Ketika masih duduk di bangku Sekolah Dasar, di depan gang Mustofa sering menemui tulisan ‘Pemulung Dilarang Masuk’. Pemulung adalah orang yang sering berjalan dari rumah ke rumah atau jalan, gang dan pekarangan untuk mengambil barang-barang yang tidak berguna untuk pemiliknya. Larangan itu mungkin saja muncul karena stigma masyarakat yang kerap memandang pemulung itu hanya sambilan atau pekerjaan samaran untuk mencuri, merampok atau bahkan menculik. Peringatan larangan terhadap pemulung, mungkin mirip dengan peringatan “Yang Tidak Berkepentingan Dilarang Masuk”.
Namun peringatan terhadap pemulung itu kini mulai menghilang meski di beberapa tempat masih ada yang lupa dicopot, atau masih bertahan karena dibuat dari bahan yang awet. Namun kini pemulung lebih banyak beroperasi mengaduk-aduk TPS ketimbang berkeliling masuk ke gang-gang atau memunguti sesampahan yang punya nilai jual di jalanan.
“Om, ini om,” kata Mustofa sambil menyerahkan satu karung berbagai macam botol plastik.
“Makasih Mumus, nanti kalau sudah laku, ada bagianmu,”
Mustofa kini punya bisnis baru. Kegemarannya memunguti botol dan kemasan plastik yang terapung di belakang rumahnya ternyata menghasilkan uang jajan. Ceritanya bermula saat perahu pemulung sungai rusak dan bersandar di batang belakang rumahnya.
Dari obrolan dengan pemulung sungai itu, Mustofa kemudian semakin giat memungut kemasan plastik di sungai. Kemasan itu dikumpulkan dan beberapa sekali dititipkan pada pemulung sungai untuk disortir dan kemudian dijual. Mustofa tak pernah menghitung berapa banyak kemasan plastik yang diserahkan, pun juga tak pernah menghitung berapa bagian yang didapat olehnya dari pemulung. Buat Mustofa uang yang barangkali tak seberapa bagi anak-anak lainnya itu sangat berarti untuknya.
“Mumus … kamu dapat dari mana ini, siapa yang ngasih?” suara keras mamak Mustofa terdengar dari dalam kamar.
Mustofa berjalan menuju kamarnya, terlihat mamaknya memegang tas yang baru dibelinya.
Sekali lagi mamaknya menghardik. “Kamu dapat dari mana ini,”
Mustofa tenang saja merasa tak ada masalah, sebab tas itu dibelinya dengan uang halal.
“Kamu minta siapa?, atau kamu mencuri kah?”
“Mamak ngajari aku mencuri kah?” tanya Mustofa
“Ya tidak, makanya mamak tanya, jangan sampai kamu mencuri,”
“Kalau mamak merasa mengajari aku mencuri, maka itu hasil Mumus mencuri. Tapi kalau mamak merasa tidak mengajari, maka itu juga bukan curian,” terang Mustofa.
Mamaknya semakin murka.
“Kamu ini ditanya kok malah mbalik tanya,”
“Sabar mak, santai saja. Tas itu Mumus beli dari uang hasil pembagian jualan kemasan plastik yang Mumus pungut dari sungai,”
“Hah, jadi kamu sudah jadi pemulung kah?”
“Nah, sudah dijawab betul kok masih marah-marah,”
“Ya itu kamu ini kenapa jadi pemulung?”
Mustofa tak menjawab lagi karena sadar bahwa yang namanya pemulung masih terus distigma negatif. Padahal pemulung banyak jasanya, sekurangnya mengurangi buangan sampah di TPA. Bahan yang dikumpulkan oleh pemulung didaur ulang, sehingga pengambilan bahan dari alam bisa ditekan.
“Mumus memang mungut sampah mak, tapi bukan jadi pemulung. Mumus lagi memikirkan untuk mendirikan bank sampah,” ujar Mustofa sekenanya.
“Apalagi kamu ini, segala rupa,” suara mamaknya mulai mengendur.
“Ya bank sampah mak. Kalau mamak sudah kurang uang untuk ditabung di bank, sekarang tabung sampah saja di bank sampah,”
“Terserah kamu saja. Tapi awas jangan sekali-kali kamu beli apa-apa lagi kalau sampai mencuri,” ancam mamaknya sambil berjalan ke arah dapur.
Mustofa hanya tersenyum saja melihat perangai mamaknya yang tak mau berpikir rumit-rumit soal sampah. Sama seperti kebanyakan orang lainnya, mamak Mustofa selalu berpikir yang penting sampah tidak mengendap di bawah rumahnya. Mamaknya selalu melempat kantong sampah jauh ke tengah sungai agar terbawa arus dan kemudian tak peduli jika itu bersarang di bawah rumah orang lainnya.
Pondok Wira, 06/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post