bontangpost.id – Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia (GPEI) Regional Kalimantan keberatan terkait larangan ekspor batu bara hingga 31 Januari 2022. Kebijakan itu, dianggap bukan solusi untuk menjamin pemenuhan kebutuhan PLN terhadap suplai batu bara dalam tempo lima hari seperti yang diharapkan.
“Justru akan berdampak pada menurunnya minat investasi di sektor pertambangan. Hingga hilangnya kepercayaan investor dan mitra kerja di luar negeri. Karena tidak adanya konsistensi kebijakan pemerintah dalam berbisnis,” kata Ketua DPD GPEI Kaltim dan Regional Kalimantan Mohammad Hamzah dalam keterangan resminya, Senin (3/1). Kebijakan Kementerian ESDM itu, lanjut dia, bakal menimbulkan kerugian besar pada semua pihak. Khususnya perusahaan pertambangan batu bara yang terdiri dari perusahaan PKP2B, IUP-OP, IUPK-OP, IUPK perpanjangan PKP2B, dan IUP trader (pemegang izin pengangkutan dan penjualan batu bara).
Mereka dianggap gagal memenuhi kontrak ekspor. “Perusahaan jasa pertambangan juga akan merugi. Karena akan menghentikan kegiatan. Akibat tidak adanya kepastian penjualan dari pemberi kerja. Termasuk para pekerja di semua sektor pertambangan batu bara, perusahaan pelayaran yang berhenti total karena pintu ekspor ditutup, dan pemerintah juga merugi akibat hilangnya devisa dan krisis kepercayaan investor asing,” tegasnya.
Hamzah mengungkapkan, saat ini di anchorage ship to ship (STS) seluruh Indonesia, ada ratusan mother vessel (kapal asing) dengan segala persiapan yang matang dan berantai. Mulai sektor produksi di tambang, hingga perencanaan ekspor dan pemenuhan kontrak bagi industri mitra kerja mereka di luar negeri. Namun semuanya mangkrak. Karena kebijakan pemerintah yang tergesa-gesa. Serta dianggap tidak memiliki target pasti untuk mengatasi kondisi kritis persediaan batu bara PLTU grup PLN, termasuk pengembang listrik swasta atau independent power producer (IPP).
Menurut dia, pemenuhan suplai untuk mengatasi kondisi kritis persediaan batu bara PLTU grup PLN termasuk IPP, merupakan kebijakan jangka pendek. Dia melanjutkan, kebijakan yang baru dikeluarkan pada 31 Desember 2021 itu, tidak cukup hanya dengan penugasan kepada perusahaan pertambangan tertentu, yang memiliki kemampuan suplai dalam tempo cepat dan segera. “Pemerintah juga bisa memberi hukuman bagi perusahaan yang tidak memenuhi kewajiban DMO (domestic market obligation), terkhusus pemasok batu bara yang sudah berkontrak dengan PLN dan IPP,” ungkapnya.
Hamzah memaparkan, pemenuhan suplai jangka panjang dapat dilakukan dengan memperbaiki sistem pembelian PLN, dalam melakukan coal supply chain di masing-masing PLTU se-Indonesia. PLN, kata dia, harus terbuka dan memberikan data yang akurat terkait jumlah kebutuhan harian dan cadangan 20 HOP (hari operasi) di setiap PLTU, koordinat letak setiap PLTU, spesifikasi batu bara yang diterima oleh setiap PLTU.
“Pastikan setiap perusahaan tambang mengetahuinya,” ujarnya. Adapun kondisinya saat ini, Hamzah menyebut mayoritas perusahaan tambang tidak memiliki akses ke PLN. Padahal logikanya, jika suatu entitas dibebani kewajiban, maka wajib pula dipastikan bahwa entitas tersebut diberi akses khusus agar dapat memenuhi kewajibannya. Kemudian, sistem pengadaan batu bara PLN harus dibuat terbuka, online dan sistematis yang terhubung dengan database MOMS. Serta disesuaikan dengan data spesifikasi batu bara yang diproduksi masing-masing perusahaan.
Serta menjadi bagian dari persyaratan persetujuan dalam pengajuan RKAB (Rencana Kerja dan Anggaran Belanja) setiap tahun oleh Ditjen Minerba. Sekaligus merupakan hak evaluasi per triwulan oleh Ditjen Minerba terhadap sebagian perusahaan tambang jika target produksinya tidak tercapai sesuai RKAB. Menurut dia, hak evaluasi harus ada guna menjamin pemenuhan kebutuhan PLN. Terkait patokan harga sebesar USD 70 per metrik ton (MT). Hamzah menyarankan PLN melakukan lelang terbuka perusahaan pelayaran untuk pelaksanaan pengangkutan, dengan sistem pembayaran yang merangsang perusahaan pelayaran tertarik untuk menjadi mitra PLN.
Sementara untuk perusahaan tambang kecil, dapat dikoordinasikan oleh IUP trader. Hanya saja, keuntungan IUP trader harus ditentukan. Sehingga perusahaan tambang kecil dapat memenuhi kewajiban dengan harga yang wajar. Dia menerangkan, pembelian batu bara oleh PLN saat ini, menggunakan sistem pembelian CnF dengan masa pembayaran invoice kurang lebih satu bulan. Sebagian perusahaan tambang ada yang dibayar hingga tiga bulan. Menurut dia, ini memberatkan. Banyak perusahaan tambang tidak mampu memenuhinya. Sehingga dimanfaatkan oleh funder dengan bunga tinggi.
“Seharusnya PLN dapat bekerja sama dengan perbankan sehingga pembayaran dapat dilakukan cash saat FOB tongkang, atau dengan sistem auto payment, mengacu pada pemenuhan dokumen. Seperti bill of lading dan laporan surveyor,” bebernya. Asas perdagangan yang sehat harus ditegakkan. Karena itu, ucap Hamzah, yang dibebani kewajiban DMO suplai PLN harusnya hanya perusahaan yang produksi tambangnya memenuhi spesifikasi PLN. Dia setuju jika pengenaan ancaman larangan ekspor atau denda bagi perusahaan yang lalai. Tetapi dana kompensasi bagi perusahaan yang spesifikasinya tidak sesuai kebutuhan PLN ataupun pasar domestik lainnya, bukanlah bagian dari kebijakan yang adil.
Menurut dia, ini menyimpang dari asas perdagangan yang sehat.
Jika kebijakan ini menyebabkan tidak terpenuhinya kebutuhan PLN, persentase kewajiban DMO dapat ditingkatkan.
Cukup Untuk 16 Hari Operasi
Ketersediaan batu bara untuk pembangkit listrik di Kaltim dijamin relatif aman. Kepada Kaltim Post, Manajer Aset Properti, Komunikasi dan Umum PLN Unit Induk Pembangkitan dan Penyaluran (UIKL) Kalimantan Achmad Riyadi menerangkan, konsumsi batu bara harian PLTU Teluk Balikpapan milik PLN dengan kapasitas 2×110 megawatt (MW) mencapai 3.000 juta ton per hari. Sementara untuk PLTU Asam-Asam di Kalimantan Selatan dengan kapasitas 260 MW, konsumsi batu baranya sebesar 4.400 juta ton per hari.
Untuk PLTU lainnya, sebut dia, merupakan milik swasta atau IPP. “Untuk PLTU lain di Kaltim, statusnya milik Independent Power Producer (IPP). Jadi kontraknya, kami membeli energi dari mereka. Untuk pemakaian batu baranya, merupakan data internal IPP-nya,” kata Riyadi kemarin. Menurut dia, pasokan listrik di Kaltim saat ini relatif aman. Pembangkit listrik wilayah Kalseltengtim, mampu memasok daya hingga 1.618 MW. Sementara pemakaian listrik pelanggan rata-rata mencapai 1.148 MW. Sehingga terdapat cadangan daya lebih 400 MW. “Tapi untuk stok batu bara pembangkit PLN saat ini siaga. Rata-rata stok di site menuju ke 16 hari operasi (HOp),” ungkapnya.
Dia melanjutkan, dengan stok batu bara saat ini, maka pasokan setrum dari pembangkit tersebut dipastikan relatif aman. “Namun, kondisi cuaca saat ini berpotensi mengakibatkan terganggunya proses penambangan dan pengiriman batu bara,” imbuhnya.
Terkait kebijakan DMO sebesar 25 persen dari total produksi batu bara untuk pemakaian dalam negeri, dia menyebut tidak memiliki data perincian yang diperuntukkan Kaltim. Data total produksi yang dialokasikan untuk ekspor, pemantauannya di luar ranah PLN.
“Kalau kami monitornya, stok batu bara untuk tiap pembangkit yang kami kelola. Apakah masih dalam kondisi aman untuk melistriki masyarakat di Kalimantan ini. Kalau yang bersifat kebijakan, kami di unit operasional, mohon maaf kurang bisa menjawab. Karena itu kewenangan regulator,” tuturnya.
Mengenai pemadaman listrik total atau blackout, yang sempat terjadi pada transmisi pembangkit listrik di Kaltim pada 2021, diterangkannya tidak berkaitan dengan pasokan batu bara.
Di mana, tahun lalu, setidaknya ada dua kali terjadi blackout di Kaltim dan juga Kalsel. Yakni pada 27 Mei dan 14 Desember 2021. “Untuk kejadian padam meluas yang terjadi di Kaltim tahun kemarin, bukan karena masalah energi primer pembangkit. Padam meluas kemarin karena ada gangguan di jaringan transmisi. Sehingga mengakibatkan padam meluas di Kaltim. Tapi untuk stok batu bara pembangkit kami tidak ada masalah,” pungkasnya. (ndu/kip/riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: