JAKARTA – Harapan masyarakat agar pelaku korupsi dihukum berat masih jauh api dari panggang. Merujuk kajian Indonesia Corruption Watch (ICW), sekitar 79 persen terdakwa rasuah, dari 1.053 perkara dan 1.162 terdakwa yang dipantau pada 2018 lalu itu divonis ringan oleh pengadilan. Vonis ringan tersebut di kisaran 1 hingga 4 tahun.
Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan, dari data tersebut pihaknya juga mendapati rata-rata putusan hakim terhadap pelaku korupsi hanya dua tahun enam bulan. Rata-rata itu meliputi hasil sidang perkara di Pengadilan Negeri (PN), Pengadilan Tinggi (PT) dan Mahkamah Agung (MA). ”Rata-rata ini meningkat dari tahun 2017, yaitu dua tahun dua bulan,” ujarnya di Jakarta, kemarin (28/4).
Seperti sebelumnya, Lalola merinci sebaran hukuman ringan itu didominasi putusan hakim di pengadilan tingkat pertama. Yakni, 81,59, persen atau sebanyak 749 terdakwa. Kemudian di tingkat PT sebanyak 159 terdakwa (17,32 persen) dan MA 10 terdakwa (1,09 persen). ”Kami tidak bicara kualitas (putusan), tapi tren berdasar data dan informasi yang kami peroleh,” terangnya.
Meski tak terkait kualitas putusan, tren vonis ringan itu menunjukan bahwa upaya menjerakan pelaku korupsi belum maksimal. Seperti diketahui, putusan pengadilan menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi. Tahap akhir itu menjadi instrumen penting untuk membuat jera koruptor. ”Namun, hal itu (penjeraan, Red) belum tercermin dari tren vonis perkara korupsi,” kata Lalola.
Bila dibanding dengan tahun-tahun sebelumnya, kata Lalola, tren vonis ringan itu tidak jauh berbeda. Dia mencontohkan di tahun 2015, vonis ringan di kisaran 74,5 persen. Kemudian di 2016 sekitar 72,1 persen. Dan di 2017 mencapai 81,61 persen. ”Tidak ada perubahan signifikan dari corak sebaran kategori putusan sejak 2015 hingga 2018,” paparnya.
ICW kemarin juga memaparkan tuntutan aparat penegak hukum, dalam hal ini kejaksaan dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terhadap para terdakwa rasuah. Menurut ICW, rata-rata jaksa di KPK menuntut perkara pada kategori sedang. Yakni, 4-10 tahun. Sementara kejaksaan cenderung menuntut rendah di kisaran 1-4 tahun.
Peneliti ICW lain, Kurnia Ramadhana menambahkan, pihaknya juga mendapati aparat penegak hukum belum maksimal menggunakan pidana tambahan berupa pencabutan hak politik bagi terdakwa yang berlatarbelakang politisi. KPK, misalnya, sepanjang 2016-2018 hanya menuntut 42 terdakwa (dari 88 terdakwa politisi) agar dicabut hak politiknya.
Menurut dia, hal itu cukup mengecewakan. Sebab, pencabutan hak politik diharapkan agar pelaku korupsi berlatarbelakang politik tidak dapat menduduki jabatan publik setelah menjalani hukuman pokok. ”Yang patut disesalkan adalah ketika KPK tidak menuntut pencabutan hak politik terdakwa Bupati Klaten Sri Hartini dengan alasan tuntutan pidananya sudah cukup tinggi,” imbuh dia. (tyo/jpg)
Simak berita menarik bontangpost.id lainnya di Google News
Ikuti berita-berita terkini dari bontangpost.id dengan mengetuk suka di halaman Facebook kami berikut ini:
Discussion about this post