Salah satu kesukaan Mustofa ketika menonton televisi adalah melihat talkshow. Maka dibanding anak-anak lain, tema perbincangannya menjadi agak menyimpang. Ketika anak-anak lain lebih bicara soal film drama Korea atau India serta aneka film kartun, Mustofa lebih suka berbicara yang menyerempet permasalah sosial, politik dan ekonomi.
“Kebijakan pembangunan kita ini dibuat dalam gua, para perencana pembangunan itu tak belajar dari praktek dan perilaku kebijakan sebelumnya, juga tak pernah memandang jauh ke depan’
Mustofa terus memandang layar, melihat seorang narasumber yang wajahnya tidak terlalu familiar di layar kaca, namun kata-katanya menusuk ulu hati itu.
“Kalau kita jujur sebenarnya sudah lama kita menangis. Tapi kita masih terus tertawa padahal tabungan kita terus menipis,”
Mustofa terus memandang layar, diam-diam dalam hatinya muncul kekaguman terhadap orang yang tengah berbicara itu.
“Sekarang kita berteriak defisit. Paham tidak apa defisit itu?. Kita bukan defisit tapi kita sudah habis. Tak ada lagi yang bisa dijual atau diambil untung,”
Mustofa terus memandang layar, tambah bersemangat merekam dalam hati kata-kata narasumber talkshow itu. Sampai-sampai ketika mamaknya memanggil untuk makan dia berkata “Masih kenyang mak,”.
“Defisit itu bukan soal kurang pemasukan dari yang direncanakan. Seharusnya defisit dipandang dari sisi apa yang diinvestasikan dan apakah investasi itu mendatangkan return yang memberi keuntungan. Nah, kita ini tidak berinvestasi apa-apa, tidak memproduksi apa-apa, tidak ada kreasi, yang ada hanya aksi menghabisi bahkan cenderung mengobral apa yang dikaruniakan Tuhan,”
Mustofa terus memandang layar, kemudian dia ingat sebuah film dokumenter yang ditonton lewat youtube dengan memakai hp Bondan. Dalam pengantarnya narator mengatakan “Tanah Kalimantan Timur, Banua Etam, Bumi Ruhui Rahayu, mempunyai hampir semua yang dibutuhkan oleh rakyatnya untuk sejahtera,”
“Sejarah Bumi Kaltim adalah sejarah panjang. Pemukiman perdana dalam gua-gua Karst sudah ada bahkan ketika alam liarnya belum ramah. Tapi apa yang terjaga selama ribuan tahun, dengan segala mitos, legenda, pengetahuan, kejeniusan lokal dalam tata guna dan kelola lahan serta deretan kearifan kini punah,”
Mustofa terus memandang layar, dalam hati bertanya “Ini orang darimana?, kok tahu Kaltim?”. Selama ini sedikit cerdik cendekia di Kaltim berbicara seperti itu. Wajah dan nama orang yang sedang muncul di siaran TV jaringan nasional tak dikenalnya di media-media lokal.
“Kekayaan tiada tara itu punah karena nafsu menjual kayu gelondongan, minyak dan gas yang seharusnya membuat Kaltim terang benderang, Batubara yang meninggalkan lahan kritis dan lubang dimana-mana, serta hamparan lahan yang dihijaukan dengan pohon sejenis namun tak menghasilkan pangan,”
Mustofa terus memandangi layar, dia terpana.
“Lebih dari tigapuluh tahun terakhir ini para pemangku kebijakan dengan semua penasehatnya lupa pada grafik yang terus menurun, ekonomi Kaltim decline setiap dasa warsa. Dan kemudian baru meratap serta berteriak setelah pertumbuhannya minus,”
Mustofa terus memandang layar, menunggu apalagi yang hendak dikatakan oleh orang itu.
“Kehilangan terbesar dari Kalimantan Timur adalah peradabannya. Apa yang dibangun selama beribu tahun tidak menjadi landasan perencanaan pembangunan. Dulu pemukim perdana tinggal di gua gua untuk rasa aman, sekarang perencana pembangunan tinggal di gua gua untuk membutakan diri pada apa yang seharusnya direncanakan untuk rakyatnya,”
Mustofa terus memandang layar, hatinya bergetar mendengar kata-kata orang itu yang semakin lama semakin mengerikan.
“Sesungguhnya meski banyak peralatan modern, gedung tinggi, tapi adab yang berkembang adalah adab pencari harta karun. Hanya mengambil, beroleh uang banyak tanpa menanam, menjaga dan memelihara. Kalau kita belajar pelajaran anak SD, budaya dominan yang berkembang adalah budaya peramu,”
Mustofa terus memandang layar, dia ingat pelajaran saat SD dahulu tentang perkembangan sebuah masyarakat. Yang disebut peramu adalah kaum yang belum mengenal budidaya, kegiatan sehari-hari digunakan untuk mengumpulkan makanan yang diambil dari alam begitu saja. Dalam teori perkembangan masyarakat, kelas peramu sejajar dengan kelas pemburu sebagai kelas terendah atau paling awal dari perkembangan peradaban sipil. Kelas ini biasa disebut juga sebagai subsisten, kebutuhan dipenuhi dengan mengambil dari lingkungan sekitarnya, teknologi atau peralatan bantunya juga masih sangat sederhana.
Dari cerita-cerita Msutofa tahu bahwa masih ada kelompok masyarakat peramu dan pemburu di Kalimantan Timur. Mereka tinggal di dalam atau disekitar hutan. Tapi Mustofa tahu yang dimaksud oleh pembicara bukan kelompok itu, melainkan kelompok yang hidup dengan citra modernis bahkan canggih tapi pemikiran, kelakuan dan kebijakannya primitif.
“Wajah paling kentara dari kemunduran adab sebenarnya tercermin dari apa yang ditampilkan oleh Sungai Karang Mumus,”
Mustofa terus memandang layar, makin bersemangat karena sungai tempat dia tinggal disebut-sebut.
“Karang Mumus adalah primadona, cikal bakal Ibu Kota Kalimantan Timur, Kota Samarinda, tapi berpuluh tahun terakhir ini merana. Terus menjadi prioritas untuk dipulihkan tapi dibalik itu semua kebijakan pembangunan menghajar Daerah Aliran Sungainya,”
Mustofa terus memandang layar, dia tak menyangkal kalau sungai yang mengalir di sebagian wilayah Kota Samarinda ini lebih layak disebut saluran limbah ketimbang air kehidupan.
“Karang Mumus hancur bukan hanya karena perilaku masyarakat tapi juga perilaku kebijakan. Samarinda mungkin satu-satunya ibu kota provinsi yang membiarkan sebagian wilayahnya ditambang. Tambang yang meninggalkan lubang lubang. Bahkan lubang yang kemudian menenggelamkan belasan anak-anak, generasi masa depan kota ini,”
Mustofa terus memandang layar, diam saja.
“Kini kita tengah memasuki apa yang disebut sebagai Kutuk Sumber Daya Alam. Barangsiapa dengan segala kecerdasan dan kuasa yang dimilikinya, merampok habis-habisan, mengobral dan menjual murah SDA untuk beroleh uang besar dan cepat, akhirnya akan menjatuhkan semua dalam kemiskinan. Kita punya sumber energi, tapi listrik mota-mati, kita punya banyak sungai tapi air PDAM keruh, kita punya lahan luas tapi beras harus didatangkan dari luar, kita punya kekayaan sumber-sumber pangan tapi hampir 90% komoditas pangan dalam arti seluas-luasnya tergantung dari luar. Jadi apapun yang kita peroleh dari tanah ini semua akan dialirkan keluar,”
Mustofa terus memandang layar, semakin terdiam.
“Dan kini apa yang kita lakukan?. Pemangku kebijakan tak bisa apa-apa untuk membangkitkan semua yang memang sudah hancur. Satu-satunya cara hanyalah mengeluarkan himbauan atau seruan, hemat, jangan boros, efisiensi dan seterusnya. Sesuatu cara untuk menghindar yang bisa dilakukan oleh siapa saja, lalu dimana gelar DR, Master atau apapun yang dimiliki oleh mereka, kalau jalan keluar yang ditawarkan bisa dikeluarkan oleh orang yang bahkan tak selesai Sekolah Dasar,”
Mustofa memalingkan muka dari layar, dipencetnya tombol on/off televisinya.
Mustofa kemudian masuk kamar untuk mencari ruang sepi. Tiba-tiba dalam hatinya muncul dorongan untuk berdoa, memuji Yang Maha Kuasa sekaligus memohon ampun padaNYA.
“Tuhan yang bertahta di tempat tertinggi. Perkenanankan hambamu ini berunjuk doa dan permohonan. Mulai hari ini hambaMU berjanji tak akan ngeles lagi. Berkelit dari segala permasalahan. Sertai hambaMu ini untuk mulai berbuat dengan apa yang bisa dibuat. Untuk mulai berlaku dengan memanfaatkan segala kekuatan sekecil apapun yang ada dalam diri hambaMu ini. Mulai besok pagi hambaMu ini akan membersihkan sungai, memunguti sampahnya, merawat, menjaga dan menghormatinya. Terimakasih sudah mengingatkan bahwa sejak lama sesungguhnya kami tidak baik-baik saja,”
Pondok Wira, 10/09/2016 @yustinus_esha
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post