Pemerintah Indonesia sampai sejauh ini masih enggan membuka wilayah sebaran pasien positif korona (COVID-19). Hal itu kemudian menuai kritik karena masyarakat tak bisa mengetahui potensi kerawanan di wilayah tempat tinggalnya.
Juru Bicara Penanganan Virus Korona, Achmad Yurianto mengatakan, keputusan ini diambil karena pemerintah tidak mendeteksi pasien korona berbasis daerah. Sistem tracking (melacak) orang pembawa virus dianggap lebih efektif untuk melakukan pencegahan.
“Katakan kita semua di sini, misalnya, postif. Maka ruangan ini merah kan. Terus kita keluar, apakah ruangan ini masih merah? enggak. Yang penting gambaran tracking, dia ini kemana-kemana,” kata Yuri di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (12/3/2020).
Selain itu, mengambil gambaran wilayah Jakarta. Kepadatan penduduk saat siang dan malam hari berbeda. Sehingga apabila mayoritas warga Jakarta terkena korona, maka pada siang hari peta kerawanan bisa merah. Namun, pada malam hari bisa berubah, karena banyak warga non-Jakarta yang kembali ke wilayah asal. Maka peta kerawanan berubah, karena penderita korona berpindah.
Selain itu, Yuri pun mempertanyakan kedewasaan masyarakat apabila ada pengumuman wilayah-wilayah rawan korona.
“Apakah masyarakat kita sudah cukup dewasa? Wong kita baru sebut nama orang saja sudah luar biasa,” ucapnya.
Kondisi itu pula yang menjadi pertimbangan pemerintah tak menyebut rumah sakit yang merawat pasien Korona. Karena masyarakat akan takut mendatangi rumah sakit tersebut ketika diumumkan.
“Kalau ada rumah sakit yang minta namanya disebut agar terkenal, saya sebut. tapi kan enggak ada yang mau. Kalau RSPI dia ngomong enggak ngomong tetap saya sebut, wong dia memang diciptakan untuk itu (tangani korona),” pungkas Yuri. (jpc)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post