SAMARINDA – Mengikisnya lahan pertanian hingga tersisa satu persen dari luas wilayah Kaltim menjadi buah bibir di kalangan akademisi, aktivis, hingga kepala daerah. Namun demikian, belum ada solusi menyeluruh untuk membendung laju alih fungsi lahan tersebut.
Ketua Komisi IV DPRD Kaltim, Edy Kurniawan menjelaskan, akar masalah merosotnya lahan pertanian berasal dari pemilik lahan. Perubahan fungsi lahan pertanian terjadi disebabkan besarnya nilai penjualan yang ditawarkan pengusaha batu bara dan kelapa sawit.
“Petani bisa dapat Rp 100 juta sampai Rp 200 juta dari ganti rugi lahan. Ketimbang mereka bertani, lebih mudah dapat uang dari jual lahan. Bisa jadi karena beban kebutuhan,” katanya pada Metro Samarinda, Senin (24/9) lalu.
Kemudian, para petani tidak memiliki generasi untuk mengelola lahannya. Secara perlahan, generasi muda lebih memilih profesi di bidang lain. Sehingga lahan yang ditinggalkan tidak dimanfaatkan.
“Mereka yang muda itu juga tergiur untuk menjual lahannya. Pikirannya sederhana, untuk apa lahan dibiarkan begitu saja, sedangkan ada pengusaha batu bara yang datang menawarkan uang banyak,” jelasnya.
Pemerintah daerah tidak memiliki kewenangan protektif atau perlindungan terhadap lahan pertanian. Sebab penjualan tanah menjadi hak para pemilik lahan. Justru ketika ada pejabat yang menghalangi para petani menjual lahannya, akan mendapat perlawanan pemiliknya.
Konversi lahan pertanian ke perkebunan juga sangat masif terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Petani memiliki pertimbangan, ketimbang menanam padi, petani lebih memilih menanam sawit. Pasalnya, penggarap lahan mendapat keuntungan besar saat menanam sawit.
“Dengan begitu, dari tahun ke tahun, produktivitas pertanian Kaltim itu menurun. Yang disalahkan siapa? Tidak boleh hanya melihat ini karena kesalahan pemerintah saja,” imbuhnya.
DPRD Kaltim beserta pemerintah provinsi (pemprov) telah menyusun peraturan daerah (perda) untuk melindungi lahan pertanian. Namun perda tersebut tidak dapat menghalangi petani menjual lahannya.
Karena itu, merebaknya alih fungsi lahan yang dapat mengancam ketersediaan pangan di tingkat lokal itu membuat pemerintah daerah mengambil kebijakan intensifikasi lahan yang masih dikelola petani.
“Petani yang sudah sepuh, itu bisa dibantu teknologi pertanian. Tanpa harus capek lagi, lahan yang mau digarap bisa dibajak tanpa harus mengeluarkan banyak tenaga,” tuturnya.
Selain itu, perluasan lahan pertanian juga tetap dilakukan dengan memanfaatkan lahak eks tambang. Sedikitnya terdapat 300 ribu hektare lahan eks hak pengusahaan hutan (HPH) yang dapat digunakan untuk menambah lahan pertanian.
“Itu yang akan diserahkan pada masyarakat Kaltim. Lahan itu yang mau disertifikatkan. Itulah program yang sedang digalang Presiden Joko Widodo. Siapa saja boleh mendapatkan lahan itu lewat koperasi. Di Kaltim, baru 5 ribu hektare yang dilepaskan pada masyarakat,” bebernya.
Namun demikian, perluasan lahan pertanian tersebut harus diimbangi dengan regenerasi petani. Kata Edy, universitas memiliki andil besar untuk menghasilkan lulusan yang mau menggarap lahan pertanian.
“Kuncinya ada di universitas yang memiliki fakultas pertanian. Mereka harus sadar. Jangan lagi setelah lulus dari jurusan pertanian, malah bekerja di sektor lain. Harus mengaplikasikan ilmunya di bidang pertanian,” imbuhnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post