Hidayah Allah Subhanahu wa ta’ala bisa datang kapan saja dan kepada siapapun. Termasuk kepada Kedu Moto (24), Gan Adi Purnomo (26), dan Tito Prabara Putra (26). Ketiga pemuda ini memutuskan menjadi mualaf dan mengucapkan dua kalimat syahadat di Masjid Islamic Center, Samarinda, Jumat (22/12) kemarin, setelah sering mendengar ayat suci Alquran.
DIRHAN, Samarinda
Jarum jam tepat menunjukan pukul 13.00 Wita siang kemarin. Selepas berzikir dan berdoa, satu persatu di antara ribuan jemaah salat Jumat meninggalkan Masjid Islamic Center, Samarinda. Namun beberapa di antara mereka ada yang memilih bertahan. Ada yang melanjutkan salat sunah, zikir, dan mengaji.
Namun siang kemarin, jumlah jemaah yang bertahan di masjid tidak seperti Jumat yang sudah-sudah. Kemunculan tiga pemuda di depan mimbar masjid menjadi magnet dan alasan jemaah enggan terburu-buru meninggalkan masjid.
Satu di antara remaja itu berkulit hitam asal daerah Sumba, Nusa Tengara Timur (NTT). Kedu Moto namanya. Pemuda yang telah lama menetap di Samarinda ini, dulunya beragama Kristen Katolik. Namun siang kemarin, di bawah teduhnya atap rumah Allah, Kedu melafaskan dua kalimat syahadat.
Dengan keterbata-bataannya, pria kelahiran Kahi Boying, NTT, 24 Oktober 1993 silam itu, melafalkan kalimat ashadu allaa ilaha illalah (aku bersaksi tiada tuhan selain Allah). Wa’ashadu anna muhammadar rasulullah (saya bersaksi bahwa Muhammad adalah rasul/utusan Allah).
Meski harus mengulang hingga tiga kali, pria yang kini menetap di Jalan Lempake Tepian, RT 01, Kelurahan Gunung Lingai ini, berhasil mengucapkan dua kalimat syahadat dengan baik. Di bawah bimbingan KH Fakhruddin Wahab, Ketua III Pengurus Badan Pengelola Islamic Center, Kedu resmi menjadi seorang mualaf.
Oleh KH Fakhruddin, Kedu diberikan nama Islam yakni Muhammad Agus. Namun sebelum mengikrarkan diri sebagai seorang muslim, Kedu mengaku tertarik Islam sudah cukup lama. Namun di penghujung tahun 2017 ini dirinya baru memantapkan keyakinan memeluk agama Islam.
“Awalnya saya tertarik dengan gerakan salat. Senang melihatnya. Sejuk hati saya. Kebanyakan teman-teman saya juga dari Islam. Saya mulai tertarik agama Islam sejak tahun 2008,” katanya.
Ia bercerita, semula dirinya sempat mendapatkan penolakan dari kedua orang tuanya. Begitupun dengan keluarganya. Namun seiring waktu berjalan, dia terus meyakinkan, bahwa pilihannya menjadi seorang muslim datang dari kesadaran dirinya. “Iya, sempat ditolak. Tapi saya bilang, saya memang ingin masuk Islam. Orang tua akhirnya setuju,” ucapnya.
Cerita yang sama juga disampaikan Tito Prabara Putra. Pemuda asal Kutai, kelahiran 1991 silam itu, juga ikut mengikrarkan diri menjadi seorang mualaf bersama Kedu. Seperti halnya Kedu, Tito yang sebelumnya beragama Hindu, ketika mengucapkan dua kalimat syahadat juga terbata-bata.
Kepada media ini, pria lulusan sarjana ilmu komputer tersebut menuturkan, sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, dirinya sudah tertarik dan menGanal Islam. Apalagi banyak di antara keluarga besarnya merupakan muslim. Dari situ ia banyak menGanal ajaran-ajaran Islam.
“Kedua orang tua saya beragama Hindu. Keluarga saya ada dari Islam, muslim. Sejak kecil saya sudah tertarik. Cuman mungkin, saya baru dapat ilham dari Allah Yang Maha Kuasa sekarang. Saya bersyukur,” ucapnya.
Awal memutuskan menjadi seorang mualaf, Tito juga sempat mendapatkan penolakan dari kedua orang tuanya. Setelah berulang kali meyakinkan, akhirnya Tito diizinkan memeluk agama Islam. “Awalnya sih, memang enggak ikhlas. Orang tua sempat ragu. Tapi lama kelamaan, mereka setuju,” ujarnya.
Pemuda lainnya yang juga memutuskan menjadi seorang mualaf yakni Gan Adi Purnomo. Bila Kedu tertarik masuk Islam karena senang dengan gerakan salat, maka Gan memilih memeluk Islam setelah menjalin kasih dengan seorang wanita beragama Islam.
Semula, pria yang dulu beragama Kristen Katolik ini merasa biasa-biasa saja dengan Islam. Namun belakangan, setelah sering mendengarkan kekasihnya melantunkan ayat suci Alquran, Gan merasa ada yang berbisik di dalam hatinya.
Sejalan dengan itu, dia mendapati sang calon istri sering salat. Dari situ, pria berdarah Jawa dan Tionghoa ini merasakan mendapatkan ketentraman hati. Apalagi bila sang kekasih melantunkan ayat-ayat Alquran. Sadar mendapatkan kesejukan hati, jiwa, dan pikiran, Gan lalu memutuskan menjadi mualaf.
“Di hati saya merasa kayak gimana gitu. Berasa nyaman. Saya lihat calon istri juga rutin mengaji. Sembahyangnya rajin. Saya sampai tidak bisa ngikutin dia gitu. Calon istri saya orang China juga. Tapi sudah muslim sejak kecil,” tuturnya.
KH Fakhruddin yang menjadi pemandu proses pengucapan dua kalimat syahadat bagi Gan, Kedu, dan Tito menuturkan, bagi agama Islam, tidak ada paksaan dalam beragama. Islam lahir dari kesadaran akan keesaan Allah. Islam hadir sebagai panggilan hati bagi setiap muslimin. Bagi mereka yang menjadi mualaf, ibarat bayi yang baru lahir. Bebas dan bersih dari segala dosa.
“Dijelaskan dalam salah satu hadis nabi Muhammad yang berbunyi, jika seorang hamba masuk Islam, lalu Islamnya baik, Allah menulis semua kebaikan yang pernah dia lakukan, dan dihapus darinya semua keburukan yang pernah dia lakukan. Kemudian setelah itu ada qishash (balasan yang adil), yaitu satu kebaikan dibalas sepuluh kali lipat sampai 700 kali lipat. Adapun satu keburukan dibalas dengan sama, kecuali Allah ‘Azza wa Jalla mengampuninya,” jelasnya.
Selepas acara tersebut, Gan, Kedu, dan Tito mendapatkan bingkisan dari pengurus Masjid Islamic Center. Di antaranya buku panduan salat, Alquran, dan sajadah. Selain itu, ketiganya juga mendapatkan bantuan dana dari para jemaah salat Jumat. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: