SAMARINDA – Penolakan warga Kelurahan Teluk Lerong, Kecamatan Sungai Kunjang, Samarinda terhadap pembangunan Hotel Primebiz masih terus berlanjut. Warga menduga Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak beserta Pelaksana Tugas (Plt) Wali Kota Samarinda Zairin Zain telah menyalahgunakan jabatan untuk memuluskan perizinan hotel tersebut.
Kuasa hukum warga, Mukhlis Ramlan menuturkan, salah satu dugaan penyelewengan yang dilakukan gubernur dalam pemberian izin Hotel Primebiz yakni pemakaian label syariat. Berdasarkan keterangan Pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, MUI belum pernah memberikan izin label syariat untuk hotel tersebut.
“Yang mengeluarkan label syariat itu DSN (Dewan Syariah Nasional) MUI Pusat. Tidak boleh daerah mengeluarkannya. Sampai sekarang, DSN belum pernah mengeluarkan label syariat untuk hotel itu,” ungkap Mukhlis, Rabu (23/5) lalu.
Kata dia, klaim gubernur bahwa hotel tersebut berlabel syariat dapat melanggar Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Dalam UU tersebut diterangkan, setiap orang tidak diperbolehkan memberikan label syariat tanpa disertai prosedur yang sah.
“Apalagi gubernur sudah mengonfirmasi pada publik bahwa hotel itu berlabel syariat. Karena itu, ini termasuk delik pidana murni. Dilihat dari KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana), gubernur telah menipu umat. Hotel tidak ada unsur syariatnya, tetapi sudah diklaim terlebih dulu,” terangnya.
Selain itu, pemerintah daerah dinilai tidak transparan akan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) Hotel Primebiz. Terbukti warga yang berdekatan dengan lokasi hotel tidak pernah mendapatkan sosialisasi dokumen Amdal hotel berbintang tersebut.
“Apalagi limbah hotel itu nanti akan dibuang di Sungai Mahakam. Begitu mereka membuang di sungai, jelas itu pencemaran. Itu juga akan berdampak pada warga sekitar. Jadi pembangunan Primebiz tidak ramah lingkungan,” katanya.
Apalagi sejak 2012, seluruh warga Kelurahan Teluk Lerong yang terhimpun dalam Forum Masyarakat Islamic Center Samarinda menolak pembangunan hotel tersebut. Pasalnya keberadaan hotel dapat mengancam ruang hidup warga.
“Warga di sekitar lokasi pembangunan hotel itu sudah puluhan tahun tinggal di situ. Mereka juga pernah mengabdi di PT Inhutani. Kalau nanti ada pembangunan hotel, rumah mereka akan digusur,” sebutnya.
Terlebih dalam perencanaan daerah, tidak pernah muncul wacana pembangunan Hotel Primebiz. Dikatakan Mukhlis, mestinya dalam membangun hotel, pemerintah kota dan pemerintah provinsi mengacu pada dokumen perencanaan daerah.
Dia menerangkan, dugaan pelanggaran lain yang dilakukan pucuk pimpinan Kaltim tersebut yakni pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pemberian izin hotel, mestinya sengketa dengan warga harus terlebih dulu diselesaikan.
“Itu rekomendasi Komnas HAM. Dalam rekomendasi itu disebut, setiap izin pembangunan harus terlebih dulu diselesaikan sengketa dengan masyarakat sekitar. Nyatanya selama ini masyarakat masih menolak keberadaan hotel itu,” tegasnya.
Karena itu, Mukhlis meminta penegak hukum agar menindak para pihak yang terkait dengan pembangunan Hotel Primebiz. “Gubernur secara terang-terangan telah menipu umat. Dia orang yang paling bertanggung jawab dalam pembangunan Hotel Primebiz,” tutupnya.
Sebelumnya, Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak menuturkan, keberadaan Hotel Primebiz akan menambah pundi-pundi Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pendapatan itu dapat berasal dari pengunjung di Masjid Baitul Muttaqien Islamic Center Samarinda.
Kata dia, pembangunan hotel berlabel syariat tidak dilarang oleh MUI. Hal itu didukung dalam peraturan daerah dan undang-undang. “Jelas tidak ada larangan membangun hotel syariat di sekitar tempat ibadah dan undang-undangnya ada itu. Kami libatkan MUI dalam pengawasannya nanti,” tuturnya.
Nantinya Hotel Primebiz akan dibangun sepuluh lantai. Seluruh biaya pembangunan ditanggung oleh PT Wijaya Utama Lestari, selaku investor proyek. Sehingga tidak menyentuh Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Kaltim.
Pembangunan hotel diperkirakan menelan anggaran sekira Rp 250 miliar. Rencananya akan ada 135 kamar. Namun untuk tahap awal akan dibangun 90 kamar. Selain itu, 60 persen dari mereka yang akan bekerja di hotel ini adalah pekerja lokal.
Sementara itu, Direktur PT Wijaya Utama Lestari EA, Chairun menjelaskan, sistem pengelolaan dan pengamanan hotel akan dibuat sesuai konsep syariat.
“Nanti akan ada perjanjian, mereka yang membawa bukan muhrim akan dipolisikan. Yang wanita ada ruangan khusus, begitupun yang berkeluarga. Setiap tiga bulan sekali akan ada pengawasan dari Dewan Syariat Nasional, jadi jika terdeteksi melakukan penyimpangan, kemungkinan kami akan ditegur dan sertifikasinya dicabut,” jelasnya.
Kata dia, untuk memperoleh sertifikat hotel syariat sesuai ketentuan harus melalui proses yang panjang. “Sertifikat syariat diterbitkan Dewan Syariat MUI Pusat untuk sarana dan prasarana hotel harus sesuai aturan sarana dan ketentuan syariat. Setelah terbangun, kembali diverifikasi instansi terkait termasuk MUI Kaltim dan MUI Samarinda,” tandasnya. (*/um)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post