Oleh Lukman M, Redaktur Bontang Post
NO pic = HOAX, merupakan jargon atau ungkapan yang sempat tenar di dunia maya. Artinya, bila tidak ada pic/picture (gambar), informasi yang beredar bisa dianggap sebagai kebohongan atau hoaks. Ungkapan ini biasanya dikeluarkan para warganet untuk mengomentari suatu informasi yang belum dapat dipastikan kebenarannya di internet. Ungkapan ini sekaligus penegasan bahwa hoaks sudah eksis sejak lama di dunia maya, jauh sebelum fenomena penuh dosa ini merajalela di zaman now.
Ungkapan serupa mungkin tepat ditujukan pada pernyataan salah seorang kepala daerah di Bumi Etam menyikapi hasil hitung sementara pemungutan suara Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim 2018. Sang kepala daerah tanpa diduga-duga mengeluarkan sebuah statement di forum dialog resmi yang dihadiri orang-orang penting Kaltim terkait dugaan money politic atau politik uang yang katanya dilakukan calon gubernur (cagub) yang kini sedang unggul versi quick count alias hitung cepat.
Dalam pernyataannya, sang kepala daerah yang akan mengakhiri jabatannya di penghujung tahun ini mengatakan adanya sejumlah praktik tak terpuji yang dilakukan cagub dimaksud. Tentu pernyataan tersebut menjadi perhatian publik, mengingat kapasitas empunya komentar adalah orang nomor satu di pemerintahan daerah. Apalagi tudingan yang dikeluarkan mengenai praktik politik uang yang merupakan kejahatan serius dalam pesta demokrasi lima tahun sekali ini.
Sayangnya, sang kepala daerah tak mau, atau mungkin tak mampu, menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat lisannya. Sebagaimana dalam pemeriksaan yang dilakukan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Padahal, setiap tuduhan mesti disertai dengan bukti. Tujuannya agar suatu perkataan yang menyudutkan pihak tertentu tidak dianggap sebagai fitnah. Prosedur bukti inilah yang selama ini diaplikasikan oleh aparat berwenang, termasuk dalam hal ini Bawaslu sebagai wasitnya pilgub.
Pun begitu, sang kepala daerah mengaku bukan menjadi tanggung jawabnya untuk melaporkan dugaan tersebut ke pihak berwenang. Dia melemparkan begitu saja “bola panas” ke tim masing-masing pasangan calon (paslon) yang berniat membuat laporan. Hal ini tentu sangat disayangkan, mengingat sebagai seorang kepala daerah, mestinya bisa memberikan contoh dengan melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan.
Ya, pelaporan suatu tindak kejahatan bisa dilakukan oleh siapa saja. Hal ini juga berlaku dalam hal kejahatan pemilu. Artinya, kewenangan untuk melaporkan bukan hanya ada pada peserta aktif pemilu, dalam hal ini masing-masing paslon maupun tim suksesnya. Melainkan juga ada pada semua elemen masyarakat, termasuk sang kepala daerah. Setinggi apapun jabatan yang dimiliki, sekrusial apapun jabatan yang diemban, tetaplah tercatat sebagai warga negara Indonesia.
Warga negara Indonesia yang baik, adalah warga negara yang aktif dalam proses penegakan hukum. Bila mengetahui, bahkan memiliki bukti suatu kejahatan, sudah menjadi kewajiban melaporkan ke aparat berwajib. Hal ini jelas diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tepatnya di pasal 165. Apalagi menurut informasi yang beredar, dugaan kejahatan tersebut sudah diketahui sebelum hari pemungutan suara. Bila pelaporannya dilakukan sebelum hari penentuan tersebut, tentu bentuk-bentuk kecurangan yang menodai kesucian demokrasi dapat dihindarkan.
Penegakan hukum terhadap kejahatan pemilu juga menganut prinsip yang sama. Selain penanganan kasus yang didasarkan temuan Bawaslu berikut jajaran pengawas lainnya, juga bersumber dari laporan warga masyarakat yang mengetahui kejahatan tersebut.
Menariknya adalah, meski sudah mengetahui indikasi-indikasi pelanggaran politik uang, nyatanya sang kepala daerah tak berinisiatif melaporkannya ke aparat berwenang. Hanya melempar “bola panas”, seraya menunggu pihak-pihak terkait memberikan respon.
Sehingga menjadi wajar bila pengamat politik menyebut sang kepala daerah ini bisa dianggap sebagai penyebar hoaks. Apalagi dengan status sebagai kepala daerah, maka sudah sejatinya menjadi teladan bagi masyarakat. Dalam hal ini, apa yang dilakukan sang pemimpin tentu menjadi contoh bagi yang dipimpin.
Bila sang pemimpin saja enggan melaporkan suatu tindakan pelanggaran hukum, maka jangan heran bila nantinya masyarakat juga akan diam saja saat mendapati hal senada. Malahan sebaliknya, masyarakat jadi lebih memilih berkoar-koar di media sosial sebagaimana yang jamak ditemui saat ini di era media sosial.
Padahal Bawaslu berikut jajarannya telah jauh-jauh hari melakukan kampanye pengawasan partisipatif. Yaitu bentuk pengawasan pemilu yang melibatkan berbagai elemen masyarakat. Artinya setiap elemen masyarakat punya hak dan kewajiban yang sama untuk melaporkan dugaan pelanggaran pemilu. Adanya pernyataan kontroversial sang kepala daerah tentu bertolak belakang dengan kampanye yang tentu dalam perjalanannya membutuhkan rupiah.
Sebagaimana yang diungkapkan pengamat politik, ketiadaan bukti pendukung ucapan kepala daerah bukan sekadar bisa memunculkan anggapan sang pemimpin menyebarkan hoaks. Melainkan juga bisa menampakkan kondisi tidak sportif, adanya tendensi ketidaksukaan sang kepala daerah kepada sosok cagub tertentu, dalam hal ini cagub yang konon memenangkan pilgub.
Anggapan ini diperkuat dengan ikatan kekeluargaan yang dimiliki antara kepala daerah dimaksud dengan salah seorang calon wakil gubernur (cawagub) yang ikut bersaing dalam pilgub ini. Apalagi sang cagub yang konon terpilih, sudah ancang-ancang bakal “menertibkan” kebijakan-kebijakan kepala daerah terdahulu.
Ketika sang kepala daerah bebas mengeluarkan penyataan tanpa bukti, publik pun bebas menganggap kepala daerah tidak senang anggota keluarganya kalah. Atau menganggap sang kepala daerah tak terima dengan kebijakan cagub terpilih. Padahal setiap pihak harus bisa legawa menerima kekalahan dalam pilgub.
Dalam hal ini, kepala daerah sebagai pimpinan daerah, harus bisa menciptakan situasi yang kondusif di masyarakat. Jangan malah menyebarkan isu-isu tak berdasar yang malah berpotensi memecah belah masyarakat dan menciptakan ketidaknyamanan di masyarakat. Mewujudkan pilgub yang aman dan sukses tentu menjadin salah satu tugas kepala daerah.
Kalaupun tidak senang dengan kemenangan salah satu paslon, tentu harus menjabarkan suatu bukti yang kuat, yang bisa membuktikan pelanggaran yang dilakukan. Sehingga kemenangan paslon bisa dianulir, dan bisa berbalik memenangkan paslon yang tengah didukung. Bahkan kalau pelanggaran yang dilakukan itu memenuhi persyaratan yang dibutuhkan, bisa saja paslon didiskualifikasi sebagai peserta pilgub.
Karena, setiap paslon punya potensi yang sama untuk melakukan pelanggaran pemilu, khususnya praktik politik uang. Termasuk paslon yang sedang dituding sang kepala daerah. Bisa saja tanpa kita ketahui paslon tersebut melakukan politik uang yang dimaksud. Namun tanpa bukti, semuanya akan mentah, semuanya tak akan berguna, hanya pepesan kosong. Sebagaimana ungkapan dunia maya, no pic = hoax.
Maka kita masyarakat Bumi Etam mengharapkan, langkah tegas sang kepala daerah untuk mengungkap politik uang yang menurutnya terjadi. Bila memang hal itu benar terjadi. Apalagi sang kepala daerah mengklaim apa yang dilakukannya dengan mengeluarkan pernyataan tersebut adalah demi menyelamatkan masyarakat Kaltim.
Karena bila ucapan itu benar, maka kita tentu akan dipimpin oleh pemimpin yang melakukan kecurangan sejak awal. Tapi bila tidak ada bukti yang membenarkan tuduhan itu, maka tidak ada alasan untuk menuduhnya macam-macam.
Sikap terpuji yang harus ditunjukkan adalah menerima siapapun pemenang nantinya dengan lapang dada. Dan harus mendukung setiap program yang dicanangkan, tentunya program-program yang dibutuhkan masyarakat Kaltim untuk mencapai kesejahteraan yang adil dan merata sebagaimana cita-cita bangsa. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post