“Demokrasi yang selalu diukur dengan uang? Sementara dalil agama yang mengharamkan politik uang tak lagi dihiraukan. Demikian pula undang-undang yang mengancam pidana untuk pelaku politik uang, tak juga ditakuti” Sofyan Hasdam
PRAKTIK politik uang dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 di Kaltim membuat gerah sejumlah pihak. Termasuk para pesertanya. Seperti yang dialami Andi Sofyan Hasdam. Tak berhasil dalam Pemilihan Gubernur (Pilgub) Kaltim, mantan wali kota Bontang itu kini mengikuti kompetisi sebagai calon legislatif (caleg) di DPR RI.
Melalui akun Facebook-nya, Sofyan membuat unggahan tentang politik uang yang semakin dahsyat. Sejak Pilgub 2018, dia menyebut sudah mencium tajam aroma politik uang. Tapi kala itu menurutnya tidak seberapa. Yang paling dahsyat ketika pemilihan legislatif (pileg) saat ini. “Dan prediksi saya terbukti,” kata Sofyan saat dihubungi Kaltim Post, Senin (11/3).
Menurut dia, bahkan jauh sebelum pemilu, telah terang benderang duit “haram” politik berseliweran. Berkedok biaya transportasi atau berupa barang yang diinginkan calon pemilih.
Sementara itu, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) hingga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) habis energinya mengejar calon legislatif (caleg) yang melakukan sosialisasi yang izinnya dianggap kurang lengkap. “Praktiknya jelas. Tapi yang melapor tak ada. Karena aturannya sekarang, yang menerima dan memberi pun sama-sama kena hukuman,” sebutnya.
Apa yang diunggah Sofyan tersebut berangkat dari pengalamannya di lapangan. Ketika berkunjung di salah satu kota di daerah pemilihannya di Kaltim, dia menerima fakta, tim yang diminta mengadakan kampanye melapor jika di wilayah itu minta imbalan tertentu jika ingin dirinya meraih suara.
“Sudah begini bobrokkah republik ini? Demokrasi yang selalu diukur dengan uang? Sementara dalil agama yang mengharamkan politik uang tak lagi dihiraukan. Demikian pula undang-undang yang mengancam pidana untuk pelaku politik uang tak juga ditakuti,” bebernya dengan nada tinggi.
Menurutnya membongkar praktik politik uang tak terlalu sulit. Tinggal keinginan kuat dari calon pemilih. Utamanya dari aparat pengawas pemilu untuk membongkarnya. Pengawas pemilu punya jaringan dan bisa menurunkan tim intelijennya di masyarakat. Melakukan upaya menemukan barang bukti praktik kotor itu. “Atau memang sudah pasrah dengan kondisi ini. Telanjur berasumsi bahwa yang pantas menduduki jabatan politik adalah mereka yang berduit,” tuturnya.
Apalagi semakin menjelang pemilu, rencana politik uang malah akan sangat transparan. Baik yang rencananya dilakukan sendiri atau tandem bersama caleg pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Harga bursa juga berseliweran. “Dari Rp 100 ribu hingga Rp 500 ribu,” bebernya.
Dari angka tersebut bisa dihitung. Jika seorang caleg seperti dirinya terjebak dalam politik uang, biaya yang dikeluarkan untuk memenuhi target suara akan menguras dompet. Padahal, tak semua caleg maju dengan modal besar.
“DPR RI itu targetnya 100 ribu suara untuk bisa duduk. Berarti sedikitnya bisa keluar Rp 10 miliar (Rp 100 ribu x 100 ribu suara). Ngapain jadi anggota DPR RI mengeluarkan Rp 10 miliar,” sebut Sofyan.
Kondisi ini membuat caleg yang tak berduit berpotensi gagal. Cukup jadi penonton walaupun mereka lebih berkualitas. Lalu menyerahkannya proses pemilihan kepada caleg yang bermodal. Yang berprinsip membayar suara rakyat berarti transaksi selesai. “Cukup menjelang pemilu lima tahun mendatang mereka kembali lagi untuk membayar suara rakyat dan kembali duduk di lembaga wakil rakyat yang terhormat,” ucap mantan calon gubernur Kaltim itu.
Di tengah kondisi pemilih yang pragmatis, Sofyan masih percaya. Hanya segelintir calon pemilih yang memanfaatkan momen pemilu dengan cara tak baik. Karena dari pilgub lalu dirinya yang berpasangan dengan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi berhasil mengumpulkan 200 ribu suara tanpa melakukan cara-cara kotor. “Menjadi gambaran jika masih banyak masyarakat Kaltim yang bersih,” katanya.
Sementara itu, Ketua Bawaslu Kaltim Saipul Bahtiar menyebut, sejak awal penetapan peserta pemilu pada 20 September 2018, persoalan politik uang sudah menjadi prioritas yang masuk indeks kerawanan pelanggaran pemilu. “Atensi kami lebih besar di masalah ini dibandingkan yang lain,” ungkapnya.
Namun ada kendala dalam pengawasan dan penindakan. Yakni, kurangnya alat dan barang bukti sebagai instrumen hukum. Yang kemudian digunakan sebagai dasar penetapan pelanggaran. Baik administrasi hingga pidana kepada pelaku politik uang. “Dan kami saat ini sudah menemukan ada indikasi dengan barang bukti. Yang bisa kami teruskan ke tahap selanjutnya,” sebut dia.
Indikasi tersebut berhubungan dengan praktik politik uang berkedok pengumpulan saksi untuk caleg. Modus yang digunakan dengan memberikan uang transportasi. Padahal, dalam sejumlah pasal di Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, segala praktik di luar ketentuan bisa dikenakan hukuman penjara dan denda. “Ada sejumlah unsur yang harus dipenuhi. Dan kami memiliki syarat-syarat tertentu untuk memberikan sanksi khususnya pidana,” kata dia.
Bentuk pencegahan pun sudah dilakukan. Dengan memberikan peringatan dan pengawasan kepada liaison officer (lo) presiden, partai politik atau caleg untuk menghindari praktik politik uang. Dan jika memang ada indikasi yang ditemukan peserta, maka diharapkan segera melapor ke Bawaslu. “Agar kami bisa ditindaklanjuti. Terutama di wilayah mana,” tuturnya.
Dari pengalamannya, politik uang yang dilakukan dalam pemilu dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Indikasinya dengan memanfaatkan situasi kampanye resmi dan disamarkan dengan bentuk silaturahmi. Politik uang dari pengalaman Pilgub 2018 juga mampu menggerakkan calon pemilih untuk datang ke TPS (tempat pemungutan suara). “Lalu memberikan uang tunai dalam amplop bernama. Disebut sebagai uang transportasi atau konsumsi,” imbuh Saipul.
Kalaupun menggunakan barang, biasanya dilakukan di luar ketentuan. Misalnya, caleg diperbolehkan memberikan barang seperti kaus sebagai bahan kampanye. Yang nilainya menurut aturan maksimal Rp 60 ribu. Dengan memberikan identitas sebagai bahan kampanye. Tetapi banyak praktik yang dilakukan dengan memberikan barang tanpa identitas itu. “Memberikan sarung dalam kegiatan tertentu. Tapi disertai dengan memberi kartu nama. Nah ini tak boleh,” katanya.
Membongkar praktik ini sulit. Beberapa kasus yang masuk ke laporan, Bawaslu kesulitan menemukan barang bukti. Sementara pihak yang menerima enggan dikonfrontasi. Karena dalam aturan juga menindak si penerima barang. “Mereka (yang menerima) tak mau bersaksi,” keluhnya.
Kesadaran masyarakat menjadi benteng terakhir dihentikannya politik uang. Mengedepankan etika dan norma, Saipul mengakui ada kelompok masyarakat yang justru menginginkan situasi ini. Menjadi celah bagi oknum caleg untuk menyambutnya sebagai peluang.
“Memang tak bisa dihilangkan. Tapi kami semaksimal mungkin mencegah praktik ini. Dan seminimal mungkin praktik ini terjadi di lapangan. Dan kami pastikan para pelakunya ditindak dengan tegas,” sebut dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman (Unmul), Samarinda, itu.
Ditemui terpisah, pengamat politik dari Unmul, Sonny Sudiar menyebut, praktik politik uang memang dilakukan secara terselubung. Tidak ada keberanian dari warga untuk melaporkan. Karena sama-sama diuntungkan dalam situasi ini. “Kalaupun melapor, biasanya karena ada salah satu yang dirugikan. Tetapi itu nanti. Setelah perhitungan (suara). Karena itu sudah budaya politik di Indonesia,” kata Sonny.
Masyarakat sebenarnya bisa berperan aktif. Misal merekam atau mendokumentasikan bila menemukan indikasi. Seperti saat kunjungan caleg. Apakah caleg memberikan sesuatu atau tidak. Atau baru sekadar berjanji.
“Berjanji pun sudah menjadi dasar untuk melaporkan. Karena di UU Pemilu itu menjanjikan memberikan uang atau barang untuk memengaruhi pemilih, sudah dianggap melanggar,” terangnya. (rdh/rom/k8/kpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post