bontangpost.id – “Bagaimana kami mau gowes di jalur kiri kalau jalur sepeda yang panjangnya enggak seberapa itu dipakai buat parkir mobil dan motor,” ujar seorang pengguna sepeda, Fanny, kala berbincang dengan Bontangpost.id, Rabu (1/7/2020) siang.
Fanny adalah pengguna rutin sepeda. Nyaris saban sore dia keliling kota bersama kawannya dalam komunitas sepeda lipat, atau beken dengan Folding Bike Bontang. Adapun dalam komunitas itu, pria yang berprofesi sebagai fotografer itu menjabat posisi wakil ketua.
Kalimat pembuka tulisan ini adalah ekspresi kesal Fanny kala Bontangpost.id meminta tanggapannya atas tudingan yang belakangan dialamatkan kepada goweser. Mereka dikatakan suka mengabaikan lalu lintas (Lalin). Pun dinilai mengganggu pengguna kendaraan lain lantaran berkendara selalu bergerombol.
Kata Fanny, yang perlu dipahami publik, goweser yang tergabung dalam komunitas dan goweser individu itu beda. Goweser individu hampir tak mungkin melakukan gangguan di jalan. Karena jumlah mereka tak banyak. Paling banter 3 sepeda saja.
Sementara mereka yang tergabung dalam komunitas, tak akan sembarang ketika gowes. Karena sebelum memutar pedal sepeda, akan ada pengarahan. Soal jalur. Soal jumlah lampu lalin yang bakal dilalui. Hingga mengecek kelengkapan alat keselamatan, semisal helm, lampu (kalau gowes malam), kaos tangan, kacamata, dan masker.
“Di depan itu juga ada voorijder (pembuka jalan). Dia juga arahkan teman-teman di belakangnya untuk tetap di satu jalur,” beber Fanny.
Soal tudingan mengambil jalur di badan atau tengah jalan, alih-alih di sisi kiri. Ujar Fanny, mestinya tanpa diberi tahu, publik tahu bagaimana kondisi jalan di Bontang yang pada dasarnya tak ramah bagi goweser. Jalur kiri dipakai untuk parkir liar kendaraan, baik motor dan mobil. Belum lagi ada pedagang asongan. Sementara jalur sepeda yang membentang di Jalan MH Thamrin pun bisa dikatakan tak bisa difungsikan sebagaimana peruntukannya. Sebabnya jelas: karena lagi-lagi dipakai buat parkir liar.
“Jalur yang jelas-jelas untuk sepeda saja dipakai buat parkir liar kok. Lihat saja kalau di jalan protokol lain, kondisinya sama saja. Mau enggak mau, terpaksa kami merangsek ke tengah jalan,” urainya.
Publik mestinya mafhum konsep berbagi ruang di jalan. Sebagai salah satu moda transportasi, posisi sepeda dengan kendaraan lain semisal motor dan mobil sama. Sehingga, pengguna sepeda pun berhak mendapat ruang di jalan.
“Tapi faktanya kan tidak. Jalan enggak ramah bagi goweser. Kami lambat dikit, diklakson. Salah-salah bisa ditabrak. Sepeda itu dikayuh, bukan pakai mesin. Mohon dipahami itu,” harapnya.
Pendapat senada diungkapkan Ketua Bekantan Bike Bontang, Majid. Atau komunitas sepeda gunung. Hal yang ditekannya, publik mesti mafhum kondisi jalan di Bontang dan bagaimana sepeda difungsikan.
“Kita lihat, jalur sepeda di Bontang seberapa panjang sih? terus bisa enggak difungsikan. Saya enggak usah jawab, rasanya kita sudah tahu lah jawabnya,” ungkap Majid kala dihubungi Bontangpost.id melalui sambungan telepon, Rabu (1/7/2020) sore.
Pengguna sepeda gunung memang jarang main ke jalur kota. Mereka lebih sering di main di hutan atau kebun. Namun Majid kurang sepakat ketika goweser dituding suka abai lalin dan mengganggu pengguna jalan.
Yang ada, ujarnya, pengguna sepeda rawan ketika berkendara di jalan, khususnya jalan protokol. Sebab banyak pengendara kerap tak memberi ruang bagi goweser. Lambat dikit, diklakson. Goweser berkelompok dikatakan mengganggu jalan.
“Tapi ya sudah lah. Kan ini masih baru. Mungkin publik butuh penyesuaian aja,” pungkasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post