Oleh : Abd. Rasid G. Ripamole, S.H.
(Kabid Advokasi & Penanganan Perkara LBH Populis Borneo)
Beberapa hari lalu beredar berita telah terjadi kecelakaan lalu lintas di jalan Cipto Mangunkusumo, Bontang, Kalimantan Timur. Dalam kecelakaan tersebut seorang pengendara sepeda motor menabrak truk Dinas Perhubungan (Dishub) yang saat itu sedang terparkir di sisi median jalan karena petugas Dishub sedang memperbaiki Penerangan Jalan Umum (PJU).
Aparat Polres Bontang yang menyelidiki kejadian di atas, menetapkan korban kecelakaan (pengendara motor) sebagai tersangka. Hal ini tentu terasa janggal karena kabarnya yang ditetapkan sebagai tersangka adalah korban yang telah meninggal dunia.
Pertanyaan hukumnya adalah apakah seseorang yang telah meninggal dunia dapat ditetapkan sebagai tersangka? Mengapa ia ditetapkan sebagai tersangka? Atas dugaan tindak pidana apakah ia ditetapkan sebagai tersangka? Bagaimana dengan pihak Dishub? Apakah Dishub dapat dituntut dan dimintai pertanggungjawaban pidana berdasarkan Pasal 359 KUHP?
Pada prinsipnya, menurut aturan hukum pidana, orang yang telah meninggal dunia tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka karena proses penyidikan dan penuntutan perkara hanya dapat dilakukan kepada orang yang masih hidup sebagai subjek hukum (acara pidana).
Meskipun di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak terdapat ketentuan yang mengatur secara eksplisit bahwa orang yang telah meninggal dunia tidak dapat ditetapkan sebagai tersangka, namun di dalam KUHAP diatur mengenai syarat penetapan tersangka yang telah disempurnakan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 yang menyatakan bahwa “penetapan tersangka harus berdasarkan (1) minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan (2) disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.”
Artinya, selain berdasarkan minimal 2 (dua) alat bukti permulaan yang cukup, seseorang hanya bisa ditetapkan sebagai tersangka bila sebelumnya Ia telah pernah diperiksa sebagai calon tersangka/saksi.
Apabila unsur tersebut di atas tidak terpenuhi, maka penetapan status tersangka menjadi tidak sah dan dapat dilakukan praperadilan sebagaimana ketentuan pada Putusan MK di atas yang menambahkan penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan pada Pasal 77 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP menyatakan bahwa “Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.”
Hal-hal yang telah dijelaskan di atas, utamanya terkait syarat penetapan tersangka harus yang sebelumnya telah pernah diperiksa sebagai calon tersangka/saksi, tentu adalah hal yang sejalan dengan prinsip keadilan dalam proses penegakan hukum.
Bisa dibayangkan bagaimana jadinya jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka tanpa terlebih dahulu diperiksa dan dimintai keterangan sebagai calon tersangka/saksi, maka penetapan tersangka tersebut menjadi sewenang-wenang dan sepihak serta jauh dari nilai-nilai keadilan karena tidak memberikan kesempatan kepada yang ditersangkakan memberikan keterangan sebelum Ia ditetapkan sebagai tersangka dalam proses penyidikan.
Adapun terhadap kasus kecelakaan di atas, meskipun saat ini kasusnya telah dihentikan, yang masih menjadi persoalan adalah mengapa petugas Polres Bontang yang menyidik kasus di atas menetapkan orang yang telah meninggal dunia sebagai tersangka, sedangkan salah satu syarat penetapan tersangka adalah calon tersangkanya harus diperiksa terlebih dahulu untuk dimintai keterangan.
Pertanyaannya, bisakah orang yang telah meninggal dunia diperiksa dan dimintai keterangan dalam proses penyidikan untuk kemudian ditetapkan sebagai tersangka?
Untuk diketahui, bahwa menurut berita yang beredar, korban kecelakaan yang ditetapkan sebagai tersangka oleh pihak kepolisian Polres Bontang, setelah kecelakaan terjadi korban langsung meninggal di tempat. Artinya, sejak awal yang ditetapkan tersangka adalah orang yang telah meninggal dunia. Tentu hal ini bukan saja telah melanggar aturan hukum pidana, tetapi juga sangat aneh dan tidak masuk akal. Mestinya sejak awal Ia tidak ditetapkan sebagai tersangka. Menurut Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “kewenangan menuntut pidana hapus, jika tertuduh meninggal dunia.”
Selain hal-hal yang telah diuraikan di atas, yang juga belum jelas dan masih mengandung pertanyaan adalah atas dugaan tindak apa korban ditetapkan sebagai tersangka. Mengingat dalam kasus ini yang menjadi korban adalah dirinya sendiri setelah menabrak truk Dinas Perhubungan (Dishub) yang sedang terparkir di sisi median jalan, yang mana saat itu petugas Dishub sedang memperbaiki Penerangan Jalan Umum (PJU).
Jika korban ditetapkan sebagai tersangka karena unsur kelalaiannya, bukankah di lokasi kejadian juga ada pihak Dishub yang saat itu sedang memperbaiki PJU, sehingga kecelakaan tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan saling terkait. Oleh karena itu, yang menjadi pertanyaan adalah sudahkah petugas Dishub memasang rambu peringatan saat melakukan pekerjaan pemasangan lampu penerangan? Kalaupun sudah, apakah telah sesuai ketentuan yang berlaku dan SOP pemasangan PJU?
Terhadap 2 (dua) pertanyaan di atas, jika jawabannya adalah belum, maka patut diduga pihak Dinas Perhubungan (Dishub) Bontang telah melakukan perbuatan pidana yang dapat dituntut dan dimintai pertanggung jawaban pidana berdasarkan Pasal 359 KUHP yang berbunyi “Barangsiapa karena kesalahannya (kealpaannya) menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun.”