Para muda-mudi Samarinda, berpakaian serba hitam, berkumpul di depan kantor Gubernur Kaltim, Kamis (18/1) lalu. Sambil berpayung hitam, mereka menggelar Aksi Kamisan Kaltim. Resolusi jihad penyelamatan sumber daya alam menjadi teriakan mereka pada aksi tersebut.
Surya Aditya, Samarinda
MARIA Catarina Sumarsih merupakan ibunda dari almarhumah Benardinus Realino Norma Irawan. Sumarsih, begitu biasa disapa, sakit hati atas kepergian anaknya. Bukan karena Wawan – panggilan Benardinus Realino Norma Irawan – meninggalkan Sumarsih begitu cepat. Melainkan kematian putra semata wayangnya itu terasa janggal.
Wawan merupakan mahasiswa Universitas Atma Jaya. Dia tewas dalam peristiwa Semanggi I, Mei 1998 silam. Saat itu, ribuan mahasiswa terlibat bentrok dengan aparat. Sumarsih pun meyakini ada pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat terjadi dalam perstiwa berdarah itu.
Sejak kepergian Wawan, Sumarsih mencari keadilan. Ia tak pernah letih berjuang mengungkap kasus kematian anaknya. Ia pernah melakukan aksi mematung di depan istana presiden, pada Kamis 18 Januari 2007. Saat itu, selama beberapa jam, Sumarsih berdiam diri sambil melindungi dirinya dari sengatan matahari yang mulai surut ke barat dengan payung hitam.
Tuntutannya cuma satu. Ia ingin kasus pelanggaran HAM ini diselesaikan. Namun, hingga kini, penyelesaian kasus tersebut tak kunjung tuntas. Siapa pembunuh Wawan? Siapa dalang dibalik penyerangan? Belum juga terungkap.
TERINSPIRASI
Kegigihan Sumarsih memperjuangkan haknya mengilhami banyak orang. Sebagian masyarakat Indonesia menjadikan hari Sumarsih mematung diri untuk menyuarakan haknya. Seperti di Jakarta, Surabaya, Makassar dan Kaltim. “Aksi Kamisan Kaltim terinspirasi dari aksi Sumarsih,” kata Koordinator Lapangan (Korlap) aksi tersebut, Romiansyah.
Aksi Kamisan Kaltim, cerita Nebo – panggilan akrab Romiansyah – adalah sebuah upaya mendorong seluruh masyarakat untuk mengingat lagi bentuk-bentuk pelanggaran HAM yang terjadi. Baik pelanggaran yang masih baru, maupun pelanggaran di masa lampau. Oleh karena itu, aksi ini mengusung tema “Merawat Ingatan, Menolak Lupa”.
Namun Aksi Kamisan Kaltim bukan hanya menyuarakan pembelaan HAM. Aksi tersebut juga menyuarakan kerusakan lingkungan di Bumi Etam ini. Seperti aksi yang digelar tiga hari lalu. Mereka, yang tergabung dalam Aksi Kamisan Kaltim, meminta agar pemerintah melakukan resolusi besar terhadap penyelamatan sumber daya alam.
Menurut Nebo, hal ini dilakukan karena pemerintah Kaltim tak serius menuntaskan pelanggaran lingkungan. Hal ini dibuktikan dengan masih adanya pelanggaran lingkungan yang belum tuntas diselesaikan.
Pria berambut pendek itu menyontohkan kerusakan yang terjadi akibat pengerukan batubara. Beberapa perusahaan di Kaltim menambang emas hitam dengan meningalkan kerugian yang besar terhadap kelestarian lingkungan.
“Galian bekas tambang batubara membuat lubang yang besar, tapi tak ada perbaikan dari perusahaan,” cerita mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Awang Long itu.
Bukan hanya merugikan lingkungan, kata dia, lubang tersebut juga menelan korban. Sekitar 28 nyawa tewas sia-sia di lubang maut itu. Yang lebih mencengangkan lagi, penanggungjawab atas kematian puluhan korban itu belum tuntas terungkap.
“Baru satu orang yang ditangkap (dihukum), itupun hanya keamanan perusahaan,” tutur Kordinator Advokasi dan Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kaltim.
Rata-rata, tambah Nebo, pelanggaran dalam kasus lubang tambang ini selesai di jalur tali asih. Perusahaan emas hitam yang melakukan pelanggaran hanya mendapat ganjaran membayar denda Rp 2 ribu dan kurungan dua bulan penjara. “Hanya dengan begitu perkara selesai. Kami jelas tidak puas,” ungkapnya.
Oleh karena itu, pihaknya tidak akan berhenti mencari keadilan atas kejanggalan-kejanggalan yang terjadi dalam proses hukum. “Selama pelanggaran tidak dituntaskan, selama itu juga aksi ini akan terus ada,” pungkasnya. (*)
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Saksikan video menarik berikut ini: