Sebagai Ketua Cabang Olahraga Redzone Airsoftgun Sangatta, Faizal menceritakan perjuangan dirinya bersama tim bisa lolos dari maut, saat gempa bumi di Palu Sulawesi Tengah, hingga kembali ke rumah dengan kondisi yang sehat.
——–LELA RATU SIMI, Sangatta——
Berawal dari keberangkatan bersama 10 rekannya di cabor yang sama, tepat pada Kamis pekan lalu, Faizal yang ingin berkompetisi di ajang Festival Pesona Palu Nomoni (FPPN) 2018, terpaksa batal. Pasalnya, rencana hari pertama timnya menuju pembukaan kegiatan olahraga tersebut, Palu dan Donggala di guncang gempa yang hebat, yakni 7,7 SR.
Masih di kota tersebut, ia bersama rekanan lainnya dari berbagai cabor, yang saat itu sedang berkumpul melihat langsung goncangan bumi dan ombak tsunami menerjang. Dengan rasa panik dan tidak percaya, mereka yang sedang berada di tepi pantai berlarian mencari bukit terdekat sebagai upaya penyelamatan diri.
“Kami dan cabor lain sedang kumpul di kafe pinggir pantai. Tiba-tiba menjelang senja, bumi bergoyang. Kemudian semua orang berhambur, temasuk saya dan empat lainnya menaiki bukit,” jelasnya saat ditemui di kantornya, Kamis (4/10).
Lebih lanjut, ia menerangkan kondisi yang dialaminya. Ia mengaku merasa campur aduk, antara bingung, sedih, takut, bahkan pasrah. Pasalnya, kondisi daerah yang carut-marut sempat membuat ia tidak tenang. Terlebih memikirkan anggotanya yang terpencar.
“Awalnya tidak percaya, berlarian dikejar ombak sejauh sekitar lima kilometer. Melihat gedung runtuh, keadaan kota tidak beraturan, mayat berserakan, hingga penjarahan pangan ada di depan mata,” tuturnya.
Tidak memikiran rasa lelah dan lapar, ia terus berupaya menyelamatkan diri dan timnya yang tersisa. Hingga kembali turun dari bukit, untuk berkumpul kembali dengan tim besar atlet dari cabor lain berkumpul di satu lokasi.
“Waktu kami di bukit, sekira pukul 19.30 wita itu ada lagi gempa susulan 7,4 SR. Saat kondisi itu saya pasrah, dalam keadaan yang gelap gulita dan takut longsor. Saya terus berdoa. Hingga turun lagi dan ketemu atlet lain,” katanya.
Tidak hanya itu, ia mengaku tidak menemukan dan memakan nasi selama tiga hari. Terhitung sejak kejadian bencana alam Jumat hingga Selasa. Namun menurutnya, menggantungkan hidup dan mati sepenuhnya pada Tuhan merupakan satu-satunya cara agar selamat.
“Kami hanya minum air putih dan cemilan dengan mengambil makanan di bandara oleh izin TNI. Di sana saya merasa uang tidak ada gunanya. Saya belajar dari sini, ilmu dan pengalaman baru dalam hidup,” terangnya.
Hingga akhirnya, seluruh atlet Kutim berkumpul di Bandara Palu, mengantre untuk bisa mendapat posisi di pesawat hercules yang akan terbang ke Balikpapan. Menghubungi semua orang sebisanya untuk meminta bantuan pulang, namun sangat sulit. Berbekal surat rekomendasi dari Sekda Palu, pihak atlet Kaltim akhirnya bisa diterbangkan.
“Kami tidak bisa memaksa naik hercules, karena prioritas wanita dan anak. Jadi menginap dulu di bandara, mengantre panas-panasan. Sehingga kami harus mengalah dan berjuang untuk pulang. Sampai Selasa pagi, akhirnya kami bisa dapat posisi dan tiba di Balikpapan,” pungkasnya.
Dengan bantuan Airsoftgun Balikpapan, tim atlet Kutim dapat beristirahat dan tiba di Sangatta pada malam hari. “Alhamdulillah, seluruh atlet Kutim kondisinya aman semua, dan selamat sampai rumah,” tutupnya. (*)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post