bontangpost.id – Di antara berbagai penyakit tidak menular, penyakit yang jadi pembunuh senyap banyak masyarakat adalah hipertensi. Hipertensi begitu berisiko pada kematian dan komplikasi lain.
Namun, angka hipertensi di Kaltim cukup tinggi. Berdasarkan data Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) 2019, prevalensi hipertensi di Kaltim jadi nomor tiga di seluruh Indonesia. Kaltim memiliki skor 39,30 yang lebih tinggi dari skor nasional yaitu sebesar 34,11.
Sementara untuk penyakit strok, Kaltim menempati urutan pertama dengan skor prevalensi 14,7 dari seluruh provinsi di Indonesia. Adapun skor prevalensi nasional adalah 10,9.
Dua penyakit tersebut merupakan penyakit yang berkaitan dengan perokok. Kepala Dinas Kesehatan (Diskes) Kaltim Padillah Mante Runa menyebut, pihaknya terus menggalakkan kampanye terkait perokok. “Upaya-upaya preventif terus kami lakukan. Baik terkait perokoknya maupun langsung berbagai penyakit yang berkaitan dengan perokok,” sebut Padillah.
Dari data statistik Kesejahteraan Rakyat Kaltim diketahui, rata-rata perokok di Kaltim mengonsumsi lebih 60 batang tiap pekan. Konsumsi rokok yang tinggi itu membuat kesehatan seseorang makin berisiko. Apalagi saat ini kasus penyakit tidak menular di Kaltim terus tinggi. Tidak hanya masalah mengonsumsi rokok, tetapi faktor lain seperti manajemen stres dan jenis makanan yang dipilih untuk dikonsumsi, membuat risiko penyakit itu makin tinggi.
Di Kaltim, pada era Gubernur Awang Faroek Ishak, sudah ada Peraturan Gubernur Kaltim Nomor 1 Tahun 2013 tentang Kawasan Tanpa Rokok. Selain itu, DPRD Kaltim telah mengesahkan Perda Kawasan Sehat Tanpa Rokok.
Perda ini harus terus dikawal agar pelaksanaannya konsisten. Dengan adanya Perda Kawasan Sehat Tanpa Rokok tentu diharapkan masyarakat, khususnya para pelajar bisa terhindar dari bahaya bagi perokok pasif. Perda itu juga mengatur ruang mana saja yang boleh dan tidak boleh merokok.
Perda Kawasan Sehat Tanpa Rokok harus dilaksanakan secara konsisten, sebagai upaya dan menjadi bagian untuk menghormati hak bagi individu untuk dapat hidup sehat dan terhindar dari bahaya zat yang terkandung di dalam rokok. Pemprov Kaltim melalui dinas terkait harus bisa melaksanakannya secara berkelanjutan dengan cara sosialisasi kepada masyarakat, agar tidak merokok sembarangan.
Larangan merokok di kawasan tertentu sudah jelas dan terus disosialisasikan, seperti di lingkungan instansi pemerintahan, rumah sakit, kawasan pendidikan, tempat ibadah, sarana publik, dan lainnya.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyampaikan bahwa hingga kini prevalensi merokok di Indonesia sangat tinggi. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menyatakan, terdapat peningkatan prevalensi merokok penduduk umur 10 tahun dari 28,8 persen pada 2013 menjadi 29,3 persen tahun 2018.
Sekarang ini, kebiasaan merokok tidak hanya menjadi masalah orang dewasa, namun juga semakin marak pada kalangan anak dan remaja. Hal itu dibuktikan dengan meningkatnya prevalensi merokok pada populasi usia 10–18 tahun yakni sebesar 1,9 persen dari 2013 (7,2%) ke tahun 2018 (9,1%).
Tentunya hal itu menimbulkan kekhawatiran akan timbulnya masalah kesehatan baru, terutama penyakit tidak menular (PTM) sebagai akibat dari merokok.
“Peningkatan konsumsi rokok itu juga berdampak pada beban biaya kesehatan. Data BPJS Kesehatan tahun 2019 menunjukkan jumlah kasus PTM akibat konsumsi tembakau seperti jantung, strok, dan kanker adalah 17,5 juta kasus dengan biaya lebih dari Rp 16,3 triliun,” kata Dante.
Hal itu tentunya mendorong pemerintah untuk terus melakukan upaya-upaya pencegahan mulai tingkat pusat hingga daerah. Di tingkat pusat, Kemenkes bersama kementerian/lembaga terkait berupaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok dengan meningkatkan cukai rokok, melarang iklan rokok, serta kebijakan kawasan bebas rokok.
Sementara itu, penguatan kepada daerah dilakukan dengan meningkatkan kemampuan daerah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan serta membatasi konsumsi rokok serta melindungi masyarakat terhadap dampak negatif dari rokok. Salah satunya dengan menetapkan pajak rokok daerah (PRD).
Secara spesifik aturan penggunaan pelayanan kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Dante berharap, melalui pemanfaatan pajak rokok daerah (PRD) dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT), daerah bisa meningkatkan kemampuan mereka untuk melakukan berbagai inovasi untuk mengurangi peredaran dan konsumsi rokok di daerahnya, semakin meningkatkan pelayanan kesehatan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
“Program ini harus secara masif tereskalasi di 34 provinsi dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia,” pintanya.
Dia menegaskan, masalah rokok adalah masalah bersama. Tentunya perlu dukungan dari seluruh pihak agar apa yang menjadi harapan bersama yakni menuju Indonesia sehat 2045 mendatang tercapai.
Hal itu tentunya mendorong pemerintah untuk terus melakukan upaya-upaya pencegahan mulai tingkat pusat hingga daerah. Di tingkat pusat, Kemenkes bersama kementerian/lembaga terkait berupaya melindungi masyarakat dari paparan asap rokok dengan meningkatkan cukai rokok, melarang iklan rokok, serta kebijakan kawasan bebas rokok.
Sementara itu, penguatan kepada daerah dilakukan dengan meningkatkan kemampuan daerah dalam meningkatkan pelayanan kesehatan serta membatasi konsumsi rokok serta melindungi masyarakat terhadap dampak negatif dari rokok. Salah satunya dengan menetapkan pajak rokok daerah (PRD).
Secara spesifik aturan penggunaan pelayanan kesehatan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 53 Tahun 2017 tentang Petunjuk Teknis Penggunaan Pajak Rokok untuk Pendanaan Pelayanan Kesehatan Masyarakat.
Dante berharap, melalui pemanfaatan pajak rokok daerah (PRD) dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT), daerah bisa meningkatkan kemampuan mereka untuk melakukan berbagai inovasi untuk mengurangi peredaran dan konsumsi rokok di daerahnya, semakin meningkatkan pelayanan kesehatan, serta peningkatan kesejahteraan masyarakat bisa tercapai.
“Program ini harus secara masif tereskalasi di 34 provinsi dari 514 kabupaten/kota se-Indonesia,” pintanya.
Dia menegaskan, masalah rokok adalah masalah bersama. Tentunya perlu dukungan dari seluruh pihak agar apa yang menjadi harapan bersama yakni menuju Indonesia sehat 2045 mendatang tercapai.
Target pemerintah di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, prevalensi merokok pada usia anak dan remaja turun dari 9,1 menjadi 8,7 pada tahun 2024.
Sejauh ini pemerintah telah menyusun strategi pengendalian tembakau. Mulai pengembangan kawasan kabupaten/kota sehat, perluasan layanan berhenti merokok, peningkatan cukai hasil tembakau, pelarangan total iklan dan promosi rokok, peningkatan tarif cukai rokok, hingga penguatan pelaksanaan penyaluran bantuan sosial (bansos) dan subsidi terintegrasi. “Sesuai arahan Presiden (Joko Widodo), kita harus pastikan uang bansos itu tidak dipakai untuk konsumsi rokok,” tegas Muhadjir.
Badan Pusat Statistik melalui Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 mengungkapkan, pengeluaran untuk rokok dan tembakau menempati urutan kedua terbesar pada kelompok makanan setelah makanan dan minuman jadi. Pengeluaran untuk rokok dan tembakau 2,2 kali lebih besar daripada pengeluaran untuk susu dan telur.
Dengan demikian, ada dua cara yang diyakini bisa menjadi solusi yakni memberikan edukasi untuk mendorong perubahan pola konsumsi dalam keluarga, sehingga mengutamakan investasi kecerdasan anak sejak istri hamil sampai anak usia dua tahun serta melalui layanan rehabilitasi berhenti merokok. (rom/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post