bontangpost.id – Ketua KPK Firli Bahuri dan pimpinan lain mendapat serangan balik atas kontroversi penonaktifan 75 pegawai yang tidak memenuhi syarat (TMS) menjadi aparatur sipil negara (ASN). Firli dituntut untuk melepaskan jabatan sebagai ketua. Dia bersama pimpinan yang lain juga dilaporkan ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK atas tuduhan pelanggaran etik.
Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menyatakan sudah seharusnya Firli menanggalkan jabatannya sebagai ketua. Dia menyebut Firli sebaiknya turun menjadi wakil ketua. ”Biar ketuanya diganti pimpinan (KPK) yang lain, Pak Firli jadi wakil ketua saja,” kata Boyamin kepada Jawa Pos, (18/5/2021).
Boyamin menyebut kontroversi di KPK yang terjadi selama setahun terakhir lebih dari cukup untuk menyimpulkan bahwa Firli telah gagal menjadi ketua. Sebelum kontroversi tes wawasan kebangsaan (TWK), Firli juga menuai polemik karena menyewa helikopter untuk pulang kampung ke Sumatera Selatan (Sumsel). ”Harun Masiku (tersangka di KPK) juga belum ketemu,” ujarnya.
Di sisi lain, 75 pegawai KPK yang berstatus TMS kembali melancarkan ‘serangan’. Mereka melaporkan 5 pimpinan KPK (Firli, Nurul Ghufron, Lili Pintauli Siregar, Nawawi Pomolango dan Alexander Marwata) ke Dewas atas dugaan pelanggaran etik. Di antaranya tentang kejujuran. ”Dalam berbagai sosialisasi pimpinan KPK mengatakan bahwa tidak ada konsekuensi dari TWK,” kata Hotman Tambunan, perwakilan 75 pegawai KPK.
Kepala Satuan Tugas (Kasatgas) Pembelajaran Internal KPK itu menjelaskan selama ini pegawai berpikir bahwa asesmen TWK bukanlah suatu hal yang bisa meluluskan dan tidak meluluskan suatu hal. Namun pada kenyataannya, hasil asesmen itu justru menjadi dasar 75 pegawai dinonaktifkan.
”Ini (TWK) berkaitan dengan hak-hak kami sebagai orang akan menentukan masa depan,” jelasnya.
Selain itu, Hotman menyebut pihaknya juga melaporkan pimpinan terkait dugaan pelecehan seksual yang terkandung dalam TWK. Seperti diketahui, sejumlah pegawai mengaku menerima pertanyaan yang mengarah pada seksisme. ”Ini menjadi kepedulian kami terhadap anak perempuan kami, terhadap adik dan kakak perempuan kami,” terangnya.
Berikutnya, Hotman menyebut pihaknya juga melaporkan indikasi kesewenang-wenangan yang dilakukan pimpinan. Dia menilai pimpinan KPK telah bertindak sewenang-wenang dengan mengeluarkan Surat Keputuan (SK) Nomor 652/2021 tentang hasil asesmen TWK dan perintah menyerahkan tugas dan tanggungjawab pegawai TMS kepada atasan.
Menurut Hotman, surat itu jelas bertentangan dengan pertimbangan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan judicial review (JR) UU KPK pada 4 Mei lalu. Dalam pertimbangan itu, MK mengisyaratkan bahwa proses alih status menjadi ASN tidak boleh merugikan hak-hak pegawai KPK. ”SK 652 sangat merugikan kami,” terangnya.
Perwakilan pegawai yang lain, Novel Baswedan menambahkan upaya melaporkan pimpinan ke Dewas sebenarnya membuat pegawai merasa sedih. Sebab, pimpinan KPK seharusnya sadar bahwa mereka dipilih karena memiliki integritas. ”Tapi dalam beberapa hal yang kami amati, ada hal-hal yang sangat mendasar dan kami lihat sebagai masalah serius,” tutur penyidik senior KPK itu.
Dia berharap, pimpinan KPK bisa menjaga etika profesi dan berbuat sebaik mungkin dalam koridor integritas. Menurut Novel, itu berkaitan dengan upaya memberantas korupsi. ”Kalau hal itu (etika profesi) tidak dijadikan basis dari suatu tindakan atau perilaku, saya khawatir upaya memberantas korupsi akan sangat terganggu,” imbuhnya.
Sementara itu, koalisi masyarakat sipil antikorupsi menggelar teatrikal di depan gedung KPK. Aksi tersebut sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pimpinan KPK yang menonaktifkan 75 pegawai yang tidak lolos TWK. Sebanyak 30 orang menjadi peserta dalam aksi tersebut. Diantaranya mahasiswa, pegiat antikorupsi, dan jurnalis. (tyo)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post