Oleh: Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)
Peraturan daerah (perda) adalah produk hukum yang levelnya berada di tingkat daerah, baik daerah provinsi maupun daerah kabupaten/kota. Perda dihitung sebagai hak pemerintahan daerah. Sebagaimana disebutkan pasal 18 ayat (6) Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, “Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan”.
Setidaknya ada 6 (enam) fungsi pokok perda dalam kaitannya dengan agenda otonomi tersebut. Pertama, sebagai dasar hukum bagi pemerintah daerah dalam mengeksekusi program-program pembangunan yang telah direncanakan. Rencana pembangunan ini tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD), dan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD).
Kedua, sebagai instrumen kebijakan dalam pelaksanaan otonomi daerah dan tugas pembantuan. Ketiga, sebagai terjemahan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Keempat, sebagai sarana untuk menampung dan mengakomodasi kekhususan dan keragaman daerah. Kelima, sebagai media untuk menyerap aspirasi dan keinginan masyarakat di daerah. Keenam, sebagai alat untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan partisipasi publik.
Namun harus dipahami bahwa perda dibuat tidak bermakna pemberian kedaulatan bagi daerah mengatur rumah tangganya tanpa kontrol dan pengawasan pemerintah pusat. Sebab prinsip otonomi yang kita anut adalah otonomi dalam bingkai negara kesatuan. Hal ini ditegaskan pada bagian penjelasan Undang-Undang nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda), “Pemberian otonomi yang seluas-seluasnya kepada daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip negara kesatuan. Dalam negara kesatuan kedaulatan hanya ada pada pemerintahan negara atau pemerintahan nasional dan tidak ada kedaulatan pada daerah.
Oleh karena itu, seluas apa pun otonomi yang diberikan kepada daerah, tanggung jawab akhir penyelenggaraan pemerintahan daerah akan tetap ada di tangan pemerintah pusat. Untuk itu pemerintahan daerah pada negara kesatuan merupakan satu kesatuan dengan pemerintahan nasional. Sejalan dengan itu, kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh daerah merupakan bagian integral dari kebijakan nasional. Pembedanya adalah terletak pada bagaimana memanfaatkan kearifan, potensi, inovasi, daya saing, dan kreativitas daerah untuk mencapai tujuan nasional tersebut di tingkat lokal yang pada gilirannya akan mendukung pencapaian tujuan nasional secara keseluruhan”.
Pembuatan perda memiliki sejumlah syarat. Syarat yang menjadi panduan agar perda yang dihasilkan dapat memenuhi prinsip-prinsip pembentukan perda yang baik. Terdapat 10 (sepuluh) syarat yang dapat dijadikan pedoman pembentukan perda. Pertama, sinkron dengan peraturan induk (umbrella act). Perda itu bukanlah peraturan yang semata-mata menguatkan eksistensi daerah. Tetapi lebih dipandang sebagai perpanjangan tangan pemerintah pusat. Karena peraturan induk tidak bisa menjangkau keberagaman semua daerah, maka perda adalah jawaban secara teknis. Hanya perda yang mampu memotret kondisi khas daerah beserta kearifan lokal yang dimilikinya. Prinsinya, tidak boleh ada pertentangan norma antara perda dan peraturan induknya. Artinya peraturan yang lebih tinggi mengesampingkan peraturan yang lebih rendah. Perda yang bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, berkonsekuensi dapat dibatalkan (vernietigbaar).
Kedua, mengatur hal yang sesuai dengan kewenangannya. Jika diterjemahkan pasal 18 ayat (6) UUD 1945, maka sesungguhnya daerah memiliki hak dalam pembentukan perda. Tetapi pembentukan perda tersebut harus didasari kewenangan yang diberikan peraturan perundang-undangan. Konsep otonomi seluas-luasnya tidak boleh dimaknai bahwa daerah boleh mengatur segala sesuatu tanpa batas. Karena itu, pasal 18 ayat (5) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya. Kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”.
Daerah tidak boleh membentuk perda yang berurusan dengan keagamaan. Sebab pengaturan mengenai keagamaan adalah mutlak kewenangan pemerintah pusat. Dalam pasal 10 ayat (1) UU Pemda, disebutkan bahwa terdapat 6 (enam) “urusan pemerintahan absolut” yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Antara lain politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasonal, dan agama.
Ketiga, bukan pengulangan dari peraturan yang sudah ada atau peraturan yang lebih tinggi. Ini adalah masalah yang muncul sejak dulu. Perda yang dibuat tidak lain adalah pengulangan isi dari undang-undang, peraturan pemerintah atau peraturan menteri. Ini jelas mubazir jika dipandang dari sisi pembuatan perda. Logikanya, buat apa perda dibuat jika peraturan yang telah ada cukup untuk menjawab permasalahan di daerah.
Keempat, bukan salinan atau plagiasi. Dalam beberapa kasus, perda yang dibuat terkadang merupakan hasil salinan (copy paste) dari daerah lain. Apa yang berlaku di daerah A tidak bisa kita telan mentah-mentah untuk diberlakukan di daerah B. Begitupun sebaliknya. Sebab selalu ada kekhususan di setiap daerah yang tidak bisa diadopsi begitu saja. Kebiasaan menyalin perda dari daerah lain macam ini lebih tepat disebut sebagai kemalasan kolektif.
Kelima, selaras dengan rencana pembangunan daerah. Perda harus linier dengan RPJPD, RPJMD, dan RKPD. Kebanyakan perda justru keluar dari jalur rencana yang ditetapkan pemerintah daerah.
Keenam, melibatkan partisipasi masyarakat secara luas. Dalam tahapan proses sosialiasi perda, baik dalam bentuk dengar pendapat, seminar, maupun uji publik, partisipasi masyarakat cenderung bersifat formalitas serta terbatas hanya melibatkan kelompok tertentu. Itupun umumnya digelar di tempat-tempat mewah yang jauh dari jangkauan masyarakat. Idealnya, sosialiasi itu dilakukan di kantong-kantong massa yang mudah diakses masyarakat. Selain lebih efektif, cara itu juga bisa lebih hemat biaya dibanding dilakukan di hotel-hotel dan tempat sejenisnya.
Ketujuh, responsif terhadap persoalan-persoalan pokok yang terjadi di tengah masyarakat. Menurut Jeremy Bentham (2010), kebaikan publik hendaknya menjadi tujuan legislator; manfaat umum menjadi landasan penalarannya. Kedelapan, bukan didasari bisnis atau mencari keuntungan (base on project). Ini yang terkadang merusak marwah dari perda. Memang benar bahwa proses penyusunan perda memerlukan biaya. Tetapi tidak menempatkannya sebagai hal pokok. Manfaat dan kegunaan perda bagi masyarakat, jauh lebih penting dari apapun.
Kesembilan, perda harus berbasis riset. Bukan disusun di belakang meja. Ketepatan dalam penyusunan materi muatan dalam perda, sangat bergantung hasil penelitian. Semakin akurat basis data yang didapatkan, maka semakin tepat pula materi muatan yang disusun dalam perda. Ini sekaigus menjawab, kenapa naskah akademik begitu penting dalam setiap penyusunan perda.
Kesepuluh, harus terbuka dan transparan. Prinsip ini mesti dipraktekkan sejak dari penyusunan, pembahasan, penetapan, hingga pengundangan perda dalam lembaran daerah. Anehnya, tidak jarang perda tiba-tiba diundangkan tanpa proses yang terbuka dan transparan atau sering juga disebut dengan isilah “perda siluman”.
Kita tidak boleh berlindung di balik penerapan teori fiksi (fiction theory), di mana setiap orang dianggap paham dan mengetahui suatu perda sejak diundangkan. Sebab setiap perda yang dibuat, ada hak masyarakat untuk mengetahui isi dan prosesnya secara terbuka dan transparan. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post