SAMARINDA – Di saat Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak meresmikan pembangunan Hotel Primebiz, puluhan warga melakukan aksi demonstrasi menolak pembangunan hotel tersebut. Massa aksi menilai, groundbreaking pembangunan hotel berbintang itu cacat hukum.
Koodinator aksi, Datuk Khairil Usman mengatakan, penolakan warga sudah berlangsung sejak 2012. Di tengah gejolak penolakan itu, berkali-kali Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim melakukan pertemuan di kelurahan dan kecamatan bersama warga setempat.
“Karena mendapat penolakan, pada 2013 sampai 2015 tidak ada lagi isu pembangunan hotel itu. Sempat vakum. Pada 2016 kami diundang lagi oleh pemprov. Mereka minta persetujuan pembangunan hotel. Tetapi tetap kami tolak,” kata Khairil, Rabu (23/5) kemarin.
Tak berhenti sampai di situ, Meiliana yang kini menjadi Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Provinsi (Sekprov) Kaltim kembali memanggil warga. Dalam mediasi itu, muncul kesepakatan antara warga dan pemerintah. Poinnya lahan tersebut bakal dijadikan Daerah Operasi Militer (DOM).
Syaratnya, Pemprov Kaltim menjanjikan akan terlebih dulu bertemu dengan Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno. Ternyata janji tersebut hanya isapan jempol bekala.
“Karena sampai sekarang tidak ada beritanya. Lalu kami layangkan surat, meminta kalau bisa lahan itu digunakan untuk pembangunan hotel, kenapa warga di situ tidak dapat memiliki tanah itu?” ucapnya.
Khairil berujar, permintaan warga bukan tanpa alasan. Bila hotel dibangun, maka warga di sekitarnya akan tergusur. Sedikitnya terdapat empat RT, yaitu RT 14, RT 16, RT 17, dan RT 41 yang bakal terkena imbas pembangunan. Alasan lain, sebagai pemilik lahan, Direktur PT Inhutani pernah menyebut lahan seluas 15 hektare tersebut meliputi pemukiman warga, Islamic Center, dan lahan untuk Hotel Primebiz.
“Yang memiliki lahan itu PT Inhutani. Pada tahun 2002, waktu itu Gubernur Kaltim Pak Suwarna Abdul Fatah meminta tanah itu dihibahkan. Kemudian diserahkan oleh PT Inhutani. Tetapi hanya untuk Islamic Center. Sedangkan lokasi yang mau dipakai untuk bangun hotel itu masih digunakan untuk pabrik,” ungkapnya.
Belakangan muncul surat dari PT Inhutani bahwa seluruh lahan telah dihibahkan pada pemerintah daerah. Namun bukan tanpa masalah, lahan yang telah dihibahkan tidak boleh dilelang.
“Terakhir kami komunikasi lagi dengan Direktur PT Inhutani. Bilangnya lahan itu sudah diserahkan pada Dewan Pelelangan Nasional (DPN). Kami tidak putus asa. Kami cek di sana. Betul atau tidak sudah diserahkan. Tetapi nyatanya data penyerahan itu tidak ada. Karena harus bersurat secara resmi,” terang Khairil.
Belakangan, dia bersama warga bersurat secara resmi dan mengecek ulang pada DPN. Hasilnya ternyata lahan tersebut belum dilelang. Demi menguatkan data, warga juga meminta bukti pelelangan dari Direktur PT Inhutani yang kala itu dijabat Didik. Namun Didik beralasan, surat pelelangan berstatus rahasia negara.
“Alasannya lahan itu dilelang pada pihak hotel. Kata mereka sudah ada pelelangan. Tetapi setelah kami cek, tidak ada pelelangan. Sampai kami minta pada Komisi Informasi Publik (KIP), tetapi belum ada datanya,” ucap dia.
Lalu dengan sederet silang sengkarut tersebut, Khairil mempertanyakan groundbreaking yang dilakukan Gubernur Kaltim. Pasalnya seluruh warga yang tinggal berdekatan dengan lokasi pembangun Hotel Primebiz belum menyetujuinya.
“Warga mana yang menyetujui pembangunan hotel itu? Di sana ada empat RT. Semuanya belum setuju. Kenapa bisa keluar Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Red.) dan IMB (Izin Mendirikan Bangunan, Red.)?” tanyanya.
Menurut Khairil, pembangunan hotel atau bangunan lainnya harus terlebih dulu mendapatkan persetujuan warga. Nyatanya pemprov belum pernah menerangkan warga mana saja yang mendukung pembangunan hotel berlabel syariah tersebut. “Tapi tidak ada itu bukti persetujuannya,” tutup Khairil. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post