Berbagai pementasan teater dan sendratari pernah disutradarai Hamdani. Pun berbagai buku juga pernah ditulisnya. Bukan sekadar berkarya seni demi memuaskan batin, Hamdani juga turut memberikan perhatian terhadap kelestarian kesenian dan kebudayaan Banua Etam.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Selama berkiprah di dunia seni, sudah banyak karya yang dihasilkan Hamdani. Baik berupa pagelaran teater dan sendratari, maupun berupa naskah drama dan buku-buku. Untuk seni pertunjukan, sendratari kolosal pembukaan dan penutupan PON Kaltim tahun 2008 di Samarinda menjadi karya favoritnya yang dianggap paling berkesan.
“Saya yang menyutradarai sendratari tersebut. Total personel pendukung dalam pertunjukan di pembukaan dan penutupannya melibatkan dua ribu personel pendukung,” beber Hamdani.
Dalam pagelaran ini, rupanya ada kejadian yang meninggalkan kesan bagi dirinya. Yaitu ketika terjadi salah pengertian dengan tetua suku Dayak terkait penampilan seni Hudoq dan Belian. Waktu itu Hamdani bersama dua seniman nasional Butet Kertaradjasa dan Djaduk Ferianto diprotes karena dianggap tidak menampilkan dua seni tersebut secara benar.
“Waktu itu kami menampilkan kedua seni tersebut dalam waktu singkat, sekadar cuplikan. Tetua adat bilang harus ditampilkan secara lengkap, tidak cukup satu sampai dua jam. Karena menurut mereka keduanya bersifat ritual. Tapi kami jelaskan bahwa kami hanya mengambil unsur seninya. Setelah kami jelaskan akhirnya mereka mau menerima,” jelasnya.
Hamdani juga turut terlibat dalam pementasan sendratari kolosal lainnya. Di antaranya dia menjadi penulis naskah sekaligus koreografer dalam sendratari massal HUT Kutai Timur (Kutim) tahun 2004. Dia juga dipercaya menjadi sutradara dan koregrafer tari massal HUT Kabupaten Berau secara berturut-turut tahun 2012, 2013, 2014, dan 2016.
“Saya juga menjadi sutradara dalam sendratari Porprov se-Kaltim tahun 2015. Termasuk sejumlah aktivitas penyutradaraan lainnya,” sebut Hamdani yang merupakan teman Bupati Kutim Ismunandar semasa SMP dan SMA ini.
Untuk seni sastra, Hamdani banyak menulis naskah drama panggung dan televisi. Di antara naskah-naskah drama buatannya, tiga di antaranya yaitu Tuha, Seberkas Cahaya Merah Putih di Sanga Sanga, dan Petaka menjadi yang paling monumental. Naskah Tuha sendiri pernah dipentaskan ratusan kali oleh berbagai kelompok teater di berbagai kota besar. Di antaranya di Jakarta, Bandung, Surabaya, Malang, Samarinda, Balikpapan, dan Tajung Redeb.
“Bahkan tahun 2010, salah satu kelompok teater asal Tenggarong yang membawakan naskah tersebut berhasil meraih juara umum festival teater tingkat nasional di Jakarta yang digelar Federasi Teater Indonesia,” ungkapnya.
Pun demikian dengan dua naskah lainnya. Naskah Seberkas Cahaya Merah Putih di Sanga Sanga mendukung keberhasilan tim teater Kaltim. Sehingga menjadi salah satu dari lima penyaji terbaik pada festival teater tingkat nasional di Jakarta tahun 1986. Sementara itu naskah Petaka pernah dipentaskan di Denpasar, Bali, dan Kuala Lumpur, Malaysia oleh Tim Muhibah Teater DKD Kaltim tahun 2012.
Suami Deasy Selvia juga terbilang aktif menulis berbagai judul buku. Baik yang ditulisnya sendiri maupun yang ditulisnya bersama penulis lain. Tema buku yang ditulisnya pun beraga, mulai dari sosial, keagamaan, seni, olahraga, hingga sejarah perjuangan.
Beberapa buku yang pernah dia tulis di antaranya Sungai Kehidupan: Geliat Penataan Sungai Mahakam dan Sungai Karang Mumus tahun 2004. Kampung HBS, Kampung Pejuang dan Saudagar di tahun 2005. Masjid Shiratal Mustaqiem yang ditulisnya bersama Ridwan Tassa tahun 2004. Serta Bungai Rampai Perjuangan Pergerakan Rakyat Kalimantan Timur yang ditulisnya bersama Johansyah Balham tahun 2015.
“Saya juga tengah mengerjakan novel saya berjudul Cinta Kuyang,” tambah Hamdani yang mengaku penggemar buku-buku cerita silat Kho Ping Ho ini.
Pria kelahiran Samarinda, 57 tahun ini menyebut banyak suka dan duka yang telah dilewatinya selama berkecimpung di dunia seni. Semua itu menjadi hikmah dan kekayaan batin tersendiri dalam diri Hamdani untuk mengelola kehidupannya.
Kata dia, yang disenangi yaitu ketika penampilannya di pentas mendapat pujian dan membuat orang senang. Sementara dukanya, ketika pulang dari pertunjukan tanpa membawa pendapatan untuk keluarga yang sudah menunggu di rumah.
“Karena menjadi seniman itu tidak cukup mendapatkan kebahagiaan batin. Tapi itu dulu, sekarang saya profesional dalam berkesenian. Misalnya diminta jadi sutradara atau menulis buku, saya pasang tarif. Konsekuensinya, saya harus menghasilkan karya yang terbaik,” kata dia.
Selain sebagai seniman, Hamdani juga kerap diminta menjadi juri dalam berbagai perlombaan. Khususnya perlombaan yang berhubungan dengan seni. Mulai dari juri lomba seni rupa dan seni tari, pernah dilakoni ayah lima anak ini. Dia juga kerap diminta tampil membacakan puisi dalam berbagai kegiatan.
Pekan lalu misalnya, dia dipercaya menjadi juri stan terbaik dalam Kaltim Fair. Dia juga didaulat membacakan puisi bertema hoax dalam Deklarasi Gerakan Anti-Hoax Kaltim. “Mungkin cuma juri seni kaligrafi yang saya belum pernah. Karena saya memang belum punya ilmu tentang kaligrafi,” tambahnya.
Diakui Hamdani, pemerintah masih kurang memberikan perhatian terhadap kesenian dan budaya asli Kaltim. Khususnya bila dibandingkan potensi-potensi lainnya seperti olahraga. Padahal menurutnya, kesenian memiliki hak yang sama untuk mendapat perhatian. Adapun perhatian yang dibutuhkan bukan sekadar pertemuan dengan seniman, melainkan juga anggaran untuk mengadakan kegiatan-kegiatan seni.
“Bagaimana bisa mengembangkan seni dan budaya bila tidak ada anggarannya. Tapi meski begitu kami para seniman tidak cengeng. Kami tetap jalan melakukan kesenian sesuai dengan apa yang bisa kami lakukan,” ujar Hamdani.
Padahal menurutnya, di tengah potensi sumber daya alam yang terancam habis, pemerintah mestinya bisa memaksimalkan potensi pariwisata dan budaya yang menjadi kearifan lokal Banua Etam. Faktanya, kini beberapa seni dan budaya asli Kaltim tengah terancam punah karena ketiadaan perhatian dari pemerintah.
“Seperti misalnya lamut, madihin dan mamanda, hanya segelintir saja seniman yang masih aktif memainkannya. Anak-anak mereka sudah tidak mau lagi mempelajarinya karena tidak menghasilkan uang,” sebutnya.
Kata Hamdani, seharusnya kesenian inilah yang perlu mendapatkan pembinaan dan dilestarikan. Yang merupakan ciri khas dan kebudayaan asli Kaltim. Jangan sampai pemerintah kalang kabut nantinya ketika kesenian dan kebudayaan ini telah punah dan tidak ada lagi.
“Kesenian dan kebudayaan Kaltim harusnya bisa dilestarikan. Jangan hanya diperlakukan seperti umbul-umbul atau pigura saja. Jangan sekadar penghias, tapi harus betul-betul dibutuhkan keberadaannya untuk masa depan Kaltim,” pungkas bungsu dari tujuh bersaudara ini. (***/selesai)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post