Kerusakan lingkungan di kawasan Samarinda Utara, terkait pengerukan batu bara secara sporadis yang dilakukan segelintir oknum, seolah dibiarkan. Pasalnya, tak ada penindakan hingga saat ini.
bontangpost.id – Kegiatan diduga tambang ilegal di lingkungan RT 38 Kelurahan Lempake juga terjadi di lokasi pematangan lahan. Berada di kawasan perbukitan Joyo Mulyo III, tepat di belakang perumahan, aktivitas itu terkesan agak tertutup lantaran berkedok kegiatan pematangan lahan untuk membuat kaveling. Berdasarkan informasi masyarakat yang diperoleh harian ini, pengerukan emas hitam itu sudah beberapa kali terjadi di lokasi tersebut.
Seorang warga perumahan yang enggan disebutkan identitasnya menjelaskan, penumpukan batu bara di balik bukit itu terbilang baru. Berjalan sekitar dua pekan. Kegiatannya fokus menggali batu bara. “Baru saja itu (menambang). Setahu saya belum ada batu yang keluar,” ucap warga tersebut. Ketika disinggung jalur hauling, kegiatan serupa sebelumnya selalu melewati Jalan Perumahan Joyo Mulyo III.
Ketua RT 38 Engga Trikuna Roky menyebut, sudah mengetahui adanya kegiatan tambang batu bara yang berkedok pematangan lahan di lingkungannya tersebut. Lahan yang dijadikan lokasi eksplorasi emas hitam disebut milik salah satu warganya, atas nama Tamin. “Kalau penambangnya info yang saya dapat anggotanya Pak Nurhadi. Tapi saya tidak tahu yang mana orangnya,” bebernya kepada harian ini.
Dia menyebut, kegiatan tambang di wilayah perumahan itu masih menunggu warga sekitar. Apakah setuju atau tidak dengan adanya aktivitas diduga ilegal tersebut. Apalagi untuk mengeluarkan hasil tambang itu dipastikan melalui jalan warga. Namun, justru penambang sudah melakukan pengerukan tanpa persetujuan warga. “Ya begitu nakal-nakal mereka (penambang) itu,” sesalnya.
Sama halnya ketika ditanya mengenai kegiatan penambangan di venue eks dayung. Kapolresta Samarinda Kombes Pol Ary Fadli yang juga ditanya mengenai aktivitas tambang di Joyo Mulyo menyatakan akan mengecek terlebih dahulu. “Oke, coba saya cek,” singkat pria berpangkat melati tiga tersebut.
Sebelumnya, Kadri, petani palawija yang sudah sekitar 15 tahun bercocok tanam di lahan milik Pemkot Samarinda tersebut menuturkan, aktivitas keruk-mengeruk emas hitam secara tak berizin sepertinya makin sporadis. Bahkan, ada yang berani menumpuk batu bara persis di sebelah kebun sayur. Lantaran aksesnya lebih mudah ketika melakukan hauling karena dekat dengan jalan masyarakat.
“Pada 2022 sempat berhenti. Katanya karena ada razia. Jadi ada yang sudah ditumpuk langsung ditinggal begitu saja. Tapi tidak lama kegiatannya lanjut lagi, bahkan sekarang lebih besar (garapannya makin luas),” ujarnya.
Dampak paling terasa, lanjut Kadri, ketika terjadi hujan. Sebab, air bercampur lumpur dengan debit besar mengalir menuju tanaman. Baru kemudian air tersebut lari ke Bendungan Benanga. Tanaman warga tak bisa kembali tumbuh secara maksimal lantaran hamparan berubah jadi lumpur. “Waktu mereka (penambang) kembali melakukan galian, batu bara yang sempat ditumpuk sekitar beberapa bulan ditinggalkan itu diangkut. Saya kurang tahu dibawa ke mana,” sambungnya.
Sementara itu, dikonfirmasi soal dampak pencemaran limbah terhadap air bendungan, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Samarinda Endang menyebut, perlu dilakukan uji laboratorium (lab). Sebab, untuk melihat kualitas air sudah semestinya harus diukur dan mengambil sampel.
“Untuk melihat apakah ada pencemaran biasanya mudah terlihat waktu hujan. Alirannya ke mana larinya, apakah benar ke bendungan atau ke tempat lain, airnya itu perlu dibawa ke lab,” urainya. (dra/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post