Disabilitas bukan halangan untuk mendapat penghidupan yang layak. Begitulah yang dipahami Rica Rahim, staf administrasi di Puskesmas Remaja, Samarinda. Meski diskriminasi gencar dialami, ibu tiga anak ini tetap berjuang dan membuktikan mampu hidup sebagaimana orang normal.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Cerita sedih sudah dialami Rica sejak masih balita. Orang tuanya berkisah, saat itu sulung dari tujuh bersaudara ini mengalami demam tinggi. Rica mendapat suntikan secara medis untuk menurunkan demam. Menginjak usia lima tahun, pertumbuhan kedua kakinya melengkung menyerupai huruf O. Rica lantas dibawa ke rumah sakit untuk ditangani lebih lanjut.
“Pihak rumah sakit menyebut saya terkena polio dan harus dioperasi. Saya dirujuk ke rumah sakit di Makassar karena di Samarinda waktu itu belum ada spesialis ortopedi,” kisah Rica saat ditemui Metro Samarinda (Kaltim Post Group), Selasa (18/7) kemarin.
Namun selepas operasi, kondisi kaki Rica belum juga sembuh. Walaupun sempat lurus, kakinya kembali melengkung. Meski bisa berjalan, namun kakinya tidak bertumbuh. Perlahan Rica pun menyadari ada yang salah dengan kakinya. Sayangnya, ketika Rica menanyakan pada kedua orang tuanya, jawaban yang didapat tidak memuaskan.
“Orang tua saya pasrah dan menerima begitu saja kondisi saya. Sejak itu saya menjalani hidup saya dengan kondisi seperti ini,” terangnya.
Hari demi hari dilewati Rica, namun ukuran kakinya tak jua memanjang. Pertumbuhan hanya terjadi pada bagian pinggang hingga tubuh bagian atas. Hingga beranjak remaja, tinggi badannya hanya sampai di ukuran 135 sentimeter. Dengan panjang kaki hanya mencapai sekira tiga jengkal. Kondisi yang membuatnya terlihat kerdil ini sangat berpengaruh pada kehidupan yang dia jalani.
“Saya seperti dikucilkan. Seperti tidak dipedulikan. Perhatian orang tua terhadap saya begitu berbeda. Saya dianggap seperti aib. Di keluarga, saya hanya dekat dengan nenek,” kenang Rica.
Kondisi pertumbuhan tubuh yang tidak normal ini sempat mengundang tanya dalam diri Rica. Ini dikarenakan kondisi fisiknya berbeda dengan teman-temannya. Rica pun ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kakinya. Jawaban atas pertanyaannya seakan mulai terjawab ketika dia menemukan foto-foto rontgen kakinya.
“Saat saya SMA, saya menemukan foto-foto rontgen kaki saya sewaktu kecil. Foto rontgen ini lalu saya bawa ke dokter ahli untuk meminta penjelasan,” tuturnya.
Ketika sang dokter mengutarakan asumsi usai melihat hasil rontgen, Rica terperanjat. Pasalnya, ada kemungkinan dokter yang mengoperasi Rica saat kecil melakukan kesalahan prosedur. Yaitu memotong tulang lutut yang merupakan tulang pertumbuhan. Hal inilah yang kemungkinan menjadi penyebab tulang kakinya tidak bertumbuh sebagai mestinya.
“Itu baru asumsi dan belum dibuktikan. Ini memang menjadi pertanyaan bagi saya, karena sebelum itu saya lahir dalam kondisi normal,” ungkap pehobi menyanyi ini.
Kondisi yang tidak normal membuat Rica remaja sempat minder. Beruntung teman-temannya di sekolah, mulai dari tingkat SD hingga SMK bersikap baik dan peduli padanya. Justru Rica sendiri yang menarik diri dari pergaulan dengan teman-temannya. Alasannya, Rica tidak ingin teman-temannya merasa malu karena bersama dirinya.
“Kalau di sekolah, semuanya baik kepada saya, tidak ada diskriminasi. Tapi di luar sekolah, banyak yang memandang rendah dan melecehkan saya karena kondisi fisik saya yang tidak sempurna,” cerita Rica.
Diskriminasi dan perlakuan tidak menyenangkan seakan menjadi “teman” Rica sehari-hari. Dia sering jadi bahan tertawaan saat berada di tempat-tempat keramaian. Ejekan dan perkataan kasar pun kerap didengarnya. Diakui Rica, rasanya begitu menyedihkan saat direndahkan dan mendapat hinaan. Mirisnya, keluarga yang mestinya bisa memberikan dukungan, justru ikut melakukan diskriminasi.
“Misalnya ketika ada acara-acara di luar, saya tidak diajak pergi. Saya tidak diperkenankan untuk ikut bersama keluarga saya,” urainya.
Tak lama setelah lulus SMK, Rica menikah di tahun 2000. Sang suami menyadari dan memahami benar kondisi fisik Rica. Dari pernikahannya tersebut, dia dikaruniai tiga orang anak. Anak sulung dan anak keduanya memiliki kondisi disabilitas yang sama sebagaimana Rica. Yaitu pertumbuhan kaki yang tidak sempurna. Sementara anak ketiganya yang merupakan satu-satunya perempuan, lahir dalam kondisi normal.
“Oleh keluarga, saya disarankan untuk memasukkan kedua anak saya ke SLB (sekolah luar biasa). Tapi saya bersikeras untuk menyekolahkan mereka di sekolah umum,” sebut Rica.
Perempuan kelahiran Samarinda, 37 tahun lalu ini punya alasan kuat kenapa anak-anaknya yang merupakan penyandang disabilitas harus menempuh pendidikan di sekolah umum. Menurut Rica, bersekolah di sekolah umum bisa melatih mental dan menempa diri anak-anaknya. Pun begitu, anak-anaknya bisa termotivasi untuk bersaing dengan anak-anak normal.
“Secara fisik anak-anak saya memang disabilitas. Namun kemampuan otaknya sama saja dengan anak-anak normal. Buktinya anak sulung saya bisa masuk SMK dengan nilai yang memuaskan. Belum tentu bila di SLB mendapatkan materi sebagaimana di sekolah umum,” bebernya.
Sayangnya, pernikahan Rica tidak bertahan lama. Permasalahan keluarga membuat dia terpaksa bercerai dengan sang suami di 2013. Perceraian tersebut meninggalkan duka tersendiri bagi Rica, yang mesti merawat dan menghidupi ketiga anaknya yang masih kecil. Rica yang semula ibu rumah tangga pun mesti keluar untuk bekerja mencari nafkah.
“Saya sempat bekerja menjadi tukang cuci dan setrika pakaian. Sebagai penyandang disabilitas, tidak banyak yang bisa saya lakukan saat itu,” kata Rica yang sempat bercita-cita kuliah di akademi bahasa asing ini.
Sebagai penyandang disabilitas, Rica sadar benar kehidupan yang dilaluinya tidak pernah mudah. Apalagi setelah dia bercerai. Namun justru dari situlah lahir tekad kuat dalam dirinya untuk bisa tetap berjuang. Rica ingin membuktikan, meski dikucilkan dan direndahkan, dirinya bisa mandiri dan meraih kesuksesan dalam kehidupan.
Rica kemudian banyak melibatkan diri dalam perkumpulan-perkumpulan penyandang disabilitas di Kota Tepian. Merasa sepenanggungan dan memiliki pengalaman yang sama, Rica tak segan ikut membantu para penyandang disabilitas. “Saya menyadari bahwa kondisi saya jauh lebih baik dibandingkan teman-teman penyandang disabilitas lainnya,” tambahnya.
Kemampuan komputer yang Rica miliki rupanya banyak bermanfaat dalam kegiatan-kegiatan perkumpulan tersebut. Hal ini membuat salah seorang rekan merekomendasikannya kepada Wali Kota Samarinda Syaharie Jaang. Oleh orang nomor satu di Samarinda itu, Rica diberi kesempatan bekerja sebagai tenaga honor di pemerintahan.
“Di tahun 2013 saya mulai bekerja sebagai tenaga honor. Saya pertama kali bekerja sebagai staf bidang pembangunan di salah satu kelurahan,” jelas Rica.
Dua tahun di kantor lurah, Rica lantas dipindahkan menjadi staf administrasi di Puskesmas Remaja di tahun 2015. Di tahun yang sama, Rica melepas status jandanya dengan kembali menikah untuk kali kedua. Sang suami, Samuel Luy Lestari bisa menerima kondisi disabilitas yang dimilikinya dan mencintainya dengan sepenuh hati. “Suami menerima saya apa adanya,” sambungnya.
Diakui Rica, rekan-rekannya di puskesmas tempatnya bekerja memperlakukannya dengan baik dan ramah. Bahkan sudah menganggapnya seperti keluarga sendiri. Meski begitu, masih ada warga yang datang ke puskesmas memandangnya sebelah mata setelah tahu kondisi fisiknya. Bagi Rica, hal tersebut bukanlah masalah.
“Yang terpenting saya sudah memberikan pelayanan terbaik sesuai tugas saya. Saya merasa senang bila masyarakat puas dengan pelayanan yang saya berikan,” kata Rica.
Bagi dia, diskriminasi dan perlakuan kurang menyenangkan bukanlah hal baru. Meski mencoba tegar menghadapi semua itu, ada kalanya Rica tak mampu menahan air matanya. Contohnya ketika dia mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari atasannya hanya karena tinggi badannya. Padahal sejatinya, tidak ada kesalahan yang dia lakukan.
Perasaan sedih tak terkira juga dirasakannya ketika berbelanja di pasar. Banyak pedagang yang kurang memedulikannya ketika dia bertanya harga barang-barang yang dijajakan di pasar. Malahan Rica dianggap seperti pengemis, bahkan ditertawakan dan dipanggil cebol. “Karena itu saya tidak pergi berbelanja ke pasar kalau memang tidak benar-benar mendesak,” sambungnya.
Bukan hanya Rica, putranya juga kerap mendapat perlakuan tidak menyenangkan dan juga diskriminasi. Putra keduanya, Arya Dwi Hari Rizky bahkan menjadi korban bully oleh teman-teman di sekolahnya. Pernah suatu ketika saat menjemput sekolah, Rica menemukan putranya itu menangis di sudut gedung sekolah.
“Anak saya diperolok. Uang sakunya juga diambil. Sebagai seorang ibu, saya pun mendatangi guru untuk membela anak saya,” terang Rica.
Menyadari kehidupan yang akan dilewati sang anak tidak mudah, Rica kerap memberikan motivasi untuk terus bertahan dan tidak berputus asa. Dia sengaja tidak melakukan pembelaan di depan anak-anaknya, untuk mengajarkan bahwa hidup memang keras. Sehingga anak-anaknya kelak bisa mandiri dan berusaha sebaik mungkin.
“Prinsip yang saya ajarkan kepada mereka bahwa hidup itu keras. Siapa yang bertahan, dia yang akan menang. Sebaliknya siapa yang menyerah, dia yang akan kalah,” tegasnya.
Kemandirian yang selalu ditekankan Rica, bukan sekadar retorika. Dia terlebih dulu memberikan contoh nyata untuk ditiru anak-anaknya. Misalnya dalam hal transportasi, Rica yang sebelumnya harus diantar saat bepergian, kini bisa melakukannya sendiri dengan sepeda motor yang telah dimodifikasi menggunakan roda tiga.
Semangat ini bukan hanya untuk anak-anak, melainkan juga Rica tularkan pada para penyandang disabilitas lainnya. Khususnya dalam kiprahnya di Pusat Informasi dan Konseling Perempuan Penyandang Disabilitas (PIK-PPD) di Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI) Kaltim. Di organisasi ini, Rica dipercaya menjadi wakil sekretaris.
“Saya juga aktif melakukan pendampingan bagi perempuan penyandang disabilitas yang mengalami kekerasan seksual,” ujar pengagum BJ Habibie ini.
Dalam kiprahnya ini, Rica punya keinginan agar teman-teman sesama penyandang disabilitas serta masyarakat bisa mengubah pola pikir yang selama ini keliru. Yaitu cara pandang yang melihat penyandang disabilitas sebagai pihak yang harus dikasihani. Menurutnya hal ini keliru. Karena bila hanya menunggu belas kasihan orang lain, maka penyandang disabilitas tidak akan bisa maju.
“Jangan berpikir untuk dikasihani. Tapi berusahalah untuk maju. Masyarakat juga mestinya tidak melakukan diskriminasi dan berlaku kurang menyenangkan kepada penyandang disabilitas,” harapnya.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas menurut Rica menjadi langkah positif demi menghapus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas. Dia pun menaruh harapan besar pada Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Pemenuhan dan Perlindungan Hak Penyandang Disabilitas yang kini tengah dibahas di DPRD Kaltim.
“Saya senang dalam pembahasan raperda ini, usulan saya mendapat tanggapan positif dari anggota dewan. Artinya mereka memang peduli terhadap penyandang disabilitas,” ucap Rica.
Menurutnya, Pemkot Samarinda maupun Pemprov Kaltim telah memiliki kepedulian terhadap para penyandang disabilitas. Walaupun masih ada organisasi perangkat daerah (OPD) yang belum paham tentang pentingnya pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas. Termasuk juga instansi-instansi pendidikan yang belum menerapkan pendidikan inklusif secara tepat.
“Contohnya anak saya yang ditempatkan di kelas lantai dua. Padahal dengan kondisi fisik anak saya, ditambah lagi mesti membawa tas, tentu memberatkan untuk naik tangga,” pungkasnya. (***)
Nama: Rica Rahim
TTL: Samarinda, 6 September 1980
Suami: Samuel Luy Lestari
Anak:
- Airlangga Rahimah Putra
- Arya Dwi Hari Rizky
- Yasmine Syahfa Aurellia
Pendidikan
- SDN 005 Air Putih
- SMPN 3 Samarinda
- SMKN 5 Samarinda Jurusan Pengembangan Masyarakat
Alamat: Jalan Pangeran Antasari Gang 4 RT 55 Samarinda
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post