MESKI angka golput terbilang relatif tinggi, hal tersebut rupanya tidak berpengaruh pada legitimasi atau keabsahan pejabat pemerintahan yang terpilih. Akan tetapi, akan lebih baik bila angka partisipasi masyarakat semakin tinggi. Pasalnya dengan semakin tingginya partisipasi masyarakat, menandakan tingkat kepercayaan yang semakin besar kepada pemerintah.
Hal ini diungkapkan guru besar Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda, Prof Adam Idris dalam sosialisasi Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2018 beberapa waktu lalu. “Rendahnya tingkat partisipasi masyarakat menyebabkan angka golput semakin tinggi,” sebutnya.
Adam mengatakan, yang dimaksud golput yaitu tindakan untuk tidak menggunakan hak suaranya dengan berbagai faktor. Biasanya ada tiga cara golput yang dilakukan yaitu memberikan suara kosong, memberikan suara yang tidak valid, dan tidak datang ke tempat pemungutan suara (TPS).
“Memberikan suara kosong yaitu tidak mengisi sama sekali. Memberikan suara yang tidak valid yaitu menusuk lebih dari satu gambar kandidat atau menusuk bagian putih atau di luar area gambar,” jelasnya.
Dia menjabarkan, setidaknya ada empat penyebab seseorang menjadi golput. Pertama yaitu kurangnya kepercayaan kepada kandidat. Kedua, pemerintah tidak menepati janji-janji politiknya. Ketiga, kurangnya informasi atau ketidaktahuan tentang kegiatan pemilu. Keempat, adanya upaya pihak-pihak tertentu untuk menghalangi atau membuat seseorang tidak dapat menggunakan hak pilihnya.
Istilah golput sendiri, sebut Adam, merupakan peninggalan era orde baru. Kala itu ada sejumlah anggota DPR/MPR yang tidak dipilih langsung oleh rakyat, melainkan diangkat berdasarkan keputusan presiden.
“Makanya mereka ketika memberikan suaranya, mencoblos di luar gambar partai. Yaitu di kertas yang berwarna putih. Sehingga kemudian disebut golongan putih atau tidak memihak,” jelas Adam.
Menurut dia, di masa era reformasi saat ini yang telah mengadopsi model pemilihan secara langsung, semestinya praktik golput sudah tidak relevan lagi. Sehingga harapannya, masyarakat yang masih golput bisa bersama-sama menyukseskan pemilu dengan memberikan hak suaranya. Dosen FISIP Unmul ini menambahkan, warga yang golput sejatinya tidak memiliki keterwakilan suara di pemerintahan.
“Bila pelaku golput mendapat masalah, mau mengadu ke mana? Kan tidak memiliki keterwakilan,” sebut Adam.
Dia berujar, tingginya angka golput merupakan sebuah tantangan yang mesti dihadapi dalam pemilu di Indonesia ke depan. Bukan saja oleh para penyelenggara pemilu, melainkan juga tantangan bagi masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Khususnya bagaimana agar tingkat kepercayaan masyarakat kepada pemerintah bisa meningkat.
Sementara itu Guru besar Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Prof Sarosa Hamungpranoto menuturkan, kandidat pasangan calon (paslon) gubernur dan wakil gubernur yang disodorkan partai turut mempengaruhi angka golput. Menurut dia, beberapa paslon yang muncul dalam kontestasi demokrasi ini rupanya dianggap di luar dugaan masyarakat Kaltim.
Di mata masyarakat, dinamisnya proses bongkar pasang paslon hingga memunculkan nama resmi, turut berpengaruh pada dukungan yang diberikan. Bisa jadi ada calon yang diusung dirasa kurang pas bagi masyarakat.
Kurang menariknya figur yang diusung menjadi calon, diakui turut menjadi sebab masyarakat enggan menggunakan hak pilihnya. Terlebih bila mereka yang diusung merupakan sosok yang kerap mewarnai perpolitikan di Kaltim. Hal ini, kata Sarosa, juga menjadi tanggung jawab partai untuk menentukan calon yang diusung dengan tanggung jawab penuh.
“Jadi partai jangan hanya memilih karena menerima mahar yang besar. Tetapi pilihlah yang memang betul-betul berkualitas. Artinya yang diusung memang orang yang pemikirannya bagus, bersih, dan tidak pernah punya masalah-masalah lain berkaitan dengan hukum,” urai dia.
Dengan pertimbangan seperti itu, Sarosa menyebut sudah saatnya partai politik berpikir secara objektif mencari calon-calon yang berkualitas. Jangan sampai nanti begitu terpilih menjadi pejabat publik, malah berurusan dengan hukum. Sebagaimana pengalaman saat ini dengan maraknya kepala daerah yang terjerat kasus korupsi.
Dalam hal ini masyarakat menilai dari kredibilitas dan berbagai segi lainnya. Apalagi calon-calon yang maju dalam pilgub bukanlah nama baru dalam kancah politik di Kaltim. Beberapa di antaranya ada yang berstatus kepala daerah maupun pernah menjabat kepala daerah.
“Masyarakat akan melihat yang lalu. Janji-janji yang dulu bagaimana? Apakah janji-janji yang dulu diucapkan oleh para calon sudah terwujud? Akan timbul rasa kekhawatiran, jangan-jangan calon yang dipilih nantinya juga akan sama saja. Sehingga masyarakat menjadi apatis,” beber Sarosa.
Untuk itu Sarosa menyebut, selain sosialisasi yang harus gencar dilakukan KPU bersama pemerintah, calon-calon kepala daerah itu sendiri harus bisa meyakinkan masyarakat. Khususnya akan tujuan dalam menjadi peserta pilgub.
“Harus bisa meyakinkan masyarakat bahwa keinginan menjadi calon gubernur dan wakil gubernur ini bukan sekadar mencari jabatan. Tapi betul-betul untuk mengangkat Kaltim menjadi lebih baik lagi,” tuturnya. (luk)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post