Siapa yang tak tahu legenda Atlantis. Diceritakan filsuf Yunani bernama Plato dalam buku berjudul Timaeus dan Critias, benua tersebut hilang dari peradaban. Terlepas dari kontroversi cerita tersebut, kejadian nyaris serupa juga mengancam Desa Mulawarman, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar).
Guntur Marchista Sunan
Berbeda dengan Atlantis yang ditulis hilang ditelan laut, Desa Mulawarman malah terancam hilang akibat penambangan batu bara. Desa yang berjarak sekitar 50 kilometer dari Samarinda itu dikepung perusahaan pengeruk emas hitam.
Tak tanggung-tanggung, jaraknya hanya beberapa meter dari lubang tambang.
Ingatan Mulyono masih kuat. Kepala Desa (Kades) Mulawarman itu menceritakan, pada tahun 1981 silam, wilayahnya ditetapkan sebagai daerah transmigrasi. Awal dibuka, 263 kepala keluarga (KK) yang berstatus transmigran hijrah dari Pulau Jawa ke Kalimantan.
Di desa tersebut, mereka dijatah lahan untuk bertani dan bercocok tanam. Setiap KK mendapat lahan untuk digarap. Luasnya sekitar 560 hektare. Mulai bercocok tanam sejak 1982, desa tersebut menjadi lumbung padi di Kabupaten Kutai (sekarang Kukar).
“Dulu produksinya sampai 5 ton per hektare,” kata Mulyono, usai menerima kunjungan Gubernur Kaltim, H Awang Faroek Ishak, Selasa (18/4) kemarin.
Masa keemasan Desa Mulawarman sebagai desa agraris perlahan sirna mulai tahun 2002. Dikepung dua perusahaan batu bara, PT Kayan Putra Utama Coal (KPUC) dan PT Jembayan Muara Bara (JMB), lahan yang dulunya untuk menghasilkan padi sudah tidak subur lagi.
“Lama-lama, limbah perusahaan mencemari sawah. Pada tahun 2008, kami mendemo BLH (Badan Lingkungan Hidup). Setelah dicek, ternyata limbah batu bara masih dalam ambang batas. Kami tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kami tidak punya bukti. Namun kami merasakan dampaknya,” terang Mulyono.
Atas kondisi itulah, satu per satu warga menjual tanahnya kepada perusahaan. “Warga menjual tanah karena sudah tidak layak untuk bercocok tanam,” katanya.
Keberadaan penambangan batu bara juga menimbukan efek berantai. Masyarakat kesulitan mendapatkan air bersih akibat terpapar limbah. “Subsidi dari perusahaan tidak mencukupi,” keluhnya.
Mulyono kembali menjelaskan, penambangan itu merugikan masyarakat karena memberikan dampak buruk. Selain sulitnya air bersih, juga retak-retak pada bangunan rumah, polusi suara karena teramat bising, rentan longsor, serta debu yang menyulut penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA).
Saat ini, kata dia, jumlah penduduk Desa Mulawarman mencapai 812 KK atau sekitar 3 ribuan jiwa. Jumlah tersebut meningkat hampir tiga kali lipat dibanding saat awal mereka tiba ke Banua Etam. Bahkan, saat ini jumlah sawah di sana hanya sekitar 12 hektare saja. Itupun sering gagal panen. Seluruh penduduk terancam.
“Total luas Desa Mulawarman saat ini hanya 85 hektare saja. Karena sudah banyak tanah yang dijual masyarakat. Saat ini, seluruh masyarakat dalam kondisi terancam,” katanya.
Dulu, kata dia, pihaknya selalu bermasalah dengan JMB. Tapi sekarang area penambangannya sudah jauh dari permukiman. “Namun, saat ini justru PT Kayan yang menambangnya dekat dengan permukiman,” jelasnya.
Mulyono menceritakan, dampak sosial juga terjadi akibat penambangan perusahaan tersebut. Pada tahun 2014 silam, warga pernah terlibat bentrok dengan organisasi masyarakat (ormas) yang membela perusahaan.
“Sempat kami bentrok dengan ormas karena ada kejadian blasting (ledakan) yang luar biasa. Sampai anak yang diayun jatuh ke lantai,” katanya.
Kemudian, warga merespon dengan cara turun ke lokasi tambang. “Kami diadang preman. Di situlah hampir terjadi perang,” kenangnya lagi.
Dia menegaskan, masyarakat sepakat untuk meminta relokasi. Pasalnya, Desa Mulawarman sudah tidak layak lagi untuk ditinggali. Selain berpotensi terjadi bencana seperti longsor, juga terjadi pencemaran lingkungan. Kendati demikian, pihaknya bersedia tetap tinggal di desa itu dengan catatan, perusahaan menghentikan aktivitasnya.
“Pilihannya hanya satu, relokasi atau tutup tambang,” tegasnya. Menurutnya, ada tiga alternatif lokasi relokasi. Yakni di dalam hutan tanaman Sumalindo, Embalut, dan area pasca-tambang milik PT JMB.
Senada dikatakan Nurkholis, hansip di desa setempat. Alasan menjual tanah lantaran terpaksa. Pasalnya, lahan yang mereka garap sudah tidak produktif lagi.
“Lahannya sudah tidak bisa ditanami. Sehingga, kami terpaksa menjual. Kemudian, uangnya saya belikan tanah di luar Desa Mulawarman,” katanya.
Dampak keberadaan tambang juga dirasakan Sukarman. Blasting menjadi momok tersendiri baginya. Tak hanya rumahnya yang retak, lahannya juga ambruk. Akibatnya, kolam yang berada di atas lahannya retak.
“Kolamnya retak. Menambangnya kan mepet, hanya sekitar sembilan meter,” katanya.
Pernah suatu ketika, dia menahan aktivitas blasting milik PT Kayan. “Tadinya blasting dari rumah saya sekitar 115 meter. Kemudian saya tahan (adang, Red.), sehingga tidak bisa diledakkan. Disuruh pindah, saya enggak mau. Waktu itu mau meledakkan 52 lubang, tapi tidak jadi. Saya tidak mau disuruh pergi dari lahan saya,” kenangnya.
Bahkan, kata dia, pihak perusahaan sempat mendatangkan aparat. Tanpa merinci aparat yang dimaksud, Sukarman menyebut jika aparat tidak berani mengamankannya lantaran dia berdiri di atas lahannya sendiri.
“Awalnya kan saya dilaporkan menghalangi aktivitas tambang. Setelah dilihat (aparat), ternyata itu lahan saya. Saya sampaikan, saya persilakan untuk blasting. Tapi dengan catatan, saya tidak mau disuruh pergi dari lahan saya,” katanya.
Hingga saat ini, setiap kali terjadi blasting, dia langsung mendatangi perusahaan untuk melakukan komplain. “Kemudian diperbaiki oleh perusahaan,” katanya.
Yaman, warga lainnya mengungkapkan, blasting pada umumnya terjadi pada siang hari. “Kalau dibilang mengganggu ya mengganggu. Tapi pada dasarnya, dengan adanya blasting itu, dampaknya ada. Karena jarak blasting dengan permukiman sangat dekat,” katanya.
Saat ini, kata dia, lahan pertanian sudah tidak ada. Sehingga, masyarakat tidak beraktivitas seperti dulu lagi.
“Dampak lainnya, menimbulkan penyakit. Seperti ISPA. Bahkan ada warga di beberapa RT yang divonis oleh dokter, tidak boleh berdomisili di Desa Mulawarman. Sebetulnya disuruh mengungsi. Cuma, warga tidak tahu pindah ke mana,” katanya.
Makanya, tegas dia, masyarakat mendesak pemerintah untuk melakukan relokasi. “Kami minta pemerintah untuk merelokasi. Yang dipikirkan itu anak-cucu ke depan,” tegasnya.
Warga lainnya, Husni juga merasakan betul dampak penambangan. Anaknya yang berusia enam tahun, Virzi Maulana, sempat dilarikan ke RS AM Parikesit Tenggarong.
“Bulan Februari 2017 anak saya masuk rumah sakit. Ada masukkan dari dokter di RS Parikesit, permukiman tidak layak. Anak saya kena ISPA dan jantung akibat debu. Sehingga, diminta pindah. Dokternya saat itu, Pak Bambang dan Pak Heri,” jelasnya.
Saat itu, kata dia, anak pertamanya mendadak panas tinggi. “Kemudian kami bawa ke puskesmas terdekat. Kemudian dirujuk. Alhamdulillah sekarang sudah mulai sehat. Tapi tetap disarankan pindah,” katanya.
LAPOR PRESIDEN, GUBERNUR BERTINDAK
Kembali ke Mulyono, pada 22 Februari 2017 lalu, dia bersama Vitorianus Rosdan selaku ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan beberapa perwakilan masyarakat mengadukan permasalahan kehidupan mereka kepada Kantor Staf Presiden.
“Kami berharap keluhan kami didengar oleh Presiden Jokowi dengan cara merelokasi warga transmigran ke tempat yang disepakati bersama antara masyarakat, Pemkab Kukar dan instansi terkait,” kata Mulyono.
Saat itu, dia diterima Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Bambang Beathor Suryadi dan Ariani Djalal. Mereka berjanji memperjuangkan keluhan masyarakat. Bahkan, Beathor saat itu langsung menghubungi Bupati Kukar Rita Widyasari dan Kapolres Kukar.
“Permohonan relokasi sudah kami sampaikan sejak 2010, tetapi masyarakat meminta saya mengajukan kembali setelah tidak ada tindak lanjut,” kata Mulyono. Hingga akhirnya, Mulyono memberanikan diri menghadap gubernur.
Awang Faroek Ishak secara khusus mengunjungi desa itu, kemarin. Orang nomor satu di Pemprov Kaltim itu ingin melihat langsung kondisi Desa Mulawarman dan berdialog dengan masyarakat.
Faroek mengatakan, permohonan masyarakat untuk direlokasi menjadi bahan pertimbangan dan segera dibahas oleh tim terpadu bentukan Pemprov Kaltim. “Yang pasti, saya sangat terharu melihat kondisi ini, tetapi saya juga tidak bisa memutuskan hari ini (kemarin, Red.). Kami akan bahas secepatnya,” ujarnya.
Dia menegaskan, gubernur berhak menertibkan perizinan tambang di daerah setelah diberi kewenangan Presiden RI melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). “Gubernur berhak menata perizinan tambang di daerah. Itulah yang sekarang kami lakukan. Kami masih evaluasi, mana-mana saja IUP (izin usaha pertambangan) yang bermasalah dan harus dicabut,” tegas Faroek. (***)
TENTANG DESA MULAWARMAN
– Pada tahun 1981, sebanyak 263 kepala keluarga (KK) ikut dalam program transmigrasi. Mereka dikirim ke Desa Mulawarman dan menempati lahan seluas 560 hektare.
– Pada tahun 1982, warga setempat mulai bercocok tanam. Hasilnya, Desa Mulawarman menjadi lumbung padi Kabupaten Kutai (sekarang Kukar).
– Sejak tahun 2002, lahan di Desa Mulawarman sudah mulai beralih fungsi dari daerah pertanian menjadi daerah penambangan batu bara.
– Secara bertahap, pengerukan batu bara berdampak pada kondisi lahan warga. Lahan menjadi tidak produktif, sehingga satu per satu, warga menjual lahannya.
– Pada tahun 2008, warga yang resah akibat dugaan pencemaran mendesak pemerintah untuk bertindak. Namun upaya itu tidak membuahkan hasil.
– Pada tahun 2010, warga mulai mewacanakan untuk relokasi. Pasalnya, daerah tempat tinggal mereka rawan bahaya. Mulai dari longsor, penyakit, hingga kesulitan air.
– Pada tanggal 22 Februari 2017, Kades Mulawarman Mulyono dan perwakilan warga melapor ke Presiden RI Joko Widodo melalui Kantor Staf Presiden. Mereka menuntut relokasi.
– Ada tiga alternatif lokasi relokasi. Yakni di dalam hutan tanaman Sumalindo, Embalut, dan area pasca-tambang milik PT JMB.
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post