Perjalanan Jurmansyah untuk meraih gelar magister di Universitas Mulawarman (Unmul) bukan hal yang mudah. Biaya kuliah yang tidak sedikit sempat menjadi tantangan baginya. Namun dengan keinginan kuat, gelar tersebut bukan lagi sekadar mimpi.
LUKMAN MAULANA, Samarinda
Setelah melalui perjuangan enam tahun, cita-cita meraih gelar sarjana berhasil diwujudkan Jurmansyah. Namun selepas lulus di 2010, pria yang akrab dipanggil Jurman ini tidak langsung menggunakan ijazahnya untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Dia tetap bekerja sebagai penjaga konter ponsel tempatnya bekerja sebelumnya.
“Saya merasa utang budi dengan pemilik toko tempat saya bekerja. Jadi saya tetap bekerja di sana. Selain itu, saya belum punya pandangan untuk bekerja di tempat lain,” kata Jurmansyah kepada Metro Samarinda (Kaltim Post Group).
Sebenarnya, ada tawaran dari rekan-rekannya di Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Samarinda untuk praktik pengacara. Akan tetapi, Jurman menolak tawaran tersebut. Ketiadaan minat berpraktik sebagai pengacara menjadi alasannya kala itu.
Dua tahun kemudian di penghujung 2012, Jurman mendapat tawaran dari saudaranya untuk bekerja di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unmul Samarinda. Posisi yang ditawarkan yaitu cleaning service atau petugas kebersihan. Tawaran tersebut memunculkan kembali semangat Jurman untuk melanjutkan pendidikan tinggi ke program pascasarjana.
“Saya berpikir bila bekerja di Unmul, saya bisa mendapatkan informasi dan koneksi untuk bisa kuliah pascasarjana. Hal yang sulit saya dapatkan bila tetap bekerja di konter,” terangnya.
Jurman berkisah, keinginannya untuk bisa kuliah S2 terinspirasi dari novel tetralogi “Laskar Pelangi”. Novel kisah nyata karya Andrea Hirata tersebut membuatnya terkagum-kagum. Karena mengisahkan anak kampung di pedalaman Belitong yang bisa kuliah hingga ke luar negeri. Kegigihan karakter Ical dalam novel tersebut membuat Jurman termotivasi untuk bisa melakukan hal yang sama.
“Kalau anak di daerah pedalaman saja bisa kuliah hingga S2 ke luar negeri, kenapa saya yang di kota tidak bisa? Jangankan luar negeri, kuliah dalam negeri saja belum mampu. Itu yang membuat saya ingin melanjutkan pendidikan setinggi-tingginya,” urai Jurman.
Latar belakang itulah yang lantas membuat Jurman menerima tawaran menjadi cleaning service. Dengan catatan, Jurman mesti masuk bermodalkan ijazah SMA. Serta merahasiakan gelarnya sebagai seorang sarjana. Karena posisi tersebut oleh pihak kampus tidak diperuntukkan bagi sarjana. Sehingga bila mengaku sarjana, tidak akan diterima.
“Apalagi sebelumnya ada kerabat pegawai Unmul yang melamar cleaning service, tapi ditolak karena ijazahnya sarjana,” tambahnya.
Awal 2013, Jurman mulai bekerja sebagai cleaning service di FISIP Unmul berstatus tenaga kontrak. Menariknya, dia ditempatkan di gedung pascasarjana FISIP Unmul. Jurman pun sempat berangan-angan bisa melanjutkan kuliahnya di tempatnya bekerja tersebut.
Namun keinginan itu tidak mudah diwujudkan. Pasalnya, bila dia menyatakan hendak kuliah, maka statusnya sebagai sarjana akan diketahui. “Padahal kan saat awal bekerja, saya mendaftar sebagai lulusan SMA. Saya merasa tidak enak bila nantinya pimpinan program pascasarjana mengetahui ternyata saya seorang sarjana,” kata anak kelima dari tujuh bersaudara ini.
Jadilah Jurman fokus menjalankan pekerjaannya membersihkan ruangan di gedung pascasarjana. Senin sampai Jumat pagi, dia mempersiapkan ruangan yang digunakan untuk mahasiswa S1. Sementara Jumat siang dan Sabtu, dia mempersiapkan ruang kelas untuk mahasiswa S2. Saat menunggu mahasiswa S2 selesai kuliah itulah, keinginan kuliah pascasarjana kembali terbersit.
“Setelah para mahasiswa pulang, saya membersihkan ruangan. Pikir saya dari pada menunggu mereka pulang, lebih baik kalau saya juga ikut kuliah,” sebut Jurman.
Berangkat dari keinginan tersebut, Jurman lantas memberanikan diri meminta izin pada pimpinan program pascasarjana di tahun 2014. Saat itu pimpinan program sudah berganti dengan ketua yang baru. Bukan lagi orang yang sama saat Jurman pertama kali menginjakkan kaki di gedung pascasarjana. Jurman pun telah siap dengan segala konsekuensinya.
“Beliau kaget saat mengetahui saya seorang sarjana. Tapi di luar dugaan, responnya baik. Saya diperbolehkan kuliah asal tidak menghambat pekerjaan saya,” kenang pehobi baca buku ini.
Maka mulailah Jurman kuliah pascasarjana tepatnya di jurusan magister ilmu administrasi negara tahun 2015. Uang tabungan dan sisa pendapatannya saat bekerja di konter dia gunakan untuk mendaftar semester pertama sebesar RP 8,5 juta. Menariknya, tidak ada keluarganya yang tahu dia melanjutkan pendidikan di tempatnya bekerja. Bahkan istrinya baru tahu setelah Jurman mendaftar.
“Istri sempat kaget saat tahu tabungan saya untuk mendaftar S2. Karena sebelumnya istri pengin tabungan itu untuk membangun rumah. Buat beli kayu untuk bangun sedikit demi sedikit. Lalu tiba-tiba uangnya saya pakai kuliah. Ya sudah, istri tidak masalah dan alhamdulillah mendukung saya,” jelas Jurman.
Bukan hanya keluarga, teman-teman kuliah Jurman juga tidak tahu bila dia seorang cleaning service. Selain karena Jurman tidak pernah mengatakannya, juga karena teman-temannya tidak pernah melihat Jurman membersihkan ruangan. Karena memang, Jurman sudah menyelesaikan pekerjaannya sebelum kelas dimulai, dan baru kembali bekerja setelah kelas selesai.
“Teman-teman baru mengetahuinya saat pendaftaran wisuda. Itu pun mereka sulit untuk percaya karena tidak pernah melihat saya bekerja,” tutur suami dari Nur Samiah ini.
Biaya kuliah yang tidak sedikit sempat membuat Jurman bingung. Apalagi bila menunggak, bisa kena denda yang tidak sedikit. Beruntung pada semester ketiga dia mendapatkan beasiswa Kaltim Cemerlang. Sayangnya beasiswa ini tak ada lagi saat dia menginjak semester empat. Sementara untuk bisa mengikuti seminar kedua dan ujian tesis, syaratnya harus sudah melunasi pembayaran hingga semester empat.
“Karena tidak ada uang, mau tidak mau saya menjual sepeda motor kesayangan saya. Motor Yamaha Vixion itu laku Rp 8 juta yang saya gunakan untuk membayar semester. Sisanya saya tambahkan dari tabungan yang ada,” bebernya.
Menyadari biaya yang dikeluarkannya tidaklah sedikit, Jurman berusaha semaksimal mungkin dalam belajar. Agar dia bisa lulus tepat waktu dan tidak mengulang. Sehingga kadang dia lembur hingga larut malam di kampus tempatnya bekerja. Baik untuk mengerjakan tugas atau untuk mencari bahan kuliah melalui koneksi internet yang ada.
“Dari awal saya tekankan pada diri saya, bahwa saya harus semangat. Harus ada tekad dan tujuan. Apalagi saat mulai kuliah, saya sudah menyatakan bahwa saya sanggup,” ungkap ayah dua anak ini.
Suka duka pun dirasakannya dalam proses meraih gelar magister tersebut. Yaitu perasaan senang bisa menambah ilmu dan menjadi lebih akrab dengan para dosen pengajar. Dia juga bisa menambah teman. Namun ada pula yang berprasangka buruk terkait kedekatannya dengan para pengajar di kampus. Ditambah lagi status Jurman sebagai salah seorang staf di kampus.
“Ada yang curiga nilai saya bagus karena saya staf di sini sehingga dapat bantuan. Padahal tidak begitu. Semuanya murni karena usaha sendiri,” paparnya.
Makanya ketika saya dapat nilai 60 atau 70, Jurman memilih untuk tidak mengajukan perbaikan. Tujuannya untuk menghindari prasangka yang tidak-tidak. Adapun prasangka seperti itu kemudian dibiarkannya begitu saja. Menurutnya, wajar bila ada yang mengira seperti itu karena memang Jurman adalah staf di kampus. Walaupun yang disangkakan tidaklah benar.
“Di kelas saya juga ditunjuk menjadi kepala tingkat. Padahal saya tidak pernah mengajukan diri. Teman-teman yang memilih saya,” tutur Jurman.
Di antara pengalaman selama menuntut ilmu di pascasarjana, ada satu yang paling berkesan bagi Jurman. Yaitu ketika melakukan studi banding ke Universitas Brawijaya (Unibraw) Malang di semester ketiga. Itulah pertama kalinya Jurman bisa merasakan pergi ke luar kota dengan menumpang pesawat terbang.
“Saya bisa melihat bagaimana perkuliahan di Jawa yang jauh lebih baik. Di sana saya sempat merasakan kuliah dari para dosen Unibraw,” lanjut penggemar menu pecel ayam ini.
Setelah melewati masa perkuliahan selama hampir dua tahun, Jurman berhasil lulus sebagai Magister Ilmu Administrasi Negara. Dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) sebesar 3,69, Jurman berhak menambahkan gelar MSi di belakang gelar sarjana hukumnya. Tanggal 8 Juli kemarin, dia diwisuda di GOR Unmul untuk mengukuhkan keberhasilannya meraih gelar magister.
“Rasanya bahagia akhirnya berhasil menyelesaikan pendidikan pascasarjana dalam waktu yang singkat dan sesuai jadwal,” ujarnya.
Keberhasilannya ini semakin memantapkan keyakinan Jurman untuk tidak takut bermimpi. Buktinya apa yang diharapkannya kini telah berhasil dia wujudkan. Sebagaimana pepatah favoritnya, bahwa boleh saja dia terlahir miskin, namun dia tidak boleh mati dalam kemiskinan.
Jurman sendiri belum memiliki gambaran langkah yang akan diambilnya setelah menyelesaikan pendidikan S2. Saat ini dia lebih memilih mengabdi pada instansi yang telah memberinya kesempatan melanjutkan pendidikan. Kalau nantinya ada yang lebih baik, bisa saja Jurman mengambil peluang yang ada.
“Harapannya ingin lanjut ke S3. Semoga saja ada rezekinya. Karena pendidikan itu tidak mengenal usia. Selagi ada kemauan, pasti ada jalan,” pungkas pria kelahiran Samarinda, 32 tahun lalu ini. (***)
TENTANG JURMANSYAH
Nama: Jurmansyah SH MSi
TTL: Samarinda, 15 Februari 1985
Ortu: Laperu (ayah), Wasaini (ibu)
Istri: Nur Samiah
Anak:
- Kamila Billah Marhamah
- Alysa Nadya Najla
Pendidikan:
- SD 081 Samarinda
- SMPN 9 Samarinda
- SMA Gotong Royong Samarinda
- S1 Universitas Tujuh Belas Agustus (Untag) Samarinda
- S2 Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda
Alamat: Jalan Otto Iskandardinata RT 33 Nomor 22 Kelurahan Sungai Dama, Samarinda
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post