bontangpost.id – Harga batu bara acuan (HBA) April ini melonjak signifikan hingga 41,5 persen dari Maret lalu yang mencapai USD 203,69 per ton. Kenaikan signifikan ini merupakan buntut sanksi embargo energi terhadap Rusia akibat invasi militer ke Ukraina. Pemicu lainnya, pulihnya aktivitas perekonomian seiring meredanya pandemi Covid-19 di sejumlah negara. Sehingga mendongkrak tingginya permintaan batu bara global.
Kondisi ini seharusnya dapat dijadikan momentum, terutama bagi seluruh pemasok batu bara, untuk menguatkan harga dan meningkatkan produktivitas. Sehingga berdampak pada peningkatan dari sektor penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kepala Dinas Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Kaltim Christianus Benny mengatakan, HBA tertinggi itu untuk batu bara dengan kalori tinggi sekitar 6.000-an. Sedangkan kalori sedang dan rendah, harganya disesuaikan. Dia menyebut, potensi batu bara kalori sedang dan rendah di Kaltim juga cukup tinggi.
Menurut dia, fluktuasi HBA mulai harus diantisipasi dengan hilirisasi. Di Kaltim, sambung dia, yang potensial adalah dimethyl ether (DME) yang pembangunannya baru saja dimulai. Produk ini disebut bisa menjadi pengganti elpiji dan lebih ramah lingkungan. Sebab, tidak merusak ozon dan nyala api yang lebih stabil. “Spesifikasi proses gasifikasi yang di methanol dari kalori rendah. Kita (Kaltim) ini kan potensi kalori sedang sama rendah masih tinggi,” jelas dia. Pemanfaatan DME, menggunakan jenis batu bara yang memiliki kalori 3.800 kkal/kg yang tidak dimanfaatkan untuk kebutuhan PLN.
Pemerintah telah memperhitungkan harga keekonomian DME yang telah disepakati agar produk ini mampu bersaing dengan harga elpiji. Adapun manfaat yang diterima oleh negara melalui substitusi DME tersebut berupa pemanfaatan sumber daya alam, menghemat devisa impor elpiji, dan memenuhi in-situ di lokasi mulut tambang yang dapat mengatasi isu kelangkaan. In-situ adalah usaha pelestarian alam yang dilakukan dalam habitat aslinya. Dia menambahkan, upaya hilirisasi batu bara berada di Kutai Timur. Hilirisasi ini pun menurutnya potensial di Kaltim dan mesti disegerakan terbangun. Walaupun saat ini, jual batu bara ke luar negeri menggiurkan, Benny mengingatkan untuk memenuhi kewajiban menjual batu bara ke domestik sebanyak 25 persen.
Jika tidak, bisa ada sanksi seperti awal tahun ini. Walaupun HBA untuk pasar domestik jauh lebih rendah. Sebab, pemerintah menetapkan HBA domestik khusus kelistrikan sebesar USD 70 per ton dan USD 90 per ton diperuntukkan bagi HBA domestik untuk kebutuhan bahan bakar industri semen dan pupuk. Alias sekitar sepertiga dari harga yang bisa dijual jika batu bara diekspor. “DMO itu kewajiban, kan ada sudah ada aturan yang mengatur 25 persen. Dan itu juga setahu saya kalau kurang dari 25 persen bakal kena teguran bahkan mungkin kena sanksi kalau tidak melaksanakan DMO. Kan sudah dibuktikan dari beberapa izin yang dicabut,” sambungnya.
Sementara itu, menurut Dinamisator Jaringan Advokasi Pertambangan (Jatam) Kaltim Pradarma Rupang, kenaikan harga batu bara harus diantisipasi agar tidak semakin banyak pelanggaran. Seperti tambang ilegal yang merampas lahan dan mengabaikan peraturan. “Beberapa kasus juga memanfaatkan ketika wilayah saat ini tak punya kewenangan. Sebab, semua diatur pusat. Kebijakan yang dikeluarkan provinsi tidak krusial lagi. sebab, konteks pengawasan terkait administrasi juga merasa hanya pusat yang bisa tindak,” kata dia. Sedangkan, untuk administrasi misalnya perusahaan pertambangan bisa beroperasi tanpa izin lingkungan atau RKAB dengan alasan masih diurus. Ini contoh manuver perusahaan tambang mengejar momentum batu bara mahal. (riz/k8)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini: