JAKARTA – Fraksi di DPR RI terbelah dalam menyikapi usulan hak angket terhadap pengaktifan kembali Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta. Fraksi pemerintah menolak pengusulan hak melakukan penyelidikan itu.
Sekretaris Fraksi Partai Golkar Agus Gumiwang menyatakan, fraksi pemerintah yang terdiri dari enam partai. Yaitu, PDIP, PKB, Partai Hanura, Partai Nasdem, PPP, dan Partai Golkar tidak sepakat dengan usulan hak angket terhadap pengaktifan kembali Ahok sebagai gubernur. “Kami melihat tidak ada urgensinya mengajukan hak angket,” terang dia saat konferensi pers di ruang Fraksi Nasdem kemarin (14/2).
Menurut dia, keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dalam mengaktifkan kembali Ahok sudah tepat dan berlandaskan hukum yang kuat sesaui dengan undang-undang pemerintah daerah. Sebelum mengambil sikap, tutur dia, fraksi pemerintah sudah melakukan kajian yang mendalam terhadap kebijakan Mendagri. Memang masih ada multitafsir dalam memahami undang-undang pemerintah daerah.
Jika ingin mendengar alasan Mendagri dalam pengaktifan Ahok, fraksi yang sebelumnya mengajukan hak angket bisa melalui forum rapat dengar pendapat (RDP). Jadi, tidak perlu mengajukan hak angket, karena penjelasan bisa didapat dari rapat bersama mendagri. “Lewat forum itu bisa ditanyakan apa dasar hukum mendagri mengangkat kembali saudara Basuki,” tutur dia.
Fraksi pemerintah siap menyiapkan forum yang akan digelar di Komisi II. Semua anggota fraksi pemerintah yang ada dalam Komisi II akan mendukung forum tersebut. “Menurut kami sudah tidak relevan mengajukan hak angket,” terang dia.
Ketua Fraksi PKB Ida Fauziyah mengatakan, pihaknya juga tidak sepakat dengan pengusulan hak angket. Kalau hanya untuk mempertanyakan alasan, maka fraksi di DPR bisa memanggil mendagri. Apalagi, kata dia, pemerintah juga sudah mengajukan permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung (MA). Jadi, lebih baik semua pihak menunggu fatwa tertulis dari MA.
Zainudin Amali, ketua Komisi II menyatakan, komisinya siap menjadwalkan rapat dengan mendagri. Menurut dia, rapat tersebut dijadwalkan pada 22 Februari mendatang. Pertemuan itu digelar setelah pilkada serentak selesai. “Jadi, sudah kami agenda sebelunya. Selain membahas pengaktifan Ahok juga akan dibahas hasil pilkada,” ucap mantan Ketua DPD Golkar Jatim itu.
Sementara itu, sikap fraksi yang sebelumnya ikut mengusulkan angket juga mulai terbelah. Fraksi Partai Amanat Nasional (PAN) misalnya, sikapnya terkesan mendua. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menilai hak angket merupakan hak masing-masing anggota dewan, namun secara institusi fraksi, PAN menolak jika status Ahok itu langsung dipersoalkan melalui angket.
Hal tersebut disampaikan oleh Zulkifli, di sela-sela penyampaian sikap MPR jelang pemungutan suara pilkada serentak di gedung parlemen, Jakarta, kemarin (14/2). Zulkifli menyatakan, sebagai hak anggota, dirinya selaku Ketum menghargai pilihan anggota Fraksi PAN yang mendukung angket. Namun, dirinya baru mendapat laporan terkait itu setelah sejumlah anggota Fraksi PAN membubuhkan tanda tangan dukungan.
“Saya baru dilapori tadi (kemarin, red),” kata Zulkifli.
Menurut dia, hak angket yang diusulkan secara umum terkait status kembali aktifnya Ahok, sapaan Basuki, sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sebagai seorang terdakwa dengan ancaman hukuman lima tahun, harus diberhentikan sementara oleh Presiden. Hal itu membuat sejumlah anggota dewan komplain dan mengajukan usulan angket. Namun, Zulkifli menilai usulan angket terlalu dini diajukan.
“Saya tidak sependapat langsung angket,” kata pria yang juga Ketua MPR RI itu.
Dia menilai, sebaiknya anggota dewan melalui Komisi terkait memanggil Menteri Dalam Negeri lebih dahulu. Mendagri dalam hal ini bisa dimintai keterangan terkait dengan keputusan untuk tidak memberhentikan sementara Ahok sebagai Gubernur.
“Nanti pasti ada jawabannya, kalau tidak puas bisa meningkat lagi, interpelasi atau apa, jangan angket dulu,” kata Zulkifli.
Apalagi, tambah Zulkifli, dirinya mendengar jika Mendagri akan meminta fatwa MA. Dia menilai sebaiknya DPR menunda dulu usulan angket, sambil menunggu seperti apa fatwa MA terkait status Ahok. “Kalau fraksi tegas jangan angket dulu. Pertama raker dulu, tanya dulu (Mendagri),” tandasnya.
Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyatakan, usulan hak angket yang diajukan empat fraksi, yaitu PAN, PKS, Partai Gerindra, dan Partai Demokrat sudah disampaikan dalam rapat pimpinan. “Kami hanya meneruskan usulan yang disampaikan,” kata dia. Selanjutnya, usulan tersebut akan dibacakan dalam rapat paripurna. Setelah itu Badan Musyawarah (Bamus) akan mengagendakan rapat paripurna untuk membahas usulan hak angket.
Terpisah, Mendagri Tjahjo Kumolo menyerahkan berkas permohonan pendapat atas tafsir Pasal 165a KUHP ke Mahkamah Agung (MA). Langkah tersebut, kata Tjahjo, dilakukan untuk memberi pencerahan mengingat adanya perbedaan tafsir antar pakar hukum dalam memaknai norma tersebut.
“Berkas permohonan pendapat Hukum sudah kami sampaikan ke sekretariat MA,” ujarnya.
Tjahjo berjanji, apapun yang menjadi fatwa dari MA, maka akan dilakukannya. Termasuk jika MA memutuskan bahwa pasal tersebut mengharuskan Ahok harus diberhentikan sementara. “Ya pasti (dilaksanakan),” imbuhnya.
Mantan Sekjen PDIP itu juga menegaskan, jika pihaknya saat ini belum memutuskan Ahok diberhentikan atau tidak. Melainkan masih dalam proses menunggu pasal mana yang akan digunakan sebagai tuntutan jaksa penuntut umum. Meski demikian, dia mengaku menghargai apa yang menjadi usulan dan pendapat dari anggota DPR.
Terkait permintaan Mendagri Tjahjo Kumolo, Ketua MA M. Hatta Ali belum mengambil sikap. Selain berjumpa langsung dengan Tjaho kemarin (14/2), Hatta Ali mengaku sudah menerima surat dari menteri yang juga politisi PDIP tersebut. Isi surat itu tidak lain adalah permintaan agar MA mengeluarkan fatwa guna menengahi polemik soal status Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama.
Meski sudah dinyatakan sebagai terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama, pejabat yang akrab dipanggil Ahok itu belum dinonaktifkan oleh Kemendagri. Langkah tersebut menuai banyak kritik. Karena itu Tjahjo meminta MA mengeluarkan fatwa. “Kemendagri ada bagian (yang mengurus) hukum juga. Seyogyanya dibahas di sana,” ucap Hatta Ali. Keterangan itu disampaikan guna menanggapi permintaan Tjahjo.
Hatta Ali menegaskan, MA tidak bisa sembarangan mengeluarkan fatwa. “Kami harus mempertimbangkan dampak positif dan negatif ketika menerbitkan fatwa,” jelas dia. Proses peradilan Ahok yang masih berlangsung pun turut menjadi pertimbangan. Dia tidak ingin fatwa MA membuat konsentrasi hakim dalam peradilan Ahok terganggu. Lebih dari itu, dia khwatir hakim dalam persidangan yang masih berproses merasa tertekan oleh fatwa MA.
Namun demikian, bukan berarti MA menolak permintaan Tjahjo. Hatta Ali mengungkapkan, pihaknya bakal melihat lebih jauh permintaan yang disampaikan oleh orang nomor satu di Kemendagri itu. “Akan kami lihat. Relevan atau tidak (apabila) MA mengeluarkan pendapat (fatwa),” ujarnya. Yang pasti, sambung dia, keputusan soal status Ahok tidak bergantung fatwa MA. Melainkan merujuk keputusan Kemendagri. Sebab, fatwa MA tidak mengikat. “Boleh diikuti. Tidak (diikuti) juga silakan,” kata dia.(lum/bay/far/syn)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post