SANGATTA – Komisioner Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Muhammad Idris menuturkan, tidak ada temuan mahar politik hingga saat ini di Kutim. Menurutnya, mahar politik dan politik uang memang berbeda, namun keduanya sangat dilarang berdasarkan Undang-Undang dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).
Mahar politik selalu menjadi perbincangan hangat setiap memasuki pemilu, khususnya pilkada. Beberapa pihak mengatakan, mahar politik berlaku untuk kader dengan elektabilitas rendah, sebaliknya calon dengan elektabilitas tinggi justru partai lah yang berlomba “membeli.”
Semua hal yang berpotensi adanya kecurangan dirasa sangat mencederai pemilu. Jika memang terdapat indikasi mahar politik, Idris mengaku pihaknya akan melakukan pengawasan langsung ke lapangan.
“Jika sudah tiba waktunya, kampanye itu sah-sah saja tapi ada batasnya, jangan sampai itu terciderai dengan persoalan pelanggaran kampanye,” ujarnya di kantor Bawaslu belum lama ini.
Dia memaparkan, perbedaan antar mahar politik dan politik uang yang banyak menganggap hal itu sama. Dimana jika mahar politik merupakan hal untuk memudahkan akses pengusungan. Laiknya caleg yang akan maju harus melalui parpol, bisa dipermudah melalui barang maupun materi. Berbeda dengan politik uang.
“Sedangkan mahar politik adalah praktik politik uang yang bukan bagian dari pembiayaan politik. Bersifat informal dan cenderung ilegal dan di sejumlah negara demokrasi dilarang keras,” katanya.
Idris menjelaskan, terkait mahar politik, jelas diatur dalam Undang-Undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilu yang tertuang pada pasal 228. Dimana bunyinya yakni terkait larangan menerima imbalan apapun pada proses pencalonan presiden dan wakilnya (ayat 1). Lalu juga diatur sanksinya yang tidak diikutkan pada pemilu berikutnya jika terbukti (ayat 2). Serta bagaimana pembuktiannya yang melalui pengadilan (ayat 3).
“Parpol dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan. Dalam hal parpol terbukti menerima imbalan sebagaimana dimaksud ayat 1, parpol bersangkutan dilarang menggunakan pencalonan pada periode berikutnya,” katanya.
Parpol yang menerima imbalan sebagaimana dimaksud harus dibuktikan dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. “Setiap orang atau lembaga dilarang memberi imbalan apapun pada parpol dalam proses pencalonan. Itu diatur pada pasal 228,” tutupnya. (*/la)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post