BONTANGPOST.ID, Bontang – Pengamat Ekonomi Universitas Mulawarman (Unmul), Purwadi, mengaku heran Kota Bontang yang dikenal sebagai kota industri justru hanya mengusulkan kenaikan Upah Minimum Kota (UMK) sebesar Rp19.467 atau 0,52 persen.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor utama dalam penentuan kenaikan UMK. Ia membandingkan capaian pertumbuhan ekonomi sejumlah daerah di Kalimantan Timur pada 2024. Kabupaten Kutai Timur tercatat mencapai 9 persen, Kota Samarinda sekitar 8 persen, sementara Bontang justru mengalami kontraksi ekonomi sebesar minus 2,51 persen.
Padahal, keberadaan perusahaan besar di dalam dan sekitar wilayah Kota Bontang seharusnya mampu mendorong pertumbuhan ekonomi daerah. Namun, dampak aktivitas industri tersebut dinilai belum terasa secara signifikan bagi masyarakat.
“Ini menjadi pekerjaan rumah pemerintah sebelumnya yang harus diselesaikan oleh pejabat sekarang untuk mendorong pertumbuhan ekonomi Bontang ke depan,” ungkapnya.
Ia juga menilai kenaikan UMK tersebut tidak sebanding dengan Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Kalimantan Timur. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, KHL Kaltim berada di angka Rp5,7 juta. Menempati urutan kedua nasional dan hanya terpaut tipis dari Jakarta sebesar Rp5,8 juta.
Menurutnya, kenaikan UMK seharusnya berbanding lurus dengan besarnya biaya hidup di daerah.
“Naiknya cuma Rp19 ribu, itu bahkan kalah mahal dari beli paket data, belum kebutuhan lain seperti bahan pokok, pajak, dan biaya pendidikan,” terangnya.
Lebih lanjut, ia menyebut terdapat banyak faktor yang memengaruhi pertumbuhan ekonomi, salah satunya kelancaran distribusi bahan pokok dan energi yang memiliki efek domino ke sektor lain.
Ia mencontohkan, jika distribusi BBM terhambat, maka jasa angkutan akan terganggu, harga bahan pokok naik, biaya produksi meningkat, dan pelaku UMKM terpaksa menaikkan harga jual. Kondisi tersebut pada akhirnya menekan daya beli masyarakat dan menghambat perputaran ekonomi.
“Yang harus dijaga bukan hanya stok BBM, tetapi juga distribusinya. Jika terganggu, efeknya ke mana-mana,” ujarnya.
Ia menambahkan, gangguan pada sektor distribusi akan berdampak langsung pada petani, nelayan, buruh, serta kelompok masyarakat lainnya.
Selain itu, tingginya angka pengangguran juga dinilai menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi Kota Bontang. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah pengangguran terbuka di Bontang mencapai 6.303 orang dan menjadi yang tertinggi di Kalimantan Timur.
“Ini ironi kota industri. Pertumbuhan belum merata dan pengangguran masih tinggi,” katanya.
Purwadi menegaskan, aturan pemerintah pusat terkait penetapan UMK seharusnya tetap mempertimbangkan kondisi riil daerah. Ia menilai pentingnya peran kepala daerah dan BPS dalam menyampaikan data dan laporan yang jujur mengenai standar hidup dan kondisi ekonomi masyarakat.
“Jangan melihat aturan dari kacamata kuda. Pusat harus mengetahui kondisi daerah, bukan sekadar melihat angka yang terlihat bagus,” pungkasnya. (*)








