JAKARTA – KPU kembali memberikan tenggat kepada Oesman Sapta Odang (OSO) untuk memenuhi syarat pencalonan anggota DPD. Kemarin (16/1) KPU memastikan tidak akan melaksanakan putusan Bawaslu mengenai pelanggaran administratif karena memiliki pandangan sendiri. OSO tidak akan bisa melanjutkan pencalonan bila tidak mundur dari Partai Hanura.
Komisioner KPU Wahyu Setiawan menjelaskan, pada dasarnya KPU menghormati putusan-putusan hukum yang sudah ada. Karena itu, KPU kembali memberikan kesempatan kepada OSO untuk menyerahkan surat pengunduran diri sebagai pengurus partai politik. ”Paling lambat 22 Januari,’’ terangnya saat ditemui di KPU kemarin.
Pernyataan resmi itu merupakan hasil rapat pleno KPU dan sudah disampaikan kepada berbagai pihak. Baik Bawaslu maupun OSO. Terkait perbedaan sikap dengan Bawaslu, menurut Wahyu, hal itu berkaitan dengan proses pendaftaran calon anggota DPD. ”Kalau kemudian konsepnya adalah mengundurkan diri setelah pemilu atau sebelum dilantik, artinya konteksnya menjadi berbeda,” lanjut mantan komisioner KPU Jawa Tengah itu.
Sebab, rujukannya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam putusannya, MK melarang pengurus parpol mencalonkan diri sebagai anggota DPD. Dalam pandangan KPU, larangan rangkap jabatan sebagai pengurus parpol merupakan syarat untuk mencalonkan diri. Bukan syarat untuk ditetapkan sebagai anggota DPD terpilih.
Bila OSO tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut, KPU tidak bisa memasukkan nama OSO ke daftar peserta pemilu anggota DPD. KPU akan memperbarui SK 1130 yang dibatalkan PTUN. Namun, nama OSO baru dicantumkan bila sudah ada pengunduran diri dari jabatan Ketum Partai Hanura.
Dalam suratnya, KPU tidak hanya mencantumkan dasar hukum berupa putusan MK No 30/PUU-XVI/2018 tentang Uji Materi Syarat Calon Anggota DPD. KPU juga mencantumkan putusan MK No 79/PUU-XV/2017. Dalam pertimbangan putusan 79, MK menyatakan bahwa putusan yang dikeluarkan lembaga tersebut bersifat final dan mengikat serta deklaratif. Artinya, setiap putusan MK tidak butuh aparat khusus untuk melaksanakannya.
Pemerintah wajib memuat setiap putusan MK dalam berita negara. Karena itu, tidak boleh ada perbuatan yang didasarkan pada sebuah aturan bila sebagian atau seluruh aturan yang mendasarinya itu telah dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK. Perbuatan semacam itu, menurut MK, bisa dikualifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum.
Menanggapi sikap KPU, kuasa hukum OSO Herman Kadir mengungkapkan kekecewaannya. Menurut dia, sikap KPU menunjukkan pembangkangan terhadap konstitusi. ”Justru dengan adanya surat itu, KPU melakukan pembangkangan hukum,” ujarnya saat dimintai konfirmasi.
Saat ini, lanjut Herman, pihaknya sedang mengajukan upaya eksekusi kepada PTUN Jakarta. Dia sudah menghadap kepala PTUN untuk mengajukan permohonan tersebut. Dalam waktu dekat, penetapan eksekusi itu akan keluar. ’’Kalau dia (KPU) tidak mau melaksanakan, kami akan minta ketua pengadilan untuk mengirim surat kepada presiden bersama DPR,’’ lanjutnya. Dengan begitu, kedua lembaga tersebut yang akan menegur KPU.
Bahkan, lanjut Herman, PTUN juga sudah menegur perwakilan biro hukum KPU karena putusan PTUN itu tidak kunjung dilaksanakan KPU. Padahal, seharusnya putusan PTUN sudah harus dieksekusi tiga hari setelah palu diketok.
Dikonfirmasi mengenai rencana keluarnya surat perintah eksekusi itu, Wahyu menyatakan, pihaknya sedang membahasnya di internal KPU. ’’Kemudian, kami menyusun segala sesuatu yang diperlukan dalam menghadiri undangan tersebut,’’ ucapnya singkat. (byu/c10/fat/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post