bontangpost.id – Peristiwa tragis menimpa seorang siswa SD di Pesanggaran, Banyuwangi berinisial yang masih berusia 11 tahun. Ia mengakhiri hidupnya dengan gantung diri karena kerap mendapat perundungan atau bully dari teman-temannya di sekolah.
Baca juga; Bocah SD Gantung Diri, Diduga Tak Tahan Sering Dibully Tidak Punya Bapak
Melihat kasus tersebut, salah satu pemerhati anak di Bontang Trully Tisna Milasari mengaku sangat perihatin dengan peristiwa itu. Hal itu menunjukkan kasus perundungan masih marak terjadi di institusi pendidikan dasar.
Menurut pandangannya, kasus tersebut bisa menimpa siapa saja. Termasuk anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Semua tergantung dari apa yang dikonsumsi di lingkungannya saban hari. Sebab, perilaku menyimpang yang terjadi saat ini lebih cenderung menimpa anak yang usianya lebih muda.
“Apa yang anak lihat di lingkungan keluarga, tetangga, maupun sekolah itu berdampak sekali dalam kehidupannya. Karena secara otomatis terekam di memori ingatan. Apalagi hal negatif jauh lebih cepat diterima,” bebernya saat dikonfirmasi.
Dikatakan Trully, beberapa hal bisa mempengaruhi anak untuk melakukan tindakan tersebut. Oleh sebab itu, perlu kepekaan penuh bagi orangtua untuk mengenal perubahan perilaku anak.
Dalam kondisi ini orangtua memiliki kontrol yang sangat berpengaruh. Ia menegaskan saat ini pengendali utama berada di lingkup keluarga. Jadi jika ketahanan keluarga itu kurang, maka akan berdampak kepada anak.
“Sebagai orang tua harus bisa memvalidasi emosi anak ketika si anak menceritakan kejadian di sekolah. Jangan sampai cuek. Karena peran kita sangat dibutuhkan,” tuturnya.
Tak cukup hanya dengan peran orangtua, lembaga pembelajaran atau sekolah juga harus lebih sadar dan terbuka dengan kasus ini. Serta selalu memberi edukasi juga pendampingan kepada anak. Tujuannya, agar kasus ini tidak terulang dan menciptakan sekolah ramah anak.
Tak hanya soal pendampingan, Trully juga mengingatkan agar pihak sekolah lebih serius menangani ini. Caranya dengan memahami macam kasus perundungan. Baik itu fisik, verbal, sosial, relasional, cyberbullying, maupun seksual.
Sebab, bullying secara kasat mata tampak saja seperti guyonan biasa kepada anak-anak. Namun jangan mengira itu tidak menimbulkan dampak serius. Ejekan atau olokan secara verbal bisa sangat berbahaya bagi anak.
“Belajar dari kasus ini untuk lebih melek terhadap perasaan anak. Anak kalau sudah merasa sendiri itu sudah bahaya. Makanya setiap ada laporan harus ditelaah kemudian ditindak. Jangan diam saja kalau ada kasus seperti itu. Sebaik mungkin kita mengajari anak untuk mengambil aksi apabila dirundung,” jelasnya.
Kata Trully, untuk meminimalisasi kasus-kasus bullying hingga menimbulkan korban, iklim sekolah harus lebih diperhatikan. Utamanya guru wali kelas. Paling tidak, sekolah harus punya program pencegahan, mekanisme pengaduan, penanganan maupun intervensi dalam menghadapi kekerasan maupun, sosialisasi yang efektif. Sinergi antara sekolah dan orangtua sangat penting dibangun dan diperkuat lagi.
Lingkungan di sekitar tempat anak bergaul dan bermain juga memegang peranan penting dalam merespons kejadian yang ada.
“Setidaknya saat mendapat laporan dari anak, tahu langkah pertama apa yang harus dilakukan. Semua elemen harus kerja sama demi mencetak generasi pendidikan yang berkualitas,” tandasnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post