Bersabar Dengar Protes Sang Istri, Bersyukur Bisa Tetap Makan
Pria berkumis dengan kaus abu-abu itu berdiri dari duduknya di teras masjid besar kawasan Bontang Baru. Kakinya melangkah hingga batas teras, sandal-sandal berjejer di bawahnya. Cepat diketuknya sebatang rokok di ruas dua jari tangan kanannya. Abu-abu rokok berjatuhan ke bawah, sementara kepala pria tersebut mendongak ke atas. Memastikan tetesan-tetesan air mata langit tak lagi jatuh ke bumi.
LUKMAN MAULANA, Bontang
Nandang, begitu nama pria berkulit gelap itu tercetak di kartu tanda penduduk. Sudah beberapa kali pria berambut pendek nan rapi itu bolak-balik dari tempatnya duduk ke luar masjid demi membuang abu rokok yang dihisapnya. Hujan deras yang mengguyur Kota Taman sejak waktu salat zuhur membuatnya tertahan di masjid.
“Takut berkarat,” bisiknya lirih seraya menunjuk sebuah tas hitam panjang yang menempel di dinding masjid.
Beberapa bilah pisau panjang tampak tersusun rapi dalam untaian tali yang mengikat menjadikannya satu di samping tas tersebut. Semuanya tertutup rapat sarung kayu mengkilat, termasuk pisau-pisau yang gagangnya menjuntai dari dalam kantong samping tas tersebut. Sementara di atas tas yang terbuka itu, terbaring lima pedang panjang dengan beragam bentuk, salah satunya yang menyerupai pedang samurai khas negeri matahari terbit.
“Samurai yang paling mahal, Rp 600 ribu. Kalau yang paling murah mah pisau, Rp 75 ribu,” jelasnya dalam logat Sunda yang kental.
Benda-benda tajam itu memang menjadi barang dagangan Nandang. Kesehariannya menawarkan berbagai jenis benda tajam baik untuk keperluan sehari-hari maupun kesenian atau koleksi. Untuk kebutuhan dapur dan kebun misalnya, ada pisau, parang, dan golok tajam dengan sarung yang terukir indah. Sedangkan bagi para kolektor, apa yang ditawarkan Nandang bisa jadi bikin terpesona.
Pedang samurai, keris, sangkur, hingga kerambit, pisau melengkung yang diklaim sebagai senjata paling mematikan di dunia siap untuk berpindah tangan. Termasuk juga parang dengan gagangnya yang membentuk kepala harimau, juga ada dalam bawaan Nandang. “Ada juga pisau kecil untuk tentara dan polisi,” tambah pria yang lahir tepat di hari pertama Januari ini.
Nandang berkisah, semua jenis benda tajam ini dibuat dengan baja berkualitas. Makanya, dia ragu keluar dari masjid sekalipun hujan mulai rintik. Khawatir air hujan membuat baja-baja itu berkarat. “Yang bagus memang yang berkarat. Untuk mencegah karat, secara rutin diberi minyak sayur,” sebut Nandang.
Memang sudah menjadi bagian hidup Nandang menjajakan aneka benda tajam ini dari kota ke kota, dari rumah ke rumah. Sudah 15 tahun lamanya dia menggeluti perdagangan benda tajam yang dibawanya dari pusat kerajinan di Cibatu, Garut, Jawa Barat. Sebelumnya, berbagai profesi telah dilakoninya demi menafkahi istri dan dua anaknya di kampung halaman, Kondang Rege di Garut.
“Saya cuma lulusan SMP. Selesai sekolah ya kerja seadanya. Ikut proyek, jadi kernet pernah saya lakukan. Apa sajalah,” tutur pria 47 tahun ini.
Di awal abad 21, tahun 2000, Nandang mulai berdagang benda-benda tajam. Katanya, dia ikut bos di pusat kerajinan benda-benda tajam tersebut. Pada pembelian pertama, dia berutang sejumlah benda tajam untuk dijual. Nandang diberi kebebasan menentukan harga jualnya kembali ke para pembeli.
Bila uang sudah terkumpul dari penjualan, barulah secara berkala dia membayar utang pada sang bos. “Biasanya setiap 15 hari saya kirim uang ke bos, membayar utang,” tambah Nandang.
Melangkah dari satu tempat ke tempat lainnya merupakan cara penjualan yang dilakukan Nandang. Pulau Jawa dan Sumatra sudah dijelajahinya demi membuat barang dagangannya laku. Barulah sejak enam tahun lalu dia menjejakkan kaki di tanah seribu sungai, Kaltim. Di Kaltim, barang-barang dagangannya dikirim dan disimpan di rumah kontrakan di Samarinda.
“Saya sudah sering ke Bontang. Kalau sekarang ini sudah dua hari di Bontang. Habis ini mau ke Sangatta,” ucapnya.
Nandang memasarkan dagangannya secara door to door. Dari pintu ke pintu dia menawarkan berbagai jenis benda tajam yang dijualnya. Pun begitu, sesekali dia nongkrong di acara-acara keramaian seperti pameran.
Berangkat pagi sejak pukul 07.00 Wita, Nandang berjalan menelusuri jalanan kota demi menemukan warga yang tertarik dengan dagangannya. Sebanyak 40 benda tajam dengan berat mencapai 30 kilogram dibawanya penuh kepasrahan. Berat memang, namun apa daya itulah yang dilakukan.
Langkahnya berhenti ketika lelah telah merayapi tubuhnya. Biasanya, dia berhenti berdagang saat senja mulai menyapa. Walaupun tak jarang juga perjalanannya diakhiri kala mentari telah hilang dari pandangan.
“Siang ini saya dari Tanjung Limau. Baru laku satu, pisau,” celetuk Nandang sembari menghisap rokoknya.
Tak banyak yang bisa didapatkan Nandang dalam sehari berjualan. Bisa untuk mengganjal perut saja dia sudah sangat bersyukur. Kalau sedang untung, dalam sehari dia bisa mengantongi dua lembar uang kertas bergambar proklamator. Selama berjualan, paling banyak dia bisa menjual 10 dagangan. “Pisau yang paling banyak dibeli orang,” jelasnya.
Diakui Nandang, penjualan benda-benda tajam miliknya mengalami penurunan sejak 2015. Akibatnya, dia pun jadi semakin jarang pulang ke rumah menemui anak istri. Dulunya, dia pulang setiap tiga bulan sekali dengan membawa uang hingga Rp 5 juta saja. “Uang segitu dicukupkan saja untuk sehari-hari di rumah,” sebutnya sambil kembali membuang abu rokok.
Namun untuk tahun ini, dengan pendapatan yang semakin menurun, kemungkinan dia akan pulang menjelang Idulfitri. Sementara, tiga bulan sudah dia berpisah dengan keluarga, berdagang di Kaltim. Artinya dia baru akan pulang setelah tujuh bulan lebih berdagang di Kaltim.
“Kalau kangen ya pasti. Yang penting bersabar. Setiap kali telepon, istri pasti protes kenapa kok tidak pulang-pulang. Katanya anak-anak sudah nanyain. Makanya saya terus minta maaf pada mereka karena belum bisa pulang,” urai Nandang menatap nanar.
Jalan hidup berdagang memang sudah dipilihnya. Berpisah jauh sudah jadi risikonya. Demi menghidupi istri dan kedua anaknya yang masing-masing masih sekolah. Masing-masing duduk di kelas 5 SD dan bangku taman kanak-kanak. Sebenarnya Nandang punya tiga anak, namun si sulung sudah dipanggil Yang Maha Hidup. Entah apa yang terjadi pada si sulung, Nandang tidak menceritakannya.
Lantas, di mana Nandang menginap selama keliling berdagang? Penginapan-penginapan murah menjadi tujuannya. Atau, bila memungkinkan menumpang di rumah warga Sunda yang dikenalnya. “Di dekat terminal itu ada penginapan murah yang per malamnya Rp 15 ribu. Kalau yang bagus ya saya tidak sanggup bayar,” tutup Nandang seraya berbaring di teras masjid, samping dagangannya.
Rupanya hujan masih ingin bermesraan dengan Kota Taman. Semakin deras malah, dengan kilatan petir yang menggetarkan atap masjid. Tapi tak menggoyahkan Nandang, yang perlahan alam sadarnya hilang berganti alam mimpi. Tanpa risau, bersandingkan pisau. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: