JAKARTA – Tingginya angka pemilih golput alias tidak menggunakan hak suara selalu membayangi setiap pemilu. Tak terkecuali pada pemilu legislatif dan pemilu presiden yang untuk kali pertama berlangsung serentak April mendatang. Meski begitu, ada kelompok golput yang berpeluang untuk berubah menggunakan hak pilih melalui pendekatan yang tepat.
Anggota MPR dari Fraksi PPP Achmad Baidowi menyatakan, ada empat karakter pemilih golput. Pertama, golput karena tidak masuk daftar pemilih tetap (DPT). Kedua, golput karena adanya agenda lain sehingga membuatnya tidak menggunakan hak pilih. ”Keduanya ini susah untuk berubah. Meski ada aturan bisa memilih dengan menggunakan KTP, tetap saja malas,” kata Awiek –sapaan Achmad Baidowi– dalam diskusi ”Peluang Golput di Pemilu 2019” di gedung DPR/MPR, Jakarta, kemarin (18/2).
Ketiga, golput karena merasa tidak memiliki representasi melalui calon. Keempat, golput setelah menganggap pemilu tidak penting. ”Justru karakter ketiga dan keempat ini yang masih bisa berubah,” kata wakil sekretaris jenderal PPP itu.
Menurut Awiek, karakter golput ketiga dan keempat memilih antipati biasanya karena tidak mengenal figur yang akan dipilih. Setelah didekati secara personal melalui diskusi dan dialog, ternyata dimungkinkan pemilih itu merasa nyambung dan memutuskan menggunakan hak pilih. ”Yang seperti ini sering kami temukan di beberapa daerah,” kata anggota Komisi II DPR tersebut.
Anggota MPR Fraksi Partai Gerindra Ahmad Riza Patria menilai golput sebagai gerakan yang wajar terjadi di setiap pemilu. Golput muncul bisa jadi karena faktor teknis ataupun faktor substansi terkait kondisi pemerintahan saat itu. ”Mungkin karena tidak puas dengan kinerja pemimpin saat itu,” katanya.
Namun, jelas Riza, situasi Pemilu 2019 dengan angkat golput tinggi mungkin tidak terjadi. Sebab, sudah ada sejumlah kelompok yang selama ini cenderung pasif malah ikut berperan di pemilu, khususnya Pilpres 2019. Contohnya keterlibatan kaum emak-emak atau ibu rumah tangga sebagai relawan pilpres, kepedulian kelompok milenial, termasuk dukungan tokoh ulama yang sudah memunculkan diri. ”Saya kira masyarakat saat ini semakin aware dan peduli,” ujarnya.
Pengamat politik Universitas Budi Luhur Umaimah Wahid memprediksi peluang golput pada pilpres dan pileg mendatang masih ada. Kisarannya 20–30 persen dari total pemilih. ”Masih ada waktu dua bulan menjelang pemilu untuk melakukan sosialisasi,” ucapnya.
Umaimah mengatakan, melakukan sosialisasi pemilu bukan hanya tugas KPU. Partai politik bersama calegnya juga harus berkontribusi dalam meningkatkan partisipasi pemilih. ”Pemilih harus mendapatkan trust. Parpol harus terjun lebih serius memberikan keyakinan kepada masyarakat agar mau ikut serta dalam pemilu,” tuturnya. (bay/c9/agm/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post