bontangpost.id – Rencana pemanfaatan lubang tambang PT Indominco Mandiri (IMM) sebagai sumber bahan baku air bersih kembali menuai polemik. Legislator sangat getol supaya langkah ini segera terealisasi. Ketua Komisi III DPRD Bontang Amir Tosina mengatakan, sumber air dalam tanah tak bisa terlalu diharapkan. Cadangannya menipis.
“Ada beberapa pilihan memang. Tapi, yang paling realistis saat ini adalah pemanfaatan air bekas lubang tambang IMM,” kata Amir usai rapat bersama IMM di sekretariat dewan, Selasa (18/5).
Sementara Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menyebut langkah ini sangat terburu-buru. Mereka pun menilai Pemkot Bontang tidak transparan. Serta mengabaikan aspek kesehatan dan keamanan warga.
Dinamisator Jatam Kaltim Pradarma Rupang menjelaskan, ada tiga hal yang sangat disoroti pihaknya atas rencana ini. Pembukaan tambang di hulu Bontang sejatinya merupakan pemicu terjadinya krisis air di Bontang.
Luas konsesi tambang IMM sekitar 25 ribu hektare. Jarak konsesi tambang ke Bontang sekitar 24 kilometer. Ini artinya, keberadaan IMM justru merusak daya dukung dan daya tampung lingkungan, khususnya produksi air tanah yang mengalami kemerosotan.
Dalam persoalan krisis air Bontang, IMM seolah jadi juru selamat atas potensi krisis air. Ia menegaskan padahal jauh sebelum lubang tambang itu ada, kehadiran IMM, justru menjadi problem awalnya.
Selanjutnya, pembukaan lahan secara besar-besaran yang dilakukan IMM membuat beban air dengan mudah melaju ke Bontang. Inilah yang kemudian mengakibatkan banjir skala besar terjadi di Kota Taman. Bahkan intensitasnya makin sering.
“Sudah tabungan airnya dirusak, membawa banjir juga buat warga Bontang,” terang Rupang.
Terakhir, pemerintah tidak pernah membeber seluruh fakta-fakta ini kepada publik. Pemerintah hanya bilang air bekas lubang tambang jadi solusi atas krisis air, tapi tak pernah mengurai duduk perkara kenapa persoalan ini bisa hadir.
“Itu fakta-faktanya dan pemerintah tidak pernah membongkar itu,” tegasnya.
Rupang menilai, mestinya pemerintah dan legislator mempertimbangkan seluruh aspek yang mengikuti soal pemanfaatan air di bekas lubang tambang. Pertama aspek keamanan. Satu bekas lubang tambang IMM memiliki luas sekitar 51 hektare. Itu baru satu lubang. Sementara ada 10 lubang yang ditawarkan perusahaan itu kepada pemerintah, kendati yang direkomendasi baru dua lubang tambang.
Dengan lubang menganga seluas itu, tak ada jaminan warga sekitar bisa aman. Dalam catatan Jatam saja, sudah ada 39 anak meninggal akibat terperosok di lubang ‘gelap’ itu. “Siapa yang bisa jamin? tidak ada,” urainya.
Berikutnya aspek kesehatan. Air di lubang tambang terkontaminasi berbagai racun berbahaya. Dia juga menyebut, tak ada perusahaan yang mau mengonsumsi air bekas lubang tambang secara terus-terusan. Bahkan, untuk konsumsi perusahaan, mereka menggunakan air kemasan. Bukan memfilter air di lubang tambang. Alih-alih menggunakan air hasil filter untuk keperluan sendiri, perusahaan justru menawarkan air itu kepada masyarakat yang bermukim di lingkar tambang.
“Jelas mereka (perusahaan) tidak mau karena tahu itu beracun,” tegasnya.
Mengonsumsi air bekas lubang tambang memang tidak langsung dirasakan dampaknya oleh warga. Kata Rupang, dampak akan dirasakan setelah bertahun kemudian. Ia terakumulasi dan membawa aneka penyakit terhadap manusia. Semisal gangguan pencernaan, gangguan liver dan jantung, keguguran, serta bayi lahir cacat.
”Kami juga melakukan penelitian terhadap kualitas air akibat tambang IMM. Hasil laporannya akan kami terbitkan,” bebernya.
Rupang mengingatkan, memanfaatkan air bekas lubang tambang bukan solusi atas krisis air yang menghantui Bontang. Kalaupun pemerintah kukuh merealisasikan rencana ini, warga yang akan mendapat mudaratnya. Air tentu tak gratis, ia mesti dibeli. Sementara untuk memfilter air bekas lubang tambang butuh teknologi mumpuni. Ini kemudian mengakibatkan air yang didistribusikan ke warga jadi mahal. Mau tak mau warga mesti membelinya karena air adalah kebutuhan primer.
Lebih jauh, dengan biaya air yang membengkak, praktis menambah komponen pengeluaran warga. Persoalannya, tingkat kesejahteraan masyarakat tidak sama. Maka Rupang tak heran, bila air mesti ditebus dengan harga mahal, ini akan mendorong banyak warga Bontang terpuruk dalam jurang kemiskinan.
“Apa ini dipertimbangkan juga sama pemerintah,” dia mempertanyakan.
Sebabnya, dia tegas meminta pemerintah fokus mencari solusi alternatif dengan mempertimbangkan seluruh aspek-aspek yang telah dipaparkannya. Dia mendorong pemerintah kembali mengembalikan fungsi hutan yang berada di daerah penyangga Bontang — Kutim dan Kukar, yang telah rusak akibat diobrak-abrik tambang batu bara. Agar tabungan air alami warga bisa kembali. Sebab, air dengan kualitas baik dan bermutu ketika diurai oleh alam dengan keberadaan tanaman, pohon-pohon. Selain kualitasnya baik, air yang didapat dari alam langsung akan lebih ramah lingkungan dan murah.
“Kami tidak habis pikir, pendekatan pemerintah seolah-olah mengabaikan sejarah krisisnya, itu yang harus dibuka,” kata Rupang.
Dia menegaskan, bila rencana ini direalisasikan, jelas yang diuntungkan adalah IMM. Sebab bila air itu digunakan, ia bisa jadi alibi perusahaan untuk tak menunaikan tanggung jawabnya. Menutup kembali lubang-lubang yang telah dikeruk, dan melakukan penanaman pohon kembali.
“Ini jadi pintu keluar perusahaan untuk lepas tanggung jawab. Juga akan menjadi referensi bagi perusahaan lain untuk melakukan hal serupa,” tandasnya. (*/ak/far/k15/kaltim post)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: