Selentingan jika ada upaya-upaya memberikan jalan bagi figur tertentu agar dapat turut andil dalam pemilu tahun depan kian deras berembus. Tuduhan itu mengarah ke MK.
bontangpost.id – Peluang putra sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka, untuk diusung menjadi bakal calon wakil presiden (bacawapres) akhirnya benar-benar terbuka. Sebab, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan seorang mahasiswa Universitas Surakarta bernama Almas Tsaqibbirru.
Dalam putusan nomor 90/PUU-XXI/2023, MK mengizinkan seseorang yang usianya belum mencapai 40 tahun untuk maju dalam pilpres. Syaratnya, orang tersebut harus berpengalaman menduduki jabatan hasil pemilihan langsung. Baik kepala daerah, DPD, maupun DPR dan DPRD. Meski demikian, putusan tersebut tidak diputus secara bulat. Tiga hakim yang mengabulkan permohonan uji materi itu adalah Guntur Hamzah, Manahan Sitompul, dan Anwar Usman.
Lalu, empat hakim memilih berbeda pendapat atau dissenting opinion. Yakni Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo. Serta, dua hakim memilih occurring opinion (kabul tapi beda alasan). Yakni Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic. Dalam pertimbangannya, hakim MK Guntur Hamzah mengatakan, batas usia capres/cawapres tidak diatur secara jelas oleh UUD 1945. Dalam perkembangannya, syarat usia sudah beberapa kali diubah.
Dia menerangkan, guna memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada generasi muda, sudah semestinya syarat tidak hanya secara tunggal. Namun juga mengakomodasi syarat lain. Yang terpenting dapat menunjukkan kelayakan dan kapasitas seseorang untuk turut dalam kontestasi. “Dalam rangka meningkatkan kualitas demokrasi karena membuka peluang putra-putri terbaik bangsa untuk lebih dini berkontestasi dalam pencalonan,” ujarnya saat membacakan salah satu pertimbangan.
Terkait syarat pada jabatan hasil elected officials, MK berpendapat, jabatan itu telah memenuhi syarat derajat minimal kematangan dan pengalaman. Karena terbukti pernah mendapat kepercayaan masyarakat atau kepercayaan negara. MK juga membeberkan besarnya jumlah penduduk yang berada di rentang usia dewasa, namun di bawah usia 40 tahun. Di rentang usia 30–39 tahun saja, terdapat setidaknya 43,02 juta penduduk. Hal itu menunjukkan ketersediaan calon-calon pemimpin generasi muda yang besar.
“Secara a contrario, adanya batasan syarat presiden dan wakil presiden berusia minimum 40 tahun berpotensi merugikan hak konstitusional generasi muda,” terangnya.
Adapun dua hakim yang bersikap occurring opinion memiliki perbedaan pendapat pada level kepala daerah yang memenuhi syarat. Mereka menilai, semestinya kepala daerah yang memenuhi syarat adalah gubernur. Sebab, jabatan gubernur berada di level pemerintahan yang lebih dekat dengan pemerintah pusat. Sementara itu, empat hakim yang berpendapat dissenting opinion menegaskan, pengaturan usia syarat capres-cawapres merupakan kebijakan hukum terbuka atau open legal policy. Sehingga tidak bisa ditambah embel-embel lainnya.
Sikap itu juga sejalan dengan tiga putusan MK yang dibacakan lebih dulu. Yakni Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 29, 51, 55/PUU XXI/2023 yang diajukan PSI, Garuda, dan kepala daerah. Hakim MK Saldi Isra mengkritik para hakim lainnya yang tidak konsisten. “Baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” tegas Saldi.
Dia menerangkan, perubahan sikap MK sejatinya merupakan hal biasa. Namun, tidak pernah berubah secepat ini. Itu pun biasanya perubahan didasarkan pada fakta baru. “Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya?” ungkapnya. Saldi juga membeberkan keanehan dalam proses rapat permusyawaratan hakim (RPH). Dalam RPH tanggal 19 September 2023 untuk memutus Perkara Nomor 29, 51, 55/PUU-XXI/2023, Anwar Usman tidak hadir. Enam hakim konstitusi sepakat menolak permohonan dan tetap memosisikan Pasal 169 Huruf q UU 7/2017 sebagai kebijakan hukum terbuka.
Namun, dalam RPH selanjutnya yang dihadiri Anwar Usman dan membahas perkara Nomor 90-91/PUU- XXI 2023, beberapa hakim yang sama berubah pandangan dalam menilai Pasal 169 huruf q UU 7/2017. Tiba-tiba muncul ketertarikan dengan model alternatif yang dimohonkan di dalam petitum Perkara Nomor 90. “Secara faktual, perubahan komposisi hakim yang memutus dari delapan menjadi sembilan tidak sekadar membelokkan pertimbangan dan amar putusan, tetapi membalikkan 180 derajat amar putusan,” jelasnya.
RESPONS JOKOWI
Sementara itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) akhirnya angkat suara terkait putusan MK soal syarat maju dalam pilpres. Pernyataan itu disampaikan Jokowi di sela kunjungan kerja di Beijing tadi malam (16/10). Dia menegaskan tidak terlibat dalam urusan bakal capres maupun cawapres. “Saya tegaskan, saya tidak mencampuri urusan capres atau cawapres,” katanya. Pernyataan itu disampaikan Jokowi sekaligus merespons wacana putra sulungnya, Gibran Rakabuming Raka, yang diusulkan menjadi bakal cawapres pada Pemilihan Umum 2024.
Jokowi menuturkan, penentuan capres dan cawapres merupakan ranah partai politik. “Pasangan capres dan cawapres itu ditentukan oleh partai politik atau gabungan partai politik, jadi silakan tanyakan saja ke partai politik, itu wilayahnya parpol,” jelasnya. Jokowi mengatakan, putusan MK merupakan kewenangan yudikatif. Jokowi mempersilakan masyarakat untuk menanyakan langsung kepada MK. “Jangan saya yang berkomentar,” katanya.
Dia juga mempersilakan para pakar hukum untuk menilai putusan itu. Jokowi tidak memberikan pendapat atas putusan MK. Sebab, menurut dia, bisa disalah mengerti seolah-olah dia mencampuri kewenangan yudikatif.
PDIP DAN KUBU GANJAR MERADANG
Pada bagian lain, Partai Gerindra menghormati putusan MK. Ketua Harian DPP Gerindra Sufmi Dasco Ahmad menyebut, putusan MK bersifat final dan mengikat. Sehingga harus diterima, apapun putusannya. Dasco menerangkan, putusan itu memberi peluang kepada politikus muda lainnya yang duduk di jabatan kepala daerah untuk maju dalam kontestasi pilpres. “Tentunya dengan putusan MK ini tidak hanya membuka peluang bagi Mas Gibran, tetapi bagi kepala daerah yang sedang menjabat,” ujarnya.
Soal kans Gibran sebagai pendamping Prabowo, Dasco menyebut, pembicaraan soal wakil masih berlangsung di internal koalisi. “Tentunya pada waktunya nanti kita akan sampaikan tentang siapa yang akan menjadi calon pendamping Pak Prabowo,” imbuhnya.
Sementara itu, PDIP mengkritik keras putusan MK yang ditengarai memberikan karpet merah bagi Gibran Rakabuming Raka menjadi cawapres pada Pilpres 2024. Putusan itu dinilai sebagai bentuk politik pelanggengan kekuasaan.
Anggota DPR RI dari Fraksi PDIP Masinton Pasaribu menilai, putusan MK merupakan bagian dari desain politik pelanggengan kekuasaan. Hal tersebut dimulai dari wacana penundaan Pemilu 2024. Kemudian, dilanjutkan dengan perpanjangan masa jabatan presiden dan sekarang dengan putusan MK. Menurut dia, dengan putusan itu, MK telah memberikan karpet merah bagi mereka untuk melanggengkan kekuasaan politik dinasti. Pertanyaannya, kata dia, apakah karpet merah itu akan digunakan? ”Jika itu digunakan, maka akan bertentangan dengan hati nurani rakyat Indonesia. Rakyatlah yang akan melihat tingkah polah pihak yang ingin melanggengkan kekuasaan,” katanya.
Apakah pihak yang melanggengkan kekuasan itu adalah Presiden Jokowi yang ingin Gibran menjadi bakal cawapres Prabowo? Masinton enggan menyebut keluarga atau kelompok tertentu. Yang jelas, pihak itu sedang menjalankan politik dinasti. Lantas, apakah Gibran harus keluar dari PDIP jika maju sebagai cawapres Prabowo? Masinton menegaskan, pertanyaan itu seharusnya ditanyakan kepada Gibran. ”Bukan kepada PDIP,” ucapnya. Wakil Ketua MPR RI dari Fraksi PDIP Ahmad Basarah juga ikut mengkritik putusan MK. Menurut dia, sejatinya hanya tiga orang hakim konstitusi yang setuju dengan amar putusan tersebut. Sisanya, enam hakim konstitusi lainnya, memiliki pendapat berbeda.
Oleh karena itu, kata Basarah, sebenarnya putusan MK itu tidak mengabulkan petitum pemohon. Melainkan menolak permohonan pemohon. Kalaupun mau dipaksakan bahwa lima hakim mengabulkan permohonan, titik temu di antara lima hakim adalah berusia paling rendah 40 tahun atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah gubernur.
Dengan demikian, putusan MK tidak dapat dimaknai bahwa berpengalaman sebagai kepala daerah adalah sebagai bupati/wali kota. Atas putusan yang problematik seperti itu, sudah selayaknya tidak serta-merta diberlakukan. Sebab, mengandung persoalan. Yaitu, kekeliruan dalam mengambil putusan yang berakibat pada keabsahan putusan.
Putusan itu jika langsung ditindaklanjuti KPU akan melahirkan persoalan hukum dan berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari terkait legitimasi dan kepastian hukum putusan. “Untuk itu sudah seharusnya KPU mengedepankan asas kehati-hatian, kecermatan, dan kepastian dalam mempelajari keputusan ini,” tegas Basarah.
Tim Pemenangan Nasional (TPN) Ganjar Pranowo juga menyayangkan putusan MK. Juru Bicara (Jubir) TPN Ganjar, Chico Hakim mengatakan, MK hanya berhak menyatakan apakah UU itu bertentangan dengan konstitusi atau tidak. Ketika MK mengambil materi muatan baru yang tidak tercantum dalam materi pokok dalam UU yang sedang diuji, yakni ketentuan baru pernah atau sedang menjabat kepala daerah, maka MK telah melampui kewenangannya sebagai institusi negara. “Putusan itu melampaui kewenangan MK,” terang Chico saat konferensi pers di Media Center TPN Ganjar, Jalan Cemara, Jakarta Pusat, kemarin.
Dia mengatakan, KPU sebagai penyelenggara pemilu tidak bisa melakukan perubahan PKPU berkaitan dengan materi pernah atau sedang menjadi kepala daerah. “Sebelum UU tersebut direvisi di DPR,” tegasnya. Di tempat terpisah, KPU langsung merespons putusan MK dengan merevisi PKPU Nomor 19 tentang Pendaftaran Capres. Sesuai ketentuan, putusan MK bersifat final dan wajib ditindaklanjuti. “Setelah melakukan kajian, KPU akan melakukan perubahan,” kata Komisioner KPU Idham Holik.
MK BIASANYA SANGAT KETAT
Pada bagian lain, Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur menyatakan, putusan MK kemarin sudah menjadi kekhawatiran bagi Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Demokratis. Sebab, isu yang berkembang sebelum putusan itu dibacakan sudah mengarah pada upaya-upaya memberikan jalan bagi figur tertentu agar bisa turut andil dalam pemilu tahun depan.
Isnur menyampaikan beberapa hal yang dinilai aneh dan janggal dalam putusan kemarin. Dimulai dari legal standing pemohon. Menurut dia, MK biasanya sangat ketat dalam urusan legal standing. Namun, dalam putusan kemarin, hal itu tidak tampak. Isnur menyebut, MK sangat longgar melihat legal standing pemohon. ”Ini mahasiswa yang bahkan dia bukan pemerintah daerah, menguji, tapi dikabulkan begitu legal standing-nya. Jadi, itu saja sudah sangat aneh,” beber dia.
Isnur juga mengkritik rasionalitas yang dipakai oleh MK dalam putusan kemarin. Dia menilai, rasionalitas yang digunakan oleh MK tidak berdasar. Klausul pernah atau sedang menjabat pemerintah daerah benar-benar masuk dalam putusan MK. ”Dan ini menunjukkan gejala MK bagian dari mahkamah kekuasaan,” ujarnya. Melalui putusan kemarin, lanjut Isnur, MK telah memaksakan pendapat hukum untuk memenuhi kepentingan tertentu. Sehingga MK lagi-lagi menambah catatan yang dinilai buruk. Mulai putusan terkait dengan KPK, hakim MK yang melanggar etik, hingga hakim MK yang terlibat korupsi. ”Tampaknya intervensi terhadap MK begitu kuat, sehingga MK mengabulkan seperti ini,” sesalnya (far/lum/tyo/idr/syn/oni/jpg/riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post