagai pusat wisata religi.
“Itu saja usul konkretnya. Karena kalau mau dirikan sendiri, pasti banyak kendala, dan selalu ada penolakan. Isu agama ini sensitif sekali,” tutupnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post