SAMARINDA – Pengesahan Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menghentikan perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) tanpa penetapan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Nyatanya di Kaltim, selama dua tahun terakhir, masih ada puluhan ribu PHK tanpa prosedur tersebut.
Ketua Umum Serikat Buruh Borneo Indonesia (SBBI) Kaltim, Nason Nadeak mengungkapkan, terjadi PHK yang cukup masif di Kutai Kartanegara (Kukar) pada 2015 dan 2016. Tak tanggung-tanggung, pihaknya menemukan 355 kasus di daerah itu.
Di tahun yang sama, di Samarinda ditemukan 451 kasus PHK tanpa penetapan PHI. Sementara di Kaltim, pada 2016 tercatat 11.200 orang yang terkena imbas PHK tanpa proses yang ditetapkan dalam undang-undang itu.
Tahun berikutnya, terjadi penurunan PHK di Kaltim. Dari data yang dihimpun SBSI, terdapat 3.290 orang yang kehilangan pekerjaan. Secara keseluruhan, pihaknya mencatat ada 24.136 orang yang terkena imbas PHK tanpa tahapan aturan itu.
“Data itu menunjukkan bahwa PHK yang terjadi selama ini di Kaltim, telah menyimpang dari aturan-aturan ketenagakerjaan yang berlaku,” katanya, Sabtu (24/11) kemarin.
PHK tanpa penetapan itu membawa efek buruk bagi pekerja di Benua Etam. Pengusaha kerap mengabaikan hak-hak buruh setelah dihentikan dari perusahaan.
“Buruh harus menderita karena gaji sudah disetop. Masyarakat memandang negatif buruh. Sebab seolah-olah buruh telah melakukan kesalahan. Sehingga buruh akan dihantui ketakutan. Sedangkan pengusaha selalu dianggap sebagai pihak yang paling benar,” sesal Nason.
Di antara alasan PHK tanpa penetapan tersebut, belum adanya pasal dalam undang-undang tentang ketenagakerjaan yang memberikan sanksi berat pada pengusaha. Selain itu, pemerintah tidak maksimal mengawasi kasus-kasus PHK.
“Alasan lainnya, kurangnya pemahaman pengawas tentang pasal 5 Undang-Undang nomor 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial. Kemudian pegawai pemerintah tidak berani menyelidiki pelanggaran yang terjadi,” bebernya.
Selama 15 tahun setelah Undang-Undang nomor 13/2003 ditetapkan, dia menduga terjadi pembiaran PHK tanpa penetapan PHI. Karenanya, perlu langkah serius agar kasus serupa tidak terulang kembali.
“DPRD yang merupakan perwakilan rakyat Kaltim dan gubernur selaku kepala daerah, harus bersama-sama mengakhiri pembiaran ini dengan cara membuat perda (peraturan daerah, Red.),” imbuhnya.
Menurut Nason, selama undang-undang ketenagakerjaan disahkan DPR RI dan pemerintah pusat, ada kekosongan hukum berupa perda di Kaltim. Hal itu pula yang menjadi alasan banyaknya kasus PHK tanpa penetapan PHI tersebut.
Nason berpendapat, penyusunan perda tentang PHK memiliki dasar yang kuat. Selain fenomena tersebut, secara materi maupun persyaratan, sudah memenuhi syarat.
“Apabila mengacu pada undang-undang, semua persyaratan untuk pembentukan perda tentang PHK, sudah terpenuhi. Baik DPRD maupun Pemprov Kaltim tidak memiliki alasan untuk menunda pembuatan perda ini,” tegasnya. (*/um)
PHK DI KALTIM TANPA PENETAPAN PHI
TAHUN WILAYAH JUMLAH
2015-2016 KUKAR 355 KASUS
2015-2016 SAMARINDA 451 KASUS
2015 KALTIM 9.646 ORANG
2016 KALTIM 11.200 ORANG
2017 KALTIM 3.290 ORANG
Sumber: SBBI
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post