Dimana ada kemauan, pasti ada jalan. Begitu pula dalam menempuh pendidikan. Berbekal semangat pantang menyerah dalam menuntut ilmu, Jurmansyah berhasil membuktikan bahwa pendidikan tinggi yang diidamkan bukanlah sekadar mimpi.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Jurmansyah masih ingat jelas percakapan antara kakak kelimanya, Ardiana dengan sang ayah, Laperu. Dia sedang menyaksikan televisi saat sang kakak yang kala itu duduk di bangku kelas 3 SMA mengutarakan keinginan kuliah selepas SMA kepada sang ayah. Kondisi ekonomi yang sulit dibilang baik membuat sang ayah tak bisa meluluskan keinginan putrinya tersebut.
“Ayah bilang kepada kakak kalau hanya bisa menyekolahkan hingga SMA saja. Kondisi ekonomi kami memang sulit. Meski ayah seorang PNS namun golongan bawah yang mengalami pemutihan,” kenang Jurmansyah saat ditemui Metro Samarinda (Kaltim Post Group) Kamis (13/7) kemarin.
Mendengar jawaban sang ayah, pria yang karib dipanggil Jurman ini segera menyadari keinginannya mengenyam bangku kuliah takkan mudah. Memang, walaupun saat itu dia masih duduk di bangku kelas 1 SMA, asa melanjutkan pendidikan tinggi sudah digantungkannya. Jurman berpikir, bila ayahnya tak mampu membiayai sang kakak, tentu juga tak mampu membiayai kuliahnya kelak.
“Karena itu, sejak kelas 1 SMA saya sudah memikirkan bagaimana caranya agar saya bisa tetap kuliah. Tidak ada jalan lain, saya mesti bekerja,” kata dia.
Jurman lantas bertekad untuk bekerja sambil sekolah demi bisa mengumpulkan uang. Saat itu, dia melihat salah seorang temannya bekerja sebagai loper koran. Jurman kemudian ikut sang teman menjadi loper koran, mengantarkan koran kepada para pelanggan. Pikirnya, siapa tahu dengan berjualan koran bisa menabung untuk biaya kuliah.
“Pukul 04.00 Wita saya sudah bangun untuk menyusun koran. Setelah salat subuh, saya berkeliling dari Citra Niaga mengantarkan koran-koran kepada langganan,” Jurman bercerita.
Beruntung Jurman bersekolah di SMA dengan jam belajar siang. Sehingga apa yang dilakukannya tidak mengganggu sekolahnya. Biasanya dia mengantarkan koran hingga pukul 10.00 Wita. Siangnya mulai pukul 12.00 Wita hingga senja pukul 17.30 Wita, Jurman belajar di sekolah. Profesi ini mulai dijalaninya sejak kelas 1 SMA hingga lulus di 2004.
Bukan hanya mengantar koran, Jurman juga melakoni sederetan pekerjaan serabutan. Mulai dari jadi pelayan di warung, membersihkan rumah, hingga memangkas rumput. Tawaran pekerjaan serabutan ini didapatkannya dari para pelanggan yang kebanyakan kaum berada. Sedikit demi sedikit, Jurman mulai bisa mengumpulkan uang untuk ditabung.
“Pekerjaannya tidak tetap, saat dibutuhkan saja. Dari satu pelanggan, dalam satu bulan saja bisa mendapatkan Rp 200 ribu,” urainya.
Jadi penyapu jalanan juga pernah dilakoni Jurman semasa SMA. Kala itu ketika duduk di bangku kelas 2 SMA, dia menggantikan sepupunya menyapu jalanan selama sebulan. Pasalnya sepupunya tersebut tidak bisa bekerja karena mesti mempersiapkan dan mengikuti ujian akhir sekolah (UAS). Memang demi cita-cita mulianya, Jurman rela melakukan pekerjaan apapun asalkan halal.
Kegigihannya dalam bekerja lantas mendapat perhatian dari salah seorang langganan korannya. Di penghujung kelas 3 SMA, dia mendapat tawaran untuk bekerja menjaga toko konter ponsel milik langganannya tersebut. “Saya ditawari kalau lulus SMA langsung bekerja di sana. Makanya setelah selesai ujian nasional, saya langsung bekerja di sana,” terang Jurman.
Sebagaimana keinginan semasa SMA, Jurman pun mulai berpikir untuk melanjutkan kuliah. Awalnya dia hendak mendaftar di Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda. Namun setelah mengetahui seluk-beluk perkuliahan di Unmul, Jurman mengurungkan niatnya. Pasalnya, waktu kuliah di Unmul tidak tetap, bergantung pada dosen masing-masing mata kuliah.
“Kalau reguler seperti itu saya tidak bisa. Karena bertabrakan dengan waktu saya bekerja. Sementara saya mesti bekerja agar bisa kuliah,” sebut anak keenam dari tujuh bersaudara ini.
Hingga kemudian Jurman mendapat informasi perkuliahan di Universitas 17 Agustus (Untag) Samarinda. Salah satu fakultasnya yaitu fakultas hukum, memiliki waktu kuliah dari pagi hingga siang. Menurut Jurman, dengan pola waktu kuliah tersebut tidak akan mengganggu pekerjaannya.
Keinginan kuliah lantas diutarakan kepada sang pemilik toko tempatnya bekerja. Beruntung pemilik toko memberikan izin untuk kuliah asalkan tidak mengganggu pekerjaannya. Sehingga di pagi hari Jurman pergi ke kampus, ketika siang hingga malam dia menjaga toko.
“Sebenarnya saya ingin kuliah di jurusan teknik sipil. Sesuai dengan jurusan saya saat SMA. Tapi waktu kuliahnya berbenturan dengan waktu kerja. Akhirnya saya pilih jurusan hukum yang waktunya tidak bermasalah dengan pekerjaan,” jelas Jurman.
Meski keinginan kuliah tercapai, bukan hal mudah bagi Jurman untuk mempertahankannya. Dia mesti benar-benar berhemat demi membayar biaya kuliah. Khususnya biaya satuan kredit semester (SKS) yang mesti rutin dibayarnya. Upah menjaga toko sebesar Rp 400 ribu per bulan pun dimanfaatkannya dengan sebaik mungkin agar cukup untuk kebutuhan sehari-hari sekaligus kebutuhan kuliah.
“Setengahnya saya gunakan untuk belanja makanan, setengahnya lagi untuk kebutuhan kuliah dan juga untuk ditabung. Waktu itu satu sks masih Rp 35 ribu,” tuturnya.
Ketiadaan sepeda motor membuat Jurman mesti dua kali naik angkutan kota (angkot) demi bisa mencapai kampusnya di Jalan Juanda. Untuk menekan biaya transportasi ini, dia lalu memutuskan berjalan kaki dari rumahnya di Sungai Dama hingga Jalan Imam Bonjol. Sesampainya di Jalan Imam Bonjol, barulah dia naik angkot menuju kampusnya.
“Jadi hanya perlu sekali saja menumpang angkot untuk pergi ke kampus. Selama tiga tahun saya seperti itu,” ungkap Jurman.
Sampai kemudian, kakaknya membeli sepeda motor secara kredit. Motor tersebut dipinjamkan kepada Jurman untuk transportasi ke kampus. Dengan catatan, Jurman juga ikut membantu membayar angsurannya. Sehingga Jurman tidak perlu lagi mengeluarkan biaya untuk menumpang angkot yang tentu semakin membantunya berhemat.
Di dua semester terakhir, Jurman sempat menambah penghasilan dengan bekerja menyapu jalanan. Saat itu, dia menggantikan sang paman yang mengalami kecelakaan sehingga tidak mampu bekerja. Selepas Subuh, dia sudah berada di jalanan, tepatnya di Jalan RE Martadinata.
“Saat menyapu di jalanan itu saya bertemu dengan teman-teman kuliah juga dosen saya. Mereka awalnya kaget melihat saya menyapu jalan. Tapi lama-lama biasa, malahan singgah untuk ngobrol sebentar tentang kuliah. Karena saya sudah biasa kerja serabutan, saya tidak malu bertemu mereka,” kisah pehobi futsal ini.
Diakui Jurman, bekerja sambil kuliah bukanlah hal yang mudah. Namun dia selalu menyempatkan waktu untuk bisa belajar. Saat toko sedang sepi misalnya, dia akan membaca modul-modul kuliahnya. Sedangkan tugas kuliah dikerjakannya di rumah selepas pulang kerja.
Pada akhirnya setelah melalui enam tahun perjuangan, Jurman berhasil menyelesaikan kuliah sarjananya di tahun 2010. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) yang dikumpulkannya mencapai 2,96. Lama waktu kuliahnya ini menurut Jurman, salah satunya dikarenakan ada dosen mata kuliah yang mengajar sore. “Jadi berbenturan dengan waktu kerja saya,” tambahnya.
Jurman menerangkan, keberhasilannya menyandang gelar sarjana hukum kala itu tak terlepas dari peran keluarga. Walaupun tidak bisa membantu secara materi, namun memberikan dukungan dalam bentuk doa. “Berkat doa dari keluarga, khususnya kedua orang tua,” tandas pria kelahiran Samarinda, 32 tahun lalu ini. (bersambung)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post