KITA mungkin hebat dalam membicarakan orang lain. Ambil saja contoh tayangan infotainment yang selalu menghiasi layar kaca Anda. Satu orang saja bisa dikupas persoalan pribadinya sampai ke akar-akarnya. Dari yang bersifat publik sampai personal. Pun mungkin Anda termasuk yang ikut bergosip ria dengan tetangga. Ini menunjukkan kemampuan kita membicarakan orang lain begitu besar.
Namun, tak banyak yang mampu membicarakan dirinya sendiri. Apalagi membicarakan bangsa ini dengan gaya satire. Buku “Agama Saya Adalah Uang” karya Nurudin ini merupakan salah satunya. Anda akan diajak mengaca diri sendiri, sekaligus mengaca bangsa ini dengan sudut pandang yang kadang membuat kita terpingkal, namun juga bisa membuat mengelus dada.
Buku setebal 182 halaman ini tersaji dalam empat bagian. Di bagian pertama, Nurudin mengupas soal pluralisme. Bangsa Indonesia disatukan karena perbedaan. Perbedaan agama, suku, dan ras. Bentuk muka dan perangai yang berbeda-beda. Pun dengan cara pandang yang berbeda pula.
Namun bangsa ini disatukan dengan satu keyakinan adanya Tuhan. Dengan adanya perbedaan, manusia dituntut untuk bisa belajar satu sama lain. Belajar dari pengalaman. Ini mungkin merupakan pesan, agar kita mampu menghargai apa pendapat dan pilihan orang lain. Jangan sampai kita “menuhankan” pandangan terhadap orang yang tak sepaham.
Bagian ini juga mengulik kebiasaan sebagian masyarakat membagikan informasi tanpa menyaringnya terlebih dulu. Nurudin menekankan, masih banyak orang yang senang dan menjadi agen penyebaran informasi. Beruntung, jika informasi yang disebarkan itu berasal dari sumber yang jelas, data yang akurat, dan dampak yang ditimbulkan tidak menjadi buruk. Masalahnya, banyak orang maunya hanya menyebar informasi saja, ia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Semangat berbagi informasi ini yang mungkin lebih akrab di telinga dengan kata “gosip”. Entah informasinya benar atau tidak, dari sumber terpercaya atau tidak, yang penting dibagikan dulu di whatsapp grup atau media sosial. Urusan informasinya ternyata hoaks, belakangan. Nurudin mengibaratkan, seseorang semangat beribadah, tetapi tidak memakai ilmu yang cukup, tentu tak ada gunanya.
Di buku ini pula, Nurudin ikut menyindir kelakuan para politisi. Mereka yang suka melempar tanggung jawab kepada anak buah, disebut sebagai wani silit wedi rai. Ungkapan itu menggambarkan seseorang yang hanya berani dari belakang, tidak bertanggungjawab terhadap apa yang diperbuatnya.
Sebagai contoh, bentuk tidak bertanggungjawabnya pejabat adalah dengan melakukan korupsi. Hal itu tampak saat seseorang yang benar-benar terlibat korupsi mengatakan, “Saya bukan koruptor,” hanya karena hukum memutuskan dia tidak korupsi berdasarkan hukum positif. Sementara hati nuraninya mengatakan bahwa ia memang korupsi.
Buku yang ditulis dosen Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) ini juga banyak menggunakan majas sebagai judul. Ambil contoh “BPJS: Budget Pas-pasan Jiwa Sosialita”, “Padamu Negeri, Jiwasraya Kami”, atau “Tangkaplah Daku, Kau Ku-shutdown”. Jenis tulisan satire ini membuat kita dapat saling mengaca perilaku kehidupan sehari-hari. Tak peduli Anda pro pemerintah atau oposisi, bacaan ini cocok agar Anda berpikiran terbuka, sekaligus menertawakan diri sendiri. Anda seorang netizen? Silakan baca buku ini. Siapa tahu, kebiasaan asal bagi informasi Anda bisa berubah. Selamat membaca! (*)
Data Buku:
Judul: Agama Saya Adalah Uang
Penulis: Nurudin
Penerbit: Intrans Publishing
Halaman: xv+182
ISBN: 978-602-6293-90-9
Peresensi: Muhammad Zulfikar Akbar