“Logikanya ketika sudah berhenti, kemudian punya partai baru, kenapa tidak diganti di DPRD? Itu kan aneh”. Budiman Chosiah (Pengamat Politik Unmul Samarinda)
SAMARINDA – Lima anggota DPRD Samarinda yang pindah partai politik tak kunjung dilakukan penggantian antar-waktu (PAW). Belum digantinya wakil rakyat itu disebabkan putusan sela di Pengadilan Negeri (PN) Samarinda. Putusan itu tak pelak dipergunakan para anggota dewan tersebut untuk tetap merasakan kursi “empuk” dan fasilitas dewan untuk memuluskan langkahnya meraup suara di pemilu 2019.
Bukan tanpa alasan. Wakil rakyat yang pindah partai itu kembali mencalonkan diri sebagai anggota legislatif. Dalam keadaan menyandang “gelar” wakil rakyat yang berlaga di pemilu, jabatan yang dipegang akan memberikan kemudahan baginya untuk sosialisasi dan kampanye.
Pengamat politik dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Budiman Chosiah mengatakan, hal itu bak sosialisasi gratis karena kegiatan kedewanan para wakil rakyat itu tetap difasilitasi dan dibiayai negara.
“Ketika mereka masih di legislatif, setidaknya mereka masih bisa memaksimalkan banyak hal. Artinya bisa berbuat tanpa dana pribadi, menggunakan institusi, sosialisasi, dan memasarkan diri,” ucapnya, Ahad (21/10) kemarin.
Namun kepindahan partai tanpa disertai PAW, justru melanggar etika dan undang-undang. Setelah diberhentikan dari partai politik sebelumnya, sejatinya anggota dewan bersangkutan harus diganti dari DPRD Samarinda.
“Logikanya ketika sudah berhenti, kemudian punya partai baru, kenapa tidak diganti di DPRD? Itu kan aneh,” ucapnya.
Disinggung pengaruh pelanggaran etika itu di publik, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Unmul Samarinda itu mengatakan, pada umumnya masyarakat belum terpengaruh dengan fenomena tersebut.
Pasalnya, publik lebih banyak menentukan pilihan berdasarkan ketokohan dan dukungan finansial calon legislatif. Tentu saja wakil rakyat yang memilih tetap bertahan sebagai anggota dewan, dapat memberikan keuntungan finansial yang bersangkutan.
Minimnya kesadaran pemilih terhadap kualitas dan integritas dewan tersebut disebabkan kurangnya pemahaman. Apabila kesadaran tersebut telah dimiliki, mestinya rakyat tidak lagi memilih anggota dewan itu di pemilu 2019.
“Dalam artian, mereka itu kan sama saja tidak punya komitmen memperjuangkan ideologi partai. Atau memperjuangkan gagasan partai sebagai penyambung lidah rakyat,” imbuhnya.
Partai yang berbeda digunakan wakil rakyat sebagai perahu untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif itu memiliki platform dan ideologi yang berbeda. Ketika wakil rakyat memutuskan pindah partai, maka visi partai politik yang mengantarkannya sebagai anggota legislatif tak lagi dipegangnya dalam memperjuangkan aspirasi rakyat.
“Setiap partai itu berbeda garis perjuangannya. Kalau mereka pindah ke partai lain, sama saja mengkhianati ideologi partai yang dijadikan parahu di pemilu sebelumnya,” tegas Budiman.
Dia menyebut, belum digantinya wakil rakyat yang pindah partai itu akan menjadi preseden buruk dari aspek hukum dan penialain pemilih.
“Memang itu ada efek buruknya di publik. Tetapi tidak banyak yang bisa menilai begitu. Karena hanya sebagian kecil saja yang paham tentang aturan. Kalau rakyat yang paham, wakil rakyat yang mengkhianati partainya, besar kemungkinan juga akan mengkhianati rakyat,” tutupnya.
Diketahui, terdapat lima anggota dewan yang tak kunjung di PAW karena pindah partai politik. Antara lain Alphad Syarif, Adhigustiawarman, Saiful, Mashari Rais, dan Reza Fahlevi. Kelimanya berpegang pada amar putusan PN Samarinda bernomor 117/TDTG/2018/PN/Samarinda yang menegaskan penangguhan dan menunda pelaksanaan PAW. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post