EDITORIAL
Oleh: Muhammad Zulfikar Akbar, Redaktur Pelaksana Bontang Post
TAK banyak yang mengetahui, hari ini (3/5) merupakan World Press Freedom Day, atau Hari Kebebasan Pers Dunia yang diinisasi oleh lembaga dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Unesco. Pertama kali dideklarasikan oleh PBB pada Desember 1993, World Press Freedom Day mengambil tanggal hari jadi Deklarasi Windhoek, berisi promosi tentang independensi dan pluralisme dalam pers Afrika yang ditandatangani di Windhoek, Namibia, 29 April-3 Mei 1991.
Indonesia juga punya Hari Pers Nasional (HPN) yang selalu dirayakan setiap 9 Februari. HPN mengambil tanggal hari jadi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) yang juga bertepatan pada 9 Februari. Esensi dari HPN dan World Press Freedom Day selalu sama: menyuarakan kebebasan pers serta kesejahteraan wartawan.
Persoalan kebebasan pers memang selalu tak ada habisnya. Tiap tahun, terjadi lebih dari 30 kasus baik itu kekerasan terhadap pers, intimidasi, dan lain-lain. Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia mencatat, di sepanjang 2017 terjadi 66 laporan kekerasan terhadap wartawan. Bentuknya berupa perusakan alat atau data hasil peliputan, ancaman kekerasan atau teror, intimidasi oleh pejabat publik, kekerasan fisik, hingga mobilisasi massa atau penyerangan ke kantor redaksi.
Itu baru sepanjang 2017. Lebih mencengangkan lagi sepanjang Januari-April 2018. AJI Indonesia mencatat, sudah ada 31 laporan yang masuk terkait kekerasan terhadap pers. Ini tentu menjadi preseden buruk bagi bangsa ini. Sebab, dalam sistem demokrasi yang dianut Indonesia, pers merupakan salah satu pilar demokrasi, selain ada eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Laporan-laporan di atas baru berasal dari satu sumber. Dari sumber lain, Reporters Without Borders (RSF) pada 24 April 2018 telah merilis Indeks Kebebasan Pers 2018. Dari data tersebut, peringkat Indonesia sama sekali tak berubah dari 2017 lalu, yakni berada di peringkat 124. Justru kalah dengan Timor Leste yang berada di peringkat 95 dan Afghanistan di peringkat 118. Skor tersebut akhirnya menempatkan kebebasan pers di Indonesia dalam kategori buruk.
Ada beberapa faktor yang menyebabkan pers di Indonesia “belum merdeka”. Pertama yakni regulasi. Indonesia mempunyai Undang-undang (UU) nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. Meski sudah mempunyai hukum sendiri, namun UU 40/99 ini kadang dibenturkan oleh KUHPidana dalam penyelesaian perkara tentang pemberitaan, misalnya pencemaran nama baik. Bahkan, kehadiran UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dianggap membatasi gerak jurnalis dalam mengakses informasi.
Kedua, faktor lambatnya penanganan hukum. Pers di Indonesia dilindungi? Betul. Namun kasus-kasus yang mendera beberapa wartawan di Indonesia hingga saat ini banyak yang belum terungkap. Seolah diabaikan begitu saja. Bahkan kasusnya hingga dinyatakan kedaluwarsa. Seperti kasus tewasnya jurnalis Harian Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Berkat tulisannya yang mengusik penguasa Bantul kala itu. Akibatnya, Udin hingga kini “menghilang” sejak 1996. Kepolisian berkali-kali didesak untuk mengusut kasus ini, tapi hingga kini tak ada keadilan yang didapat.
Ketiga, faktor belum pahamnya kebebasan pers di kalangan masyarakat dan pejabat publik. Ketidaktahuan atau ketidakpahaman itu bisa berdampak buruk kepada wartawan yang mencoba menggali informasi dari narasumbernya. Keempat, yakni faktor pers yang tidak profesional.
Wartawan yang tak profesional, seperti memaksa narasumber dengan ancaman dan meminta suap adalah contoh buruk yang jamak terjadi. Beberapa narasumber mungkin ada yang mengalah, namun jika narasumber itupun juga bersikeras, kekerasan terhadap wartawan pun bisa terjadi. Jika terjadi kekerasan karena faktor keempat, maka yang salah adalah wartawannya.
Kedua faktor yang saya sebut terakhir, telah ditindaklanjuti oleh Dewan Pers dengan beberapa langkah. Pertama, adanya perjanjian dengan pihak-pihak seperti kepolisian dan TNI untuk agar mencegah kekerasan terhadap wartawan dari kalangannya masing-masing. Pun Dewan Pers berkewajiban memahamkan pentingnya kebebasan pers baik kepada kepolisian maupun TNI. Kedua, yakni menggulirkan Uji Kompetensi Wartawan (UKW). UKW ini penting, untuk menjamin profesionalitas wartawan yang mengerjakan tugas-tugas jurnalistiknya. Dengan begitu, narasumber bisa memberikan informasi dengan tenang karena jaminan wartawan kompeten, pun wartawan bisa bertugas dengan tenang.
Tugas kita semua, baik dari insan pers, masyarakat, pejabat publik, dan seluruh elemen masyarakat lainnya untuk bersama-sama memberikan kebebasan terhadap pers. Pers bukanlah musuh. Pers punya fungsi menginformasikan, mendidik, menghibur, dan watch dog. Maka, sudah sejatinya pers kita jaga bersama, agar kebebasan pers di Indonesia semakin membaik, demi demokrasi Indonesia yang lebih sehat. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post