bontangpost.id – Dua pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B), PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Multi Harapan Utama (MHU) telah mengajukan perpanjangan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Meski begitu, perpanjangan tidak bisa serta-merta dilakukan. Masalah pertambangan yang begitu kompleks jadi salah satu penyebab. Salah satunya lubang tambang.
Untuk diketahui, saat ini untuk kewenangan perpanjangan kontrak PKP2B tersebut ada di tangan pemerintah pusat. Namun bukan berarti pemerintah daerah bisa benar-benar lepas tangan atau tidak memiliki kontribusi.
Akademisi dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Herdiansyah Hamzah menyebut, kendati kewenangan izin ada di pusat, pemerintah daerah (pemda) memiliki ruang memberikan masukan dan pertimbangan. Terutama terhadap aspek lingkungan hidupnya.
Pemda bisa memberikan laporan terhadap rekam jejak (track record) kedua perusahaan tersebut selama izin generasi PKP2B diberikan sebelumnya. Termasuk daftar pelanggaran lingkungan yang dilakukan.
“Misalnya, ada perusahaan yang aktivitasnya diduga menenggelamkan kebun warga sekitar akibat kelalaiannya dalam kegiatan pertambangan. Juga, lubang tambang di wilayah konsesinya disebut menyebabkan hilangnya nyawa manusia. Harusnya hal-hal macam itu dijadikan evaluasi dan bahan pertimbangan memberikan perpanjangan izin,” jelasnya.
Dia menambahkan, memang mindset pemda mesti diubah. Kalau masih profit oriented, maka laporan terhadap daftar pelanggaran lingkungan tersebut, tidak akan pernah serius diperjuangkan di pusat.
“Tapi saya sangsi laporan tersebut akan dilakukan oleh pemda. Mengingat, selama ini tidak ada niat serius dari pemda menyelesaikan perkara tambang di Kaltim. Mindset-nya masih terlalu profit oriented. Keberpihakan terhadap prinsip-prinsip perlindungan terhadap lingkungan hidup (environmental ethics) belum tecermin sama sekali,” bebernya.
Pria berkacamata itu melanjutkan, intinya, meski izin kegiatan berada di pusat, tetapi prinsip perlindungan lingkungan hidupnya menjadi domain daerah. Persoalannya tinggal seberapa serius dan peduli pemda memperjuangkan itu.
Sementara itu, Dinamisator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang mengatakan, sebenarnya, setelah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 diberlakukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengeluarkan surat edaran agar pemda tidak menerbitkan izin baru sebelum aturan turunan yaitu peraturan pemerintah (PP) terbit. Itu menunjukkan, harusnya pemerintah tidak terburu-buru meladeni permintaan perusahaan tambang seperti KPC dan MHU.
Di sisi lain, masyarakat sipil sudah melakukan gugatan atau judicial review atas ketidakadilan dalam undang-undang yang penuh karut-marut. Jika nanti gugatan tersebut menang, tentunya akan ada pelanggaran hukum dan tentu saja menjadi persoalan, karena negara yang dirugikan.
“Dalam konteks itu, kami mengedepankan kepada pemerintah agar jangan tergesa-gesa memberi perpanjangan bagi para pelaku pertambangan besar. Lakukan evaluasi secara menyeluruh dahulu. Bagaimana komitmen melakukan pemulihan. Seperti kita tahu, Kaltim sudah luluh lantak dihajar tambang,” ujar Rupang.
Kalau dilihat dalam catatan Jatam Kaltim, ada 1.735 lubang tambang hingga 2019. “Bahkan, tragedi seorang anak tenggelam terjadi di salah satu lubang tambang milik PT MHU,” ungkap Rupang.
Perlu diketahui, pada 2015, remaja laki-laki berusia 15 tahun, Mulyadi tewas di lubang bekas tambang batu bara perusahaan pemegang PKP2B tersebut. Hal itu tentu tidak diinginkan terjadi kembali.
Nah, yang paling mencolok proses evaluasi tambang tidak terbuka. Itu akan merugikan bagi masyarakat yang hidup di sekitar kawasan tambang. Apalagi lahan Kaltim yang 5 juta hektare lebih kawasannya adalah pertambangan. “Pelanggaran masih terjadi. Kalau mau evaluasi, jangan menggiring bagaimana logika perpanjangan izin. Tetapi, juga melibatkan partisipasi publik di sekitar tambang,” saran dia.
Sentralisasi izin akan melemahkan pengawasan sektor tambang. Bahkan, pengawasan dilakukan tidak langsung melalui citra satelit. Padahal, sejumlah masalah baik dari segi ekonomi, sosial, maupun lingkungan masih terjadi.
“Saat ini, kita bisa melihat status pemulihan lahan pasca-tambang di Kaltim. Ini menjadi kritik bagi persoalan bagaimana perusahaan tambang mendapatkan kemudahan melanjutkan perpanjangan secara otomatis,” tutur Rupang.
Di sisi lain, dia mengatakan, masalah besar lain perusahaan tambang besar adalah belum mendapatkan satu gambaran transparansi bagaimana pengelolaan sejumlah kewajiban keuangan seperti iuran tetap dan royalti. “Belum lagi konflik lahan dengan warga. Juga, masalah lingkungan yang tak kunjung selesai,” jelasnya.
Diwartakan sebelumnya, dua dari lima perusahaan tambang kakap ancang-ancang memperpanjang penggalian batu baranya di Kaltim. Perusahaan itu, PT KPC yang beroperasi di Kutai Timur dengan luas 84.938 hektare.
Kontrak PT KPC akan berakhir pada 31 Desember 2021. Kemudian, PT MHU yang menambang di Kutai Kartanegara dan Samarinda. Kontrak PT MHU akan berakhir 1 April 2022.
Informasi yang dihimpun Kaltim Post dari Kementerian Energi dan Sumber daya Mineral (ESDM), PT KPC mengajukan perpanjangan melalui surat presiden direktur PT KPC bernomor L-188/BOD-MD1.7.5/III/2020 tertanggal 30 Maret 2020.
Sedangkan PT MHU, mengajukan perpanjangan melalui surat presiden direktur PT MHU bernomor 262/OL/MHU-BOD/VI/2020 tanggal 29 Juni 2020. Untuk diketahui, pengaturan perpanjangan kontrak PKP2B seperti PT KPC dan PT MHU, diatur pada Pasal 169 UU 3/2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Secara terperinci, pada Pasal 169A, Kontrak Karya (KK) dan PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebagai kelanjutan operasi KK atau PKP2B.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Minerba) Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengungkapkan, kontrak karya maupun PKP2B diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
Hal tersebut sudah sesuai Pasal 169 UU 3/2020 tentang Minerba. Di mana KK atau PKP2B yang belum memperoleh perpanjangan dijamin mendapatkan dua kali perpanjangan dalam bentuk IUPK. Sebagai kelanjutan operasi kontrak atau perjanjian masing-masing untuk jangka waktu paling lama 10 tahun. Dalihnya, peningkatan penerimaan negara. (nyc/rom/k8/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post