bontangpost.id – Penasehat hukum terdakwa kasus dugaan korupsi di tubuh PT Bontang Migas dan Energi mengaku bingung. Terhadap perhitungan kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus ini. Penasehat hukum terdakwa Kasmiran Rais yakni Bahrodin mengatakan ia mendapat dua nominal selama ini. Berupa Rp 230.824.035 dan Rp 474 juta.
“Selama ini kami bingung karena ini tidak selalu jelas dalam persidangan,” kata Bahrodin.
Diketahui angka Rp 230 juta itu terambil dari pembiayaan perusahaan yang melebihi atau tidak termuat dalam rencana kerja anggaran perusahaan (RKAP) 2017. Rinciannya Surat Jalan Antar Lokasi Kerja Rp 48.326.500, Beban Keuangan SPPD Rp 42.013.000, Konsumabel Kantor Rp 11.200.336, Beban Lain-Lain Rp 1.740.000, Kesejahteraan Karyawan Rp 6.800.000. Di tambah Employee Gathering Rp 61.798.700, Lembur Pegawai Rp 18.771.245, dan Pemberian Pesangon Rp 40.174.254.
Sementara sebelumnya muncul angka Rp 474 juta berdasarkan hasil perhitungan Inspektorat Kota Bontang. “Yang Rp 474 itu kami selalu tanyakan tetapi selalu tidak terungkap di persidangan. Bahkan terdakwa tidak pernah dikorfimasi terkait audit inspektorat,” ucapnya.
Oleh karena itu penasehat hukum meminta kliennya dibebaskan dari segala macam dakwaan. Karena ia mengklaim kasus ini merupakan salah tafsir dari jaksa penuntut umum (JPU). Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan akan digelar 1 Agustus mendatang.
Sebelumnya diberitakan ia memandang namanya RKAP itu dianggap masih bersifat rencana. Jadi wajar jika ada kelebihan atau pos yang tidak masuk. Apalagi di tahun tersebut ada kerugian perusahaan. Mengingat salat satu unit mesin yang dimiliki rusak.
Sementara unit baru bisnis membutuhkan tambahan sumber daya manusia sejumlah 11 orang. Sehingga ia membenarkan jumlah pendapatan tidak menanjak namun beban pembiayaan melonjak. Termasuk dengan belanja konsumtif dan uang lembur karyawan.
“Memang benar ada besaran yang melebihi dari RKAP. Ada unit baru yang tidak ada di RKAP tetapi dilaksanakan. Karena ada unit bisnis baru saat itu,” tutur dia.
Namun di pertengahan 2018 pembiayaan itu telah disetujui melalui RUPS. Pada momentum tersebut dirangkai dengan menyangkut evaluasi kinerja dan laporan keuangan tahun sebelumnya. Bahrodin menjelaskan pandangan JPU terlalu sempit. Karena pembelajaan di luar RKAP langsung diadopsi perbutaan melawan hukum pidana. Padahal RKAP itu masih sebatas rencana. Dengan pendirian perusahaan itu yakni berorientasi bisnis. Maka direktur punya kewenangan untuk peoperasionalan seluas-luasnya.
“Beda cerita kalau mark up atau pengadaan fiktif itu memang masuk pidana. Tetapi ini hanya sebatas tidak sesuai RKAP. Kalaupun di RUPS tidak diterima maka direktur wajib mengembalikan penggunaan uang. Tetapi ini disetujui,” pungkasnya. (ak)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post