Oleh: Herdiansyah Hamzah, S.H., LL.M.
(Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda)
Pergantian Antar Waktu (PAW) terhadap lima anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Samarinda urung dilakukan. Hal tersebut dikarenakan putusan provisi majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Samarinda yang mengabulkan tuntutan pemohon untuk menunda atau menangguhkan proses PAW terhadap Alphad Syarif, Mashari Rais, Ahmed Reza Fahlevi, Adhigustiawarman dan Saiful. Putusan provisi ini tertuang dalam putusan dengan nomor perkara 117/Pdt.G/2018/PN Smr.
Seperti diketahui, gugatan perdata ini dilayangkan oleh lima orang yang terdaftar pada pemilu 2014 silam. Yakni Sangidun, Heri Ripani, Salim, Herdy, dan Suriansyah. Alasan pokok dari gugatan tersebut adalah pertanggungjawaban kelima anggota DPRD Samarinda yang seharusnya berlangsung selama lima tahun. Dalil yang digunakan oleh penggugat adalah pasal 37 huruf k Undang-Undang nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3), yang menyatakan bahwa, “memberikan pertanggungjawaban secara moral dan politis kepada konstituen di daerah pemilihannya”.
Pertanyaannya adalah, apakah dalil gugatan perdata ini tepat? Apakah putusan provisi majelis hakim PN Samarinda yang menunda proses PAW, memiliki pijakan argumentasi yang kuat? Bagaimana sesungguhnya tafsir terhadap PAW anggota DPRD dikarenakan alasan pindah partai? Tulisan ringkas ini akan memberikan uraian terhadap problematika yang menjadi polemik tersebut.
Pindah Partai
Pertanyaan dasarnya, apa konsekuensi dari anggota DPRD yang pindah partai di tengah masa jabatan? Tentu saja dia harus “diberhentikan” dari jabatannya, yang selanjutnya dilakukan proses PAW. Sebagai catatan, frase kata “diberhentikan” dengan “mengundurkan diri” dalam konteks alasan berhentinya anggota DPRD, adalah dua hal yang berbeda. Rezim pemerintahan daerah, sebenarnya telah mengatur mengenai PAW karena pindah partai ini secara eksplisit. Dan anggota DPRD yang pindah partai di tengah masa jabatan, masuk dalam kategori berhenti dari jabatannya karena diberhentikan.
Dalam pasal 193 ayat (1) Undang-Undang nomor 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda), disebutkan bahwa terdapat tiga alasan anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antar waktu. Antara lain meninggal dunia, mengundurkan diri, dan diberhentikan. Salah satu alasan diberhentikan dari jabatannya adalah karena pindah partai. Hal ini disebutkan dalam pasal 193 ayat (2) huruf i yang menyatakan, “anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan antar waktu, apabila menjadi anggota partai politik lain”.
Ketentuan mengenai pemberhentian akibat pindah partai ini juga diatur dalam pasal 99 ayat (1) dan (2) Peraturan Pemerintah nomor 12 tahun 2018 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD Provinsi, Kabupaten, dan Kota. Artinya ketentuan ini bersifat rigid. Tidak bisa ditafsirkan lain. Bahkan ruang untuk gugatan hukum dengan alasan diberhentikan antar waktu akibat konsekuensi pindah partai, seharusnya ditutup.
Lain soal jika pemberhentian antar waktu dilakukan dengan alasan lain. Semisal pemberhentian dilakukan tanpa adanya alasan yang jelas dari partai politik (parpol). Maka itu bisa diajukan proses gugatan di Mahkamah Partai ataupun proses hukum melalui pengadilan negeri.
Bagaimana dengan kasus pindah partai di saat proses pedaftaran calon anggota legislatif? Pada akhirnya ada dua rezim yang mengatur mengenai pindah partai di tengah masa jabatan ini. Salah satunya diatur di Undang-Undang Pemda. Kemudian diatur dalam ketentuan rezim pemilihan umum (pemilu). Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 20 tahun 2018 tentang Pecalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota, secara tegas mengatur agar anggota DPRD mengundurkan diri jika dicalonkan oleh parpol berbeda dengan parpol yang mencalonkannya pada pemilu terakhir.
Hal ini disebukan dalam pasal 7 ayat (1) huruf s PKPU 20 tahun 2018, yang menyatakan bahwa, “mengundurkan diri sebagai anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota bagi calon anggota DPR, DPRD Provinsi, atau DPRD Kabupaten/Kota yang dicalonkan oleh partai politik yang berbeda dengan partai politik yang diwakili pada pemilu terakhir”.
Artinya, setiap anggota DPRD yang mencalonkan diri kembali, namun dengan parpol yang berbeda, wajib mengundurkan diri. Secara teknis, surat pengunduran diri itu sudah harus diserahkan pada saat pendaftran. Dan paling lambat satu hari sebelum penetapan daftar calon tetap (DCT), sudah harus menyerahkan surat persetujuan pengunduran diri dari pimpinan DPRD kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU).
Jadi secara hukum, sejak pengunduran diri itu diterima dan KPU telah menetapkan DCT, maka yang bersangkutan tidak lagi memiliki status sebagai penyelenggara pemerinahan daerah. Hak dan kewenangannya pun tidak lagi dimiliki sebagaimana yang dipersyaratkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Salah Tafsir
Pengajuan gugatan kepada lima orang anggota DPRD Samarinda, yang pada akhirnya menunda proses PAW-nya, jelas menimbulkan polemik baru. Beragam spekulasi bermunculan. Mulai dari dugaan adanya upaya memperlambat proses PAW, strategi mempertahankan kuasa dan kewenangannya di DPRD, hingga kompromi politik antara yang akan digantikan dan penggantinya yang belum ketemu.
Namun mari kita kembalikan persoalan ini ke jalur hukum. Dikabulkannya permohonan gugatan dari penggugat dengan menggunakan dalil “pertanggungjawaban politis kepada konsitituen di daerah pemilihannya”, jelas merupakan tafsir yang keliru. Lebih parah lagi ketika majelis hakim mengeluarkan putusan provisi yang menunda proses PAW. Majelis hakim seharusnya menolak gugatan ini sejak awal, dengan beberapa pertimbangan.
Pertama, gugatan pemberhentian antar waktu anggota DPRD yang pindah parpol, bukan kompetensi PN. Logikanya begini, tidak dipenuhinya masa jabatan lima tahun ini akibat yang bersangkutan pindah parpol, yang kemudian mengharuskan mereka mengundurkan diri dari jabatannya. Maka jika ada pihak yang kecewa dengan itu, maka klausul kewajiban PAW akibat pindah partai sebagaimana yang tertuang dalam UU Pemda itulah yang seharusnya digugat. Uji materinya di Mahkamah Konstitusi. Jadi gugatan perdata ke PN jelas salah alamat.
Kedua, jika alasan gugatan itu adalah tanggung jawab terhadap konstituen, maka gugatan tersebut seharusnya ditujukan kepada diri pribadi anggota DPRD yang mengundurkan diri (in persona), bukan terhadap jabatannya sebagai anggota DPRD. Jadi putusan provisi yang menunda proses PAW, jelas merupakan putusan yang keliru.
Ketiga, tidak ada perbuatan hukum dalam kasus ini. Ini yang mengherankan. Jika proses PAW telah dilakukan, maka dapat ditemukan aspek perbuatan hukumnya. Itupun kompetensinya berada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Pertanyaan pamungkasnya adalah, bagaimana status perkara di PN setelah penetapan DCT oleh KPU? Perkara di PN tersebut harusnya otomatis gugur. Mengingat lima orang anggota DPRD yang juga bertindak sebagai tergugat, sudah tidak memiliki status sebagai penyelenggara pemerintahan daerah lagi. Artinya, gugatan ini tidak ada lagi sangkut pautnya dengan jabatan kelima orang tersebut. Sebab status pengunduran dirinya telah diterima, yang berarti tidak lagi memiliki hak dan kewajiban sebagai anggota DPRD. Maka demi hukum, proses PAW sudah harus dilakukan demi kepastian hukum.
Artinya putusan provisi PN yang menunda proses PAW, adalah putusan yang cacat secara formil dan materil, dengan dua alasan. Pertama, PN mengadili perkara yang bukan kompetensi atau kewenangannya. Kedua, PN mengadili perkara yang sudah tidak jelas subjek dan objek gugatannya. Mengingat status tergugat atau anggota DPRD Samarinda, sudah bukan penyelenggara pemerintahan daerah. Dengan demikian hakim majelis harus menyatakan gugatan tidak dapat diterima atau NO (niet ontvankelijke verklaard). Jika tidak, ini akan menjadi preseden buruk ke depannya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post