Kesaksian Soetoyo, Veteran Pejuang Dwikora di Perbatasan (2/Habis)
Bagi Soetoyo, pangkat tinggi bukanlah tujuan. Bisa mengabdi kepada negera dan memberikan kebaikan pada keluarga adalah kebahagiaan utama. Baginya perjuangan seorang veteran baru akan berhenti saat napas terakhir diembuskan.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Rabu (15/3) lalu, pria tua berseragam hijau dan berbaret kuning emas duduk tenang di kursi panjang ruang sidang eksternal DPRD Kaltim. Dia Soetoyo, veteran pejuang Dwi Komando Rakyat (Dwikora) yang jauh-jauh datang dari Lempake, Samarinda Utara demi menghadiri undangan Sidang Paripurna DPRD Kaltim Karang Paci, sebutan gedung DPRD Kaltim.
Soetoyo duduk seorang diri dalam barisan kursi panjang itu. Diikutinya sidang paripurna DPRD Kaltim dengan begitu serius. Satu per satu penjabaran para wakil rakyat diikuti dengan seksama. Bukan sekadar hadir, Soetoyo paham benar apa yang dipermasalahkan dalam sidang tersebut. Hujan interupsi dari para legislator pun disimaknya dengan tersenyum penuh arti.
“Keputusan dari dewan itu tidak mengikat. Sifatnya hanya rekomendasi kepada pemerintah. Yang mengikat itu keputusan hukum,” urai Soetoyo menanggapi perdebatan yang terjadi di tengah para wakil rakyat tersebut.
Sudah sejak pagi dia tiba di Karang Paci demi memenuhi undangan menghadiri sidang paripurna. Bukan kali ini dia datang ke sana, melainkan sudah beberapa kali kehadirannya di sana mewakili para pejuang. Sebagai perwakilan Legiun Veteran Kaltim yang berada di Samarinda, dia memang diminta datang. Seorang diri, karena hanya dia pengurus Legiun Veteran Kaltim yang ada di Kota Tepian.
“Kalau teman-teman veteran di Samarinda ini banyak. Tapi hanya saya yang datang ke sini karena hanya saya yang mendapat mandat dari markas veteran Kaltim yang ada di Balikpapan. Kebetulan saya pengurus di DPD Legiun Veteran Kaltim, sebagai sekretaris II,” jelasnya.
Dengan seragam kebanggaan Legiun Veteran, kehadiran Soetoyo menjadi perhatian banyak orang. Tak jarang yang meminta untuk berfoto bersama dengan lelaki kelahiraan Kediri, 75 tahun lalu ini. Soetoyo menanggapinya dengan ramah. Sosoknya yang bersahaja, tak lupa memberikan nasihat kepada siapa saja yang ditemuinya, khususnya para pemuda.
Menurutnya perjuangan para pahlawan pejuang mesti diteruskan generasi muda dengan mengisi kemerdekaan, melakukan pembangunan.
“Dulu kami susah. Mau bertani susah karena kondisinya perang. Makan hanya jagung rebus. Bahkan makanan kuda juga dimakan. Sekarang sudah merdeka, tinggal mengisi saja untuk mencapai tujuan masyarakat adil dan makmur. Dengan tidak meninggalkan semangat 45,” papar Soetoyo.
Terkait keberadaan Legiun Veteran, dia menjelaskan masih banyak masyarakat yang tidak paham apa makna veteran. Karena veteran bukan sekadar tentara atau mereka yang bertempur mengangkat senjata.
Menurutnya, veteran adalah pejuang yang bertempur melawan penjajah asing. Bukan hanya dari militer, melainkan siapa saja yang terlibat dalam pertempuran melawan pihak asing dalam merebut kemerdekaan dan mempertahankan kedaulatan negera.
“Kalau melawan bangsa sendiri misalnya pemberontakan-pemberontakan di daerah, itu tidak bisa jadi veteran. Karena yang dihadapi bukan pihak asing. Tentara sekalipun kalau dia tidak pernah bertempur melawan asing, tidak bisa menjadi veteran,” ungkap kakek 19 cucu ini.
Lebih lanjut dijelaskan, setidaknya ada lima kelompok pejuang yang bisa menjadi veteran. Pertama yaitu para pejuang kemerdekaan Indonesia yang bertempur dalam rentang 1945-1949. Kedua pejuang pembela Tri Komando Rakyat (Trikora) yang bertempur dalam pembebasan Papua dalam rentang 1961-1963.
Kelompok ketiga yaitu pejuang pembela Dwikora yang bertempur dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia dalam rentang 1964-1966. Soetoyo termasuk dalam kelompok ini.
Kelompok keempat para pejuang dalam Operasi Seroja di Timor-Timur dalam rentang 1975-1976. Dan kelompok terakhir yaitu para pasukan perdamaian yang bertugas ke luar negeri melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Semua warga negara Indonesia yang bertempur dalam peperangan tersebut bisa menjadi veteran. Termasuk tentara rakyat atau sukarelawan. Kebetulan saya berasal dari militer,” tambahnya.
Soetoyo berkisah, sudah akrab dengan peperangan sejak masih belia. Hidup bersama sang kakak yang merupakan tentara Indonesia membuat dia tumbuh menjadi pemuda dengan semangat bela negara yang menggebu-gebu. Karenanya selepas SMP, dia mendaftar di Sekolah Calon Tamtama (Secata) Jember hingga lulus dilantik menjadi Prajurit Dua. Kebutuhan akan tentara di Kalimantan membawanya menginjakkan kaki di Benua Etam.
“Saya ke Kalimantan tahun 1962. Tahun 1963, saya ikut menumpas gerombolan DI/TII pimpinan Ibnu Hajar di Grogot. Setelah itu saya menjaga daerah perbatasan di Krayan dalam konfrontasi Indonesia-Malaysia,” cerita Soetoyo.
Dari perjuangannya di Krayan melawan tentara Inggris dan Gurkha itulah, Soetoyo mendapat penghargaan Dwikora. Prestasi dan kemampuannya sebagai prajurit sempat mendapat apresiasi dari pemerintah. Bahkan dia menjadi calon tunggal pengawal Presiden Soeharto kala itu. Bukan itu saja, tawaran melanjutkan pendidikan militer juga datang kepadanya.
Namun di luar dugaan, semua peluang emas tersebut ditampiknya. Alasan waktu itu, demi kepentingan keluarga masa depan anak-anaknya. Pasalnya bila dia menerima kedua tawaran tersebut, dia mesti meninggalkan anak-anaknya di Samarinda. Dia khawatir pendidikan anak-anaknya terbengkalai karena ketiadaan dirinya kala itu. Apalagi kala itu untuk mendaftarkan anak sekolah, harus sang ayah sendiri.
“Akhirnya saya putuskan untuk berkorban. Biarlah pangkat saya tetap kopral dua, yang terpenting anak saya mendapatkan pendidikan yang mereka butuhkan,” ujar ayah tujuh anak ini.
Memang bagi Soetoyo, pendidikan adalah hal penting yang patut diberikan kepada anak-anaknya. Dengan pendidikan, anak-anaknya bisa bekerja sesuai bidang yang diinginkan. Pengorbanannya pun tidak sia-sia. Ketujuh anaknya berhasil menyelesaikan pendidikan sarjana dan bekerja sesuai bidangnya masing-masing. Hebatnya, anak-anaknya ada yang berwiraswasta dan membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain.
“Anak-anak saya tidak ingin menggantungkan pada pemerintah. Mereka berusaha secara mandiri dengan ilmu yang mereka miliki. Dengan ilmu mereka bisa mencari pekerjaan sendiri dan mendapatkan pekerjaan yang tinggi,” terangnya.
Kini setelah pensiun sejak 1990, Soetoyo mengisi hari-harinya menjalani kegiatan sebagai Legiun Veteran. Dia kerap menghadiri undangan kegiatan-kegiatan pemerintah baik Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kota, maupun DPRD. Dia juga kerap diundang ke sekolah-sekolah untuk menjadi inspektur upacara dalam kegiatan hari pahlawan 10 November. Dalam kesempatan itulah dia berbagi cerita sejarah dan perjuangan mempertahankan kemerdekaan.
“Saya sering diminta bercerita tentang zaman perjuangan oleh sekolah-sekolah. Dan memang dari Legiun Veteran kami diminta untuk menjelaskan sejarah perjuangan bangsa ini. Anak-anak yang lahir Indonesia harus tahu sejarah tentang Indonesia,” beber Soetoyo.
Kehidupan Soetoyo sendiri terbilang sederhana. Dia tinggal di sebuah rumah kecil di Jalan Sukorejo RT 42 Nomor 4 Lempake. Banjir yang kerap melanda daerah tersebut saat hujan deras membuat Soetoyo beberapa kali meninggikan lantainya. Hingga kini, ketinggian langit-langit rumah hanya sekira 200 sentimeter. Namun begitu semua disyukuri Soetoyo bersama Tasmiyah, sang istri yang telah menemaninya selama lima dekade lebih.
“Setelah anak-anak saya semuanya berkeluarga, hanya kami berdua yang tinggal di rumah ini. Kalau Idulfitri baru terasa ramai karena anak-anak dan cucu-cucu saya datang kesini,” kisahnya.
Rumah itu pun kini bukan lagi menjadi miliknya. Soetoyo telah memberikannya kepada putra bungsunya sebagai warisan. Karena dia tidak mau ketika meninggal kelak, masih meninggalkan harta yang bisa menjadi persoalan di kemudian hari. Beruntung anak-anak Soetoyo tumbuh menjadi anak-anak yang berbakti kepada orang tua. Mereka memberikan perhatian di hari tua Soetoyo dengan membantu kebutuhan sehari-hari.
Soetoyo mengaku mendapat tunjangan rutin dari pemerintah. Namun begitu menurutnya pemerintah mesti lebih memperhatikan kesejahteraan para veteran yang telah banyak berjasa bagi negara. Kata dia bantuan yang diberikan pemerintah saat ini belum sebanding dengan modal perjuangan yang dikeluarkan oleh para veteran.
“Para veteran berjuang demi kemerdekaan dengan mempertaruhkan nyawa. Kini salah satu hasil kemerdekaan yaitu kekayaan negara yang dapat dikelola pemerintah. Semestinya para veteran juga ikut menikmati. Pemerintah mestinya lebih peka dalam kesejahteraan veteran. Jangan menunggu veteran itu meninggal dan dimakamkan di taman makam pahlawan, baru diberi penghormatan,” pungkasnya. (***/selesai)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post