SAMARINDA – Kehadiran ojek online di tiga kota di Kaltim memicu konflik baru. Selain menurunkan pendapatan transportasi konvensional, yang terbaru ojek online diduga tidak menjalankan aturan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Pasalnya, hampir semua pelaku usaha ini belum terdaftar secara resmi.
“Dari 1.000 ojek online di Samarinda, baru lima unit yang terdaftar di Dishub. Selain itu masih ilegal semua, karena secara administrasi mereka belum terdaftar di instansi terkait di pemerintah,” kata Ketua Organisasi Gabungan Transportasi (Orgatrans) Kaltim, Kamaryono, Jumat (2/1) kemarin.
Dia menyebut, selain tidak terdaftar secara resmi di pemerintah, transportasi online dinilai telah melanggar pasal 138 poin 3 Undang-undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Angkutan Jalan Umum. Dalam pasal tersebut disebutkan, untuk mengangkut penumpang umum/barang harus menggunakan kendaraan umum.
Penafsiran kendaraan ini yakni kendaraan harus berplat kuning. Nyatanya, semua ojek online tidak menggunakan plat kuning. Sebab, sebagian besar dari mereka yang tergabung di transportasi ojek online belum mengurus perizinan di instansi terkait.
“Aplikasi ojek online itu memang terdaftar di pemerintah, tetapi itu berhubungan dengan Kementerian Informasi dan Komunikasi, tidak ada kaitannya dengan perizinan di Kemenhub. Lagipula ojek online ini tidak mau diatur,” tegasnya.
Menengahi polemik tersebut, Kemenhub sendiri telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) Perhubungan nomor 108 Tahun 2017. Dalam Permen tersebut, ojek online harus memiliki Surat Izin Mengemudi (SIM) layaknya transportasi umum dan berplat kuning.
“Plat ini diubah dengan memasang stiker warna kuning. Ini sudah melenceng, ojek online itu bukan transportasi umum. Karena berdasarkan UU Nomor 22/2009, SIM dan plat itu harus umum,” tegasnya.
Soal persaingan antara ojek online dan transportasi umum, Kamaryono tidak terlalu mempermasalahkannya. Karena berusaha menjadi hak setiap warga negara. Namun, dia meminta Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim menekan manajemen usaha ojek online, supaya pelaku usaha ini taat terhadap aturan yang berlaku.
“Bukan hanya transportasi umum yang ditekan harus taat aturan, ojek online juga harus taat terhadap undang-undang. Persoalannya, mengapa kami tidak menerima kehadiran ojek online ini, karena sejak awal tidak memiliki payung hukum,” tegasnya.
Dia mengungkapkan, sejak kehadiran ojek online, hampir 70 persen pendapatan transportasi umum menurun. Bahkan, sebagian besar pelaku usaha transportasi umum gulung tikar karena omset tidak sesuai dengan biaya operasional.
“Jangankan untuk gaji sopir, bahkan ada sopir angkot yang tidak mampu setor harian. Rata-rata tidak ada yang bisa dibawa pulang untuk menghidupi anak dan istri. Salah satu contoh, ada pengusaha taksi memiliki 40 unit mobil, sekarang yang beroperasi tinggal empat unit. Sebab sopirnya tidak dapat gaji karena tidak dapat setoran,” sebutnya. (*/um/drh)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: