Sri Mulyanti hanya bisa merebahkan diri di warung kelontong miliknya. Ukurannya sekitar 2,5 x 4 meter. Sembari menunggu pembeli datang, ia hanya bisa memegang sebuah kotak kaleng biskuit berisi uang. Memprihatinkan, begitulah kondisi yang dialaminya tatkala divonis petugas medis mengidap penyakit tumor anus.
ADIEL KUNDHARA, Bontang
HAMPIR setahun, Sri Mulyanti menderita penyakit tumor di bagian anus. Dua benjolan berukuran kecil menjadi biang nyeri yang selama ini dirasakannya. Ia harus menahan rintihannya, kendati rasa sakit itu tidak datang secara terus-menerus. Baik itu di siang maupun malam hari.
“Tidak begitu besar ukuran benjolannya,” kata Sri Mulyanti dengan nada tertatih-tatih kepada Bontang Post, kemarin (28/2).
Perempuan kelahiran Kabupaten Ponorogo, Provinsi Jawa Timur ini mengetahui dalam tubuhnya terdapat tumor sejak enam bulan silam. Kala itu, ia memeriksakan kondisi raganya ke RSUD Taman Husada Bontang. Akan tetapi, pihak rumah sakit plat merah di Bontang ini menyarankan untuk dirujuk ke rumah sakit di Samarinda. Sri Mulyanti diwajibkan menjalani kemoterapi.
Melihat jarak yang terlalu jauh, Sri Mulyanti enggan mengikuti anjuran tenaga medis tersebut. Mengingat sang suami yang merupakan pensiunan Aparatur Sipil Negara (ASN) lagi bergelut dengan usaha membuka toko kelontong di Jalan Cipto Mangunkusumo.
“Tidak ada yang menunggu kalau harus berobat ke Samarinda, dan pasti itu bolak-balik,” tambah perempuan kelahiran 1959 ini.
Praktis, ia menghabiskan banyak waktunya dengan rebahan di lantai. Sembari menunggu para konsumen membeli barang dagangannya. Bahkan, ketika seorang pelanggan datang, ia pun tak beranjak. Lantas, pembeli mengambil sendiri apa yang hendak dibutuhkannya.
“Kebanyakan ya begini (terbaring, Red.) tetapi saya bisa berdiri,” ujarnya dengan balutan handuk berwarna merah guna menutupi bagian sakitnya.
Kondisi ini membuat beberapa pelanggan menaruh rasa iba. Tak jarang, rasa empati diwujudkan melalui menolak diberi uang kembalian. “Nangis saya rasanya, mas. Melihat sikap orang kepada saya,” kata dia.
Riwayat keluarga ini sebelum menetap di Bontang memiliki sejarah panjang. Pernah mengikuti saudara yang berada di Rantau Pulung, Kabupaten Kutai Timur. Selang beberapa waktu, keluarga ini memutuskan hijrah ke Berau.
“Sekitar lima tahun saya berada di Bontang,” ucap Sri Mulyanti.
Kehidupan ekonominya tergolong cukup. Usaha yang ditekuninya mampu untuk membayar petakan dan kehidupan sehari-hari. Di mana per bulan, ia harus merogoh kocek sejumlah Rp 300 ribu.
“Kalau keuntungan ini bapak yang tahu, tetapi kami tidak pernah sampai berutang,” tambahnya.
Sebelumnya ia punya keinginan untuk kembali ke kampung halaman. Namun, hasrat itu harus ditunda sehubungan dengan kondisi tubuhnya yang lemah. “Fokus pengobatan terlebih dahulu, pulangnya tidak jadi,” ujarnya.
Sementara itu tetangga korban, Heni mengatakan sebenarnya kepedulian sering diberikan. Salah satunya dengan mengajak mengonsumsi obat herbal. Mengingat Sri Mulyanti sudah terlalu sering meminum obat kimia tapi tak ada perkembangan. Namun, karena penderita memiliki sikap kukuh, ajakan Heni pelan-pelan memudar.
“Orangnya kaku sekali, ketika saya tanya selalu habis berobat tetapi kok saya lihat tidak sembuh-sembuh,” kata Heni.
Pernah Heni mengintip, dikatakannya benjolan tersebut berwarna kuning kemerah-merahan. Aroma tak sedap dari benjolan tersebut menjadi santapan kala angin berhembus.
“Seperti bau busuk memenuhi bagian petaknya,” tutupnya. (***)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: