JAKARTA-Hingga akhir 2016 jumlah perguruan tinggi (PT) yang terakreditasi A hanya 22 dari 4 ribuan PT di Indonesia. Tahun sebelumnya pada 2015 hanya lima PT yang terakreditasi A, sedangkan 2014 hanya 11 PT. Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir menegaskan, ada beberapa faktor yang menyebabkan PT sulit mendapatkan akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).
Faktor itu, menurutnya, karena kualitas dosen, infrastruktur dan minimnya riset. Mengatasi hal tersebut, harus ada perbaikan kualitas dosen yakni, dengan meningkatkan kualitas dosen S1 menjadi S2. ”Dengan angka PT yang terakreditasi A sekarang, itu masih sangat kecil. Tetapi kita patut bangga karena pada tahun ini ada sembilan PTS (perguruan tinggi swasta) yang sudah terakreditasi A,” ungkap Nasir saat memaparkan capaian kinerja Kementerian Ristek dan Dikti pada 2016 di Jakarta, Rabu (28/12).
Secara tegas, lanjut Nasir, BAN PT harus lebih independen dalam memberikan penilaian dan pendampingan terhadap PT di Indonesia. Selain itu, BAN PT memberikan kontribusi pada perbaikan Program Pendidikan (Prodi) di PT. Ke depan, Kementerian Ristek dan Dikti akan memprioritaskan PT pada bidang vokasi. ”Kami tengah siapkan regulasinya, baik pendidikan vokasi pada pendidikan menengah (dikmen) hingga perguruan tinggi,” ucap Nasir.
Menanggapi hal itu, Ketua Dewan Eksekutif BAN PT Prof T. Basaruddin menerangkan, secara internal PT di Indonesia harus melakukan perbaikan, baik sistem yang sangat berkaitan erat pada peningkatan mutu PT. ”Selama ini penilaian kami hanya melihat bagaimana hasil perbaikan itu,” ujarnya.
Di tempat yang sama, Dirjen Kelembagaan, Iptek dan Dikti Kementerian Ristek dan Dikti Patdono Suwignjo menuturkan, program revitalisasi pendidikan vokasi bakal menyasar dikmen dan dikti. Pasalnya, ketersediaan tenaga kerja Indonesia saat ini belum memenuhi kebutuhan industri, sehingga secara bergelombang tenaga kerja asing (TKA) masuk ke Indonesia. ”Lulusan dikti kita belum sesuai kebutuhan industri, misalnya program pendidikan dikti A, kebutuhan industri B. Ini yang akan kita perbaiki,” terangnya.
Di negara maju, kata Patdono, jumlah PT bidang vokasi lebih besar daripada PT nonvokasi. Demikian pula jumlah mahasiswa pendidikan tinggi vokasi jauh lebih banyak dari pada pendidikan tinggi nonvokasi.
Dicontohkan Patdono, di Austria jumlah mahasiswa pendidikan vokasi sebesar 78 persen, sedangkan nonvokasi hanya 22 persen. Sementara di Indonesia jumlah mahasiswa pendidikan vokasi hanya 5,6 persen dari total jumlah mahasiswa pendidikan nonvokasi. ”Ini akan kita revisi. Pada 2017 nanti, kami tidak akan memberikan izin pendirian universitas, institute, dan politeknik nonvokasi dan prodi non Sains, Teknologi, Engineering dan Matematika (STEM),” tegasnya.
Dia menyatakan, pendidikan vokasi berorientasi pada kompetensi lulusan. Itu bukan saja dimiliki lulusan D3, tetapi lulusan S1 terapan, S2 terapan hingga doktor terapan. Pihaknya tengah menerapkan pilot project pendidikan vokasi pada 12 plus satu politeknik di Indonesia. ”Kami akan lihat hasil lulusan pilot project pada 2019 nanti. Selain lulus dengan kompetensi, mereka mengantongi sertifikasi konpetensi,” katanya.
Revitalisasi lainnya, lanjut Patdono, adalah program penyusunan kurikulum bersama dunia industri. Ini untuk mempersiapkan lulusan sesuai kebutuhan industri. Selain itu, keterlibatan tenaga pengajar dari dunia industri. Idealnya, tenaga pengajar sebesar 50 persen dari PT dan 50 persen dari industri. ”Kami juga inginkan industri mempersiapkan tempat untuk magang. Karena, pendidikan vokasi tidak hanya tempat mendapatkan kompetensi, tapi juga tempat uji kompetensi dan sertifikasi,” jelasnya.
Untuk mendukung program revitalisasi pendidikan vokasi, diungkapkan Patdono kementriannya juga mengirim para dosen politeknik ke luar negeri. Tujuannya, agar mereka mendapatkan sertifikasi berstandar internasional. (nas/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post