bontangpost.id – Rencana memensiunkan PLTU memang perlu kajian mendalam. Kaltim yang pertumbuhan ekonominya masih mengandalkan batu bara tentu sangat berkepentingan dengan kebijakan tersebut.
Operasional pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) akan dihentikan mulai 2025 mendatang. PT PLN (Persero) berencana memensiunkan pembangkit listrik berbahan bakar batu bara tersebut. Dan ingin menggantikannya dengan pembangkit listrik yang menggunakan bahan bakar berbasis energi baru terbarukan (EBT). Tujuannya, agar emisi di lingkungan berkurang secara drastis dan udara lebih bersih hingga 2060.
Rencana itu menuai respons dari publik Kaltim. Yang selama ini setrumnya mengandalkan PLTU. Dari 525 megawatt (MW) setrum yang dihasilkan Sistem Mahakam, 70 persen dihasilkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batu bara. Di antaranya PLTU Kariangau (Balikpapan), PLTU Embalut (Kutai Kartanegara/Kukar), dan PLTU Teluk Kadere (Bontang).
Anggota Komisi VII DPR Ismail Thomas mengatakan, tidak dimungkiri, PLN selalu mencari solusi memenuhi keperluan listrik dengan bahan bakar yang terbaik. Namun, yang menjadi pertanyaan adalah rencana menghentikan operasional PLTU tersebut apakah menjadi solusi terbaik?
Sebab, menurut dia, jika pembangkit menggunakan batu bara, bisa menekan biaya operasional. Ketimbang menggunakan diesel maupun gas. “Dan tentu lebih mudah untuk mendapatkan bahan bakunya. Khususnya untuk membangkitkan listrik di Kaltim,” kata dia kepada Kaltim Post, Minggu (6/6/2021).
Apalagi, lanjut politikus PDI Perjuangan itu, hingga kini pihaknya masih belum menerima kajian tertulis dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) maupun PLN mengenai rencana memensiunkan PLTU mulai 2025 nanti.
Bahkan di Komisi VII DPR, belum dilakukan pembahasan secara spesifik mengenai rencana tersebut. “Makanya perlu kajian yang matang dan pembahasan dulu dengan DPR. Khususnya Komisi VII. Kalau mendadak saja, tanpa pengkajian yang matang, ujung-ujungnya akan merugikan negara. Khususnya masyarakat di daerah, termasuk Kaltim,” kata mantan bupati Kubar itu.
Wakil Kaltim di Senayan itu juga menyangsikan ketersediaan EBT untuk operasional pembangkit listrik. Seperti biodiesel yang berasal dari limbah sawit, bisa memenuhi keperluan pembangkit listrik tersebut. Khususnya untuk wilayah Kaltim. Apalagi, jika hanya mengandalkan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD), yang biaya operasionalnya mahal. “Bukannya mengurangi subsidi dari APBN, malah tambah subsidi,” kritiknya.
Thomas menyarankan sebelum melaksanakan rencana menghentikan operasional PLTU, PLN maupun Kementerian ESDM bisa belajar cara pengelolaan listrik di luar negeri. Seperti Singapura, yang dinilainya sukses memenuhi keperluan setrum warganya. Terutama dalam menggunakan EBT, yang tidak membebani negaranya.
“Jadi memang perlu kajian yang betul-betul matang. Apakah bahan bakar pengganti batu baranya mencukupi atau tidak untuk mencukupi Kaltim? Kami bersedia saja beralih. Tapi jangan sampai merugikan masyarakat dan ekonomi Kaltim,” pesan dia.
Anggota Komisi III DPRD Kaltim Syafruddin mengatakan, pihaknya akan mempelajari dahulu mengenai rencana PLN menghentikan operasional PLTU, mulai 2025. “Akan kami pelajari dulu. Saya sendiri baru mendapat info. Dan secara resmi, belum kami terima bahwa ada rencana PLN menyetop operasional PLTU,” katanya kepada Kaltim Post.
Setelah itu, dalam waktu dekat, Komisi III DPRD Kaltim akan melaksanakan rapat internal untuk membahas informasi tersebut. Tentunya dengan mengundang PLN dan mitra kerja Komisi III DPRD Kaltim yang membidangi energi dan lingkungan. Yaitu Dinas ESDM dan DLH Kaltim. Untuk menganalisis Bersama terkait alasan dan dampak dari penghentian operasional PLTU milik PLN. Khususnya terhadap warga Kaltim.
“Ini info awal, buat Komisi III (DPRD Kaltim) untuk melaksanakan rapat. Karena, persoalannya, kami belum dapat surat resmi mengenai rencana itu. Kami tidak ingin, jika hal itu dilaksanakan, akan mengganggu aktivitas masyarakat Kaltim. Makanya, kami ingin menanyakan kesiapan mereka, kalau ini benar-benar dilakukan PLN,” jelasnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara Samarinda (APBS) Eko Prayitno mengungkapkan bahwa rencana penghentian PLTU tersebut tidak terlalu berdampak pada pengusaha batu bara di Kaltim. Sebab, selama ini, penjualan batu bara lebih banyak diekspor ketimbang memenuhi kebutuhan dalam negeri. Terutama untuk bahan bakar PLTU.
“Saat ini persentase penjualan batu bara masih lebih besar ekspornya. Bahkan untuk membendung itu, sampai-sampai pemerintah mengeluarkan kebijakan mewajibkan batu bara dalam negeri untuk menyuplai keperluan PLN,” kata dia.
Dengan demikian, jika PLN berencana mengurangi pemakaian batu bara, menurut dia, tidak menjadi masalah bagi perusahaan tambang di Kaltim. Apalagi ketika nilai kurs atau nilai tukar rupiah terhadap dolar yang stagnan seperti saat ini.
Eko menceritakan, dahulu produksi batu bara dalam negeri malah hampir 95 persen dijual ke luar negeri. Sebab, harga jual yang lebih baik daripada dijual ke PLN. Jadi, sekarang ada kewajiban produksi batu bara harus dijual ke dalam negeri. “Ada kuota buat lokal. Sekitar 75 persen itu ke PLN dari persentase yang kecil jumlah penjualan. Selebihnya ke industri pabrikan. Jadi ‘kan tidak banyak pengaruhnya,” tutup Eko.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Kaltim Encek Ahmad Rafiddin Rizal menilai, wacana PT PLN (Persero) untuk tidak lagi menggunakan PLTU dan menggantikannya dengan pembangkit listrik berbasis EBT, secara bertahap mulai 2025 merupakan langkah bagus. Ditunggu oleh kalangan yang peduli terhadap lingkungan.
Langkah tersebut, ucap dia, menjadi upaya menurunkan secara maksimal emisi gas rumah kaca (GRK). Baik sektor lahan yang menyumbang 70 persen dari total volume GRK. Karena pembukaan lahan dan deforestasi, serta penggunaaan fosil fuel atau bahan bakar fosil, juga menyumbang GRK dari sektor energi. “Upaya ini harus didukung,” katanya.
Encek menjabarkan dari total 550 juta metrik batu bara tahun 2020, sebanyak 25 persen atau 135 juta metrik ton digunakan di dalam negeri. Sebagai bagian dari domestic market obligation (DMO) untuk keperluan PLN dalam mengoperasikan PLTU dan keperluan lain.
Sementara di Kaltim, belum ada data berapa batu bara digunakan sebagai bahan baku pembangkit dan jumlah pembangkit PLTU. “Jika Indonesia bisa lepas dari batu bara, maka salah satu benefit yang didapat Kaltim adalah kualitas udara yang lebih baik. Berkurang dari polusi akibat pembakaran batu bara. Meski pembukaan lahan untuk penambangan masih bisa terjadi,” jelas dia.
Dia melanjutkan, sedangkan dari penggunaan EBT sekarang, baru menyumbang 13,8 persen dari suplai energi. Dan ini masih relatif kecil. Sementara batu bara nantinya secara bertahap akan diganti biomassa seperti chipwood dari pohon kaliandra atau pemanfaatan PLTA (pembangkit listrik tenaga air), PLTMG (pembangkit listrik tenaga mesin gas), PLTP (pembangkit tenaga listrik panas bumi), PLTS (pembangkit listrik tenaga surya), dan pembangkit listrik tenaga bayu/angin (PLTB).
“Jadi nantinya ada perpindahan posisi dari penggunaan batu bara ke HTI (sektor kehutanan) serta penggunaan sumber daya lainnya,” terang mantan kepala DLH Kutim itu.
Dia menyarankan perlu penyusunan kajian pengaruh atau dampak yang ditimbulkan dari rencana pengalihan penggunaan PLTU berbahan bakar batu bara ke bahan bakar EBT. Terutama dari segi lingkungan dan ekonomi. Termasuk dampak bagi daerah yang selama ini menggantungkan pendapatan dari sumber daya batu bara. Salah satunya Kaltim. “Sehingga daerah sudah mempersiapkan langkah-langkah apa saja yang akan dilakukan demi mempertahankan roda perekonomian mereka,” pungkas Encek. (kip/rom/k16)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: